<em>Tawâdhu’</em> Buah Keikhlasan

Tawadhu‘ itu rendah hati dan tidak sombong. Adapun menurut makna ketauhidan, tawadhu’ berararti kita tidak memandang diri kita memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah Swt. yang lain. Misalkan merasa lebih pintar, merasa lebih kaya, dan berkedudukan tinggi. Dalam Risalah al-Qusyairiyah disebutkan bahwa Abu Yazid al-Busthami mengatakan tentang tawadhu’, “Orang yang tidak memandang dirinya mempunyai kedudukan dan bukan sebagai keadaan yang sesungguhnya, serta tidak memandang orang lain rendah.”

Semua nilai-nilai seperti keikhlasan, kesabaran, ketakwaan, ketawadhu’an, dan lainnya, yang menilai bukan kita tapi orang lain—meskipun juga belum tentu benar. Semua kembali kepada Allah Swt. yang mengetahui hakikatnya. Allah Swt. Berfirman:

 فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ  هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰىࣖ

Maka, janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia lebih mengetahui siapa yang bertakwa (An-Najm [53]:32)

Hanya Allah Swt. yang mengetahui derajat ketakwaan hamba-hamba-Nya. Karena itu kita tidak boleh sombong. Harus tawadhu’. Tidak pula mengharap pujian dari orang lain, karena akan menggugurkan sikap tawadhu’ dan keikhlasan. Misalkan ada seseorang telah 10 tahun rajin bersedekah. Lalu suatu ketika ia mengungkapkannya kepada orang lain agar mendapat pujian, maka nilai tawadhu’ dan keikhlasannya menjadi hilang. Ada unsur menyombongkan diri dan pamer, meskipun secara halus. Karena itu, jika kita belum mampu untuk menjaga hati tetap tawadhu‘, meskipun tujuannya untuk menginspirasi dan memotivasi, lebih baik tidak diungkapkan. Karena dikhawatirkan akan ternoda dengan munculnya kesombongan tanpa disadari.

Tawadhu’ dan keikhlasan itu tidak dapat dipisahkan. Karena tidak mungkin orang tawadhu‘ jika tidak mukhlis. Amalan dan sifat hati memang tidak mudah dan harus betul-betul dijaga. Kaum sufi sangat menjaganya dari hal-hal yang merusak tawadhu’ dan keikhlasan dari unsur-unsur yang haram. Khawatir dengan hal itu, mereka pun bersikap wara‘ (berhati-hati). Mereka menjaga diri dari unsur-unsur haram. Karena itu, kalau di antara anak kita ada yang nakal, jangan-jangan di dalam tubuhnya ada sesuatu yang tidak halal. Ada api neraka di situ, panas, sehingga muncul sifat angkuh, sombong, dan menentang.

Tawadhu‘ bukan berarti menyembunyikan nikmat Allah Swt. seperti ilmu, kakayaan, dan lainnya. Berbagi ilmu dan kekayaan juga berarti tawadhu‘ karena menyadari bahwa semua milik Allah Swt. Menyadari bahwa kita tidak memiliki apa-apa, tetapi Allah Swt. yang memiliki segalanya. Karenanya saling berbagi ilmu, kekayaan, dan lainnya yang bermanfaat bagi orang lain merupakan sikap tawadhu’ atas nikmat Allah Swt.

Dalam berbicara, dalam menuntut ilmu, dalam beramal kita harus selalu tawadhu’. Jangan meninggikan diri dengan alasan kritis. Karena kritis bukan sombong, angkuh, dan merasa pintar. Di sini perlu dibedakan antara pemikiran kritis dan sikap kritis. Pemikiran kritis berarti mampu memahami sebuah persoalan dan melihat dari berbagai sudut pandang, melihat kelebihan dan kekurangan dari setiap jawaban, bahkan kesalahan dan kontradiksi-kontradiksinya. Dari situ kemudian mencoba mencari alternatif lain pemecahan masalahnya. Kalau kita punya pemikiran kritis semacam ini boleh.

Sementara sikap kritis lebih kepada adab dan kesopanan, seperti sikap sinis dan merendahkan. Ini yang salah. Seharusnya tetap menjaga akhlaq al-karimah. Jadi pemikirannya yang kritis, orangnya tetap santun, tawadhu’. Kenapa kemudian banyak orang yang sikapnya kritis, tapi pikirannya tidak kritis, kosong, tidak ada ilmunya. Sementara orang yang tawadhu’, punya ilmu. Pikirannya kritis, adabnya tawadhu’. Maka ilmu pun melekat pada dirinya. Sebaliknya, bagi yang tidak memiliki adab dan angkuh, ilmu pun tidak akan menetap di sisinya.

Abu Yusuf Akhmad Ja’far dalam Khulashah Ta’zhim al-‘Ilm menjelaskan, bahwa dalam menuntut ilmu harus dijaga adab-adabnya. Ilmu itu hanya layak bagi mereka yang mengamalkan adab-adabnya, baik pada diri sendiri, guru, dan teman-temannya. Orang yang memiliki adablah yang berhak dalam menyandang ilmu, sehingga ilmu pun merendah untuknya. Adapun orang yang tidak memiliki adab, maka ilmu pun terlalu besar untuk menetap di sisinya

Ada tiga tahap orang berilmu, seperti yang disebutkan Umar ibn al-Khattab. Ini sebagai peringatan agar kita terhindar dari tahapan yang salah. Tahapan pertama, ia akan sombong. Tahapan kedua, ia akan tawadhu’. Tahapan ketiga, ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya.

Pada tahap pertama, merasa tahu banyak, padahal masih sedikit. Pada tahap kedua, mulai tahu banyak, tapi merasa sedikit, sehingga ia tawadhu’. Pada tahap ketiga, merasa tidak tahu apa-apa. Kita contoh Pak Habibie, dia pintar tapi tidak sombong. Padahal ia telah menciptakan inovasi-inovasi yang bermanfaat. Kepintarannya telah memberikan manfaat bagi banyak orang. Ia tetap tidak sombong. Jadi Kita harus tawadhu’ meskipun orang lain memuji. Karena pujian itu milik Allah Swt. Kelebihan yang kita miliki berasal dari Allah Swt. Jadi tidak pantas untuk sombong.

Allah Swt. akan mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu dengan beberapa derajat. Di situ ada unsur tawadhu’ yang berhubungan dengan iman. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt.

 يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ

Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat (Al-Mujādalah [58]:11)

Keimanan mengangkat derajat seseorang di sisi Allah Swt. dan di akhirat nanti. Sementara ilmu mengangkat derajat seseorang di dunia. Orang beriman dan berilmu derajatnya mulia di sisi Allah Swt. baik di dunia maupun di akhirat nanti. Jadi, harus keduanya, iman dan ilmu, tidak dapat dipisahkan. Dan ilmunya orang yang beriman mengandung unsur tawadhu’ sehingga ilmunya bermanfaat dan semakin mengangkat derajatnya.