Meraih Berkah Guru

Berkah (barakah) itu nikmat Allah Swt. yang diberikan kepada hamba-Nya yang mendatangkan kebaikan. Karena kalau kita menerima nikmat dari Allah Swt. tapi kita menyalahgunakannya, maka itu bukan barakah, sebab akan menimbulkan masalah bagi diri sendiri maupun orang lain. Itu adalah ujian.

Jadi, barakah itu nikmat Allah Swt. yang mendatangkan kebaikan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Barakah itu nikmat yang mendatangkan kebahagiaan bagi orang-orang di sekelilingnya. Tingkatan barakah lebih tinggi dari sekadar nikmat. Misalkan rezeki yang barakah, yang mendatangkan kebaikan bagi dirinya maupun orang lain.

Terkait dengan mendapatkan barakah guru, berarti mendapatkan nikmat ilmu. Karena guru tidak memberikan materi, tapi memberikan ilmu. Jadi, konteks yang kita bicarakan adalah barakah ilmu. Kita bersyukur guru telah memberikan ilmu. Ilmu yang diberikan oleh guru adalah ilmu yang dititipkan oleh Allah Swt. kepada seorang guru untuk disampaikan kepada murid-muridnya. Hal itu akan menjadi keberkahan bagi murid, bukan sebagai ilmu saja, tetapi sebagai barakah ilmu yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.

Karena itulah dalam Ta’lim al-Muta’allim kita ditekankan untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat. Disebutkan dalam kitab tersebut, bahwa setiap orang hendaknya tidak melupakan hal-hal yang bermanfaat maupun yang membahayakan dirinya di dunia dan akhirat. Karena itu dia harus belajar ilmu yang bermanfaat, dan menjauhi ilmu yang tidak berguna, agar akal dan ilmunya tidak membahayakan dirinya.

Dari mana mendefinisikan ilmu yang kita miliki mengandung barakah? Yaitu ketika ilmu dirasakan manfaatnya oleh orang lain; orang lain mendapatkan ilmu yang kita miliki. Namun, tidak menjadi barakah ketika ilmu malah membuat kita menjadi pintar sendiri, angkuh, membanggakan diri, dan merendahkan orang lain.

Lalu, bagaimana kita sebagai murid menerima barakah ilmu? Ketika kita menghargai siapa yang memberikan ilmu itu. Karena pada dasarnya ilmu itu penuh dengan keberkahan. Ilmu itu datangnya hanya dari Allah Swt., dan milik Allah Swt. Jadi, pada dasarnya penuh dengan keberkahan. Tapi ketika mengambilnya dengan cara yang salah maka nilainya menjadi berbeda.

Ilmu itu barakah, maka cara mendapatkannya juga harus benar, dengan menghormati ilmu dan orang yang mengajarkannya. Di situlah pentingnya adab menuntut ilmu. Maka dalam Hilyatu Thalib al-‘Ilm disebutkan, ilmu adalah mutiara paling berharga dalam mahkota syariat yang suci, dan tidak akan sampai kepadanya kecuali orang yang berhias diri dengan adab-adabnya dan membersihkan diri dari kotoran-kotorannya.

Dengan mengikuti adab yang benar, maka kata K.H. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim hati pelajar akan menjadi terang ilmunya, menjadi berkah, dan pahalanya menjadi agung. Barang siapa tidak melakukan adabnya, maka ilmunya tidak akan menancap pada dirinya; dan kalaupun ilmu itu menancap pada dirinya, maka ilmu itu tidak akan berbuah.

Agar murid mendapatkan barakah ilmu, maka guru pun harus memantaskan dirinya, baik hati maupun sikapnya, sehingga ilmu yang ada dalam dirinya mengandung barakah. Dimulai dari niat yang benar, ikhlas karena Allah Swt.

Kiai Maimun Zubair (Mbah Mun) pernah mengatakan, “Jadi guru tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan pada Allah. Didoakan saja terus-menerus agar muridnya mendapat hidayah.”

Jadi, urusan pintar atau tidak, itu urusan Allah Swt., tugas kita sebagai guru adalah mengajarkan mereka beribadah kepada Allah Swt. Urusan pintar atau tidaknya, kembali kepada Allah Swt. Dialah yang membuka pintu ilmu atau hidayah, karena ilmu hanya milik Allah Swt. Tugas kita sebagai guru adalah berusaha, niatnya ibadah kepada Allah Swt., bukan niat mencerdaskan anak murid. Masalah hidayah adalah urusan Allah Swt.

Dengan demikian, barakah ilmu dari guru tergantung bagaimana adab murid terhadap gurunya. Guru pun demikian. Murid bisa ikhlas dan semangat belajar, kalau gurunya bernilai. Karena pada dasarnya ilmu penuh dengan barakah, maka pantaskanlah diri sebagai guru yang telah dititipkan barakah oleh Allah Swt. K.H. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim mengatakan bahwa, budi pekerti yang baik sebagaimana dibutuhkan oleh pelajar (santri) ketika ia belajar, seorang guru juga membutuhkannya ketika sedang dalam proses belajar mengajar.

Tempatnya ilmu penuh dengan barakah, dan guru adalah tempatnya ilmu. Maka, layakkah diri kita menjadi tempat yang penuh dengan barakah? Lihat hati dan sikap kita. Bagaimana akan bisa mentransfer nilai dari barakah ilmu jika hati dan sikap kita tidak sesuai. Ilmu yang kita sampaikan pada anak murid tidak akan berkembang, kalau kita sendiri tidak mengandung barakah. Anak menerima biji atau benih yang hampir busuk, tidak berkembang pada mereka. Ilmunya tidak barakah.

Kita sebagai guru menanamkan bibit, mereka yang mengembangkannya. Mereka mengikuti setiap jenjang pendidikan, merekalah yang mengembangkannya. Karena belajar itu tidak ada berhentinya hingga kita meninggal. Di situlah guru menanamkan bibit, murid sendirilah yang mengembangkannya sehingga bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.