Antara Pujian dan Ujian

Beragam peristiwa terjadi dalam perjalanan hidup manusia. Semenjak  bangun dari tidur hingga tidur kembali. Beragam kisah anak manusia yang bisa kita baca, kita dengar dan kita saksikan secara langsung. Bahkan kisah yang kita rasakan sendiri atas perjuangan yang kita lakukan. Hidup manusia tak pernah sepi dari beragam cerita. Cerita akan kebahagiaan, kesedihan, perjuangan, kesabaran bahkan cobaan. Semuanya bisa dijadikan sebagai bahan pelajaran, perenungan bahkan inspirasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Hidup manusia tak pernah terlewatkan dari yang namanya pujian dan ujian. Dua kata yang menarik untuk sedikit kita selami. Adakah hubungan antara pujian dan ujian?. Coba kita perhatikan. Kata ‘pujian’ jika dihilangkan huruf pertamanya (huruf ‘p’)  jadilah dia menjadi kata ‘ujian’. Tentu hal ini bukanlah sebuah ‘cocok-logi’. Dua kata tersebut memiliki makna yang jauh berbeda. Dalam KBBI ‘pujian’ berasal dari kata puji yang artinya sebuah pernyataan rasa pengakuan dan penghargaan yang tulus akan kebaikan (keunggulan) sesuatu. ‘Pujian’ adalah pernyataan untuk memuji. Adapun kata ‘ujian’ dalam KBBI adalah hasil menguji; sesuatu untuk menguji mutu sesuatu (kepandaian, kemampuan, hasil belajar dan sebagainya); cobaan.

Terlepas dari semua itu, kedua kata di atas menyiratkan pesan yang begitu mendalam, yang bisa dijadikan bahan pelajaran atau renungan. Tidak ada satu pun manusia yang tidak ingin dipuji atas apa yang sudah diperjuangkan, atas apa yang sudah dilakukan, atas beragam kelebihan yang dimiliki. Pujian merupakan bentuk pengakuan, penghargaan atau ungkapan apresiasi atas segala sesuatu kelebihan atau prestasi seseorang. Pujian bagi sebagian orang yang ‘mengenal diri’ akan menjadikannya lebih-lebih tawadhu‘. Karena ia sadar bahwa pujian itu, dia terima atas anugerah yang Tuhan berikan kepada yang bersangkutan, dengan beragam kelebihan yang dimiliki. Dia sadar bahwa apa yang dimiliki semuanya tidak bisa terlepas dari ketentuan Sang Pencipta, bahkan di saat kekecewaan melandanya. Dia akan tetap bersabar dan juga bersyukur. Namun sebaliknya pujian bagi sebagian orang yang belum ‘mengenal diri’, bisa menyebabkan lupa diri, lupa daratan, terbang-melayang, dan lupa atas niat awal yang muncul dari sanubarinya, keluar dari jalan lurus yang seharusnya ia tempuh. Inilah bentuk pujian yang berujung dengan ujian.

Mengutip karya syekh Mustafa al-Ghalayaini, Izhatun Nasyi’in, dijelaskan bahwa dalam kehidupan manusia, meskipun terkadang berupa kepalsuan, begitu banyak orang yang senang jika dipuji. Namun sebaliknya, meskipun berisi kebenaran banyak orang yang menolak untuk dikritik. Semua berpangkal pada jiwa yang telah tertipu dengan dirinya sendiri. Menurut Syekh Mustafa al-Ghalayaini, orang yang tertipu dengan dirinya sendiri pasti senang jika dipuji, mereka akan menari, menggoyangkan kepalanya di saat menerima sanjungan. Pujian baginya ibarat arak yang memabukkan dan mampu merusak jasadnya. Sebab ia mengira bahwa dirinya telah menguasai bumi beserta isinya. Padahal hakikatnya ia layak untuk dipukul, jika yang memuji jujur dan adil. Dan jika seseorang memberikan penilaian terhadap pekerjaan yang sudah dilakukan maka wajahnya bisa berubah seketika, berpaling dan angkuh. Bahkan bisa memicu untuk marah dan memaki.

Bagi orang yang berilmu, berpengalaman, arif dan bijaksana, tidak begitu senang dengan pujian. Karena orang yang memuji lebih dominan hanya menyampaikan kebaikan-kebaikan dan menutupi keburukan yang ada. Seseorang akan lebih memahami kebaikan yang diperbuat sehingga tidak membutuhkan pengakuan orang lain, melainkan akan lebih merasa nyaman  jika mendapatkan kritikan yang konstruktif. Sebuah ungkapan arab yang bijak bestari:

ﺻﺪﻳﻘﻚ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ ﻻ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ

Temanmu yang sejati adalah yang berkata jujur kepadamu, bukan orang yang selalu membenarkan ucapanmu.

Kalau bukan karena kritikan, pastilah orang-orang tidak peduli lagi dengan keangkuhan dan kesombongan yang menjadi karakternya. Kritikan merupakan metode terbaik dan indikasi yang paling kuat dalam ikhtiar mencapai kebenaran yang sejati, mengungkap kebaikan, mengikis keburukan. Begitu banyak manusia yang mudah terperdaya dengan manisnya pujian, hingga dia lupa segalanya. Pujian atau sanjungan berpotensi untuk menghembuskan keangkuhan, kesombongan dan berpotensi melemahkan semangatnya untuk memperoleh kemuliaan (jalan yang benar). Kritikan mampu memacu manusia untuk semangat dan memperbaiki kualitas diri, ia akan terus berjuang lebih keras untuk menjadi pribadi yang baik dan benar. Dengan itu dia akan mengerahkan segenap potensi yang dimiliki, untuk berjuang dengan penuh semangat dan tawakal.

Sejumlah orang akan lebih bersemangat ketika mendapatkan pujian. Tentunya dengan dosis dan takaran yang benar boleh saja, namun itu bukanlah tujuan dari segalanya. Yang tidak dibenarkan adalah manakala seseorang dalam melakukan segala sesuatu bertujuan agar mendapatkan pujian semata. Bahkan orang yang memiliki karakter demikian, akan senang mendapatkan pujian atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Menurut Syekh Mustafa al-Ghalayaini orang yang demikian, bagaikan tanah yang tidak dapat ditanami dan tandus. Mereka dapat terjerumus dalam kesombongan dan kebinasaan. Karena itu siapa yang suka terhadap pujian, jangan berprasangka dengan sebuah kritikan. Pujian dapat mendorong untuk berbuat baik, maka bentuk kritikan mampu membentengi seseorang agar tidak terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan kebinasaan. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan bagian dari bentuk kritik. Dan abai terhadap amar makruf nahi munkar dapat menyebabkan kefasikan dan melawan kebenaran.

Dalam ajaran Islam pujian dan ujian merupakan dua hal yang mendapatkan perhatian yang serius. Beragam nasihat luhur yang disampaikan oleh para ulama terdahulu yang bersumber dari tuntunan baginda Rasulullah Saw.

Dalam Karya Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, al-Daa’ wa al-Dawaa’ , dijelaskan bahwa sebagian salaf berkata:

Berapa banyak orang yang terperdaya dengan nikmat Allah tanpa disadarinya, berapa banyak orang yang tertipu dengan tabir Allah (Allah menutupi maksiatnya) tanpa disadarinya, dan betapa banyak orang yang terfitnah dengan pujian manusia kepada dirinya tanpa disadarinya”.

Dalam karya Syekh Nawawi al-Batani, NashaihulIbad, menjelaskan beberapa hal berkenaan dengan pujian:

Rasulullah saw. bersabda:

“Menjauhi kesenangan dunia lebih pahit rasanya daripada pahitnya tumbuhan bratawali dan lebih menyakitkan daripada sabetan pedang di medan peperangan. Tiada seorang pun yang menjauhinya, melainkan dianugerahi oleh Allah pahala yang sama seperti yang diberikan-Nya kepada para syuhada. Cara menjauhi kesenangan duniawi adalah dengan sedikit makan dan tidak terlalu kenyang serta tidak suka dipuji orang. Sebab, barang siapa yang suka dipuji orang, berarti dia menyukai dunia dan kesenangannya. Oleh karena itu, barang siapa yang ingin meraih kesenangan yang hakiki hendaknya menjauhi keduniawian dan pujian orang lain. [HR. al-Dailami]

Abdullah ibn Mas’ud ra berkata:

كَمْ مِنْ مُسْتَدْرَجٍ بِالنِّعْمَةِ عَلَيْهِ وَكَمْ مِنْ مَفْتُوْنٍ بِالثَّنَاءِ عَلَيْهِ وَكَمْ مِنَ مَغْرُوْرٍ بِالسِّتْرِ عَلَيْهِ.

Betapa banyak manusia yang ditipu (dihukum secara berangsur-angsur) melalui kesenangan (melalui banyaknya kenikmatan) yang diberikan kepadanya; Betapa banyak manusia yang dicoba (diuji dengan kesusahan) melalui pujian orang lain (dengan banyaknya pujian orang) kepadanya;

Betapa banyak manusia yang teperdaya (hatinya tenang dengan dunia dan melupakan akhirat) karena perlindungan (sebab Allah menutupi/menyembunyikan kejelekan kejelekannya) padanya.

Dijelaskan dalam kitab NashaihulIbad, bahwa Allah telah mewahyukan kepada Musa ibn Imran dalam Taurat bahwa sesungguhnya sumber dosa itu ada tiga, yaitu:

  1. Sifat sombong. Rasul bersabda: Sikap sombong itu berakibat menolak kebenaran dan meremehkan orang.” Dan siapa yang memandang dirinya sendiri dengan pandangan mulia dan memandang orang lain dengan pandangan meremehkan, dia termasuk orang sombong.
  2. Sifat dengki. Mu’awiyah pernah berkata: Tidak ada perbuatan buruk yang menandingi sifat hasud. Seseorang yang hasud dapat membunuh orang yang didengki sebelum dia sampai padanya.”
  3. Sifat tamak (pada dunia). Malik ibn Dinar berkata: Jika badan sakit, makanan, minuman, hidup dan kesenangan hampir terasa tak berguna. Begitu juga jika hati sudah mencintai dunia, maka nasihat hampir tak berarti baginya.”

Dari tiga hal tersebut, lahirlah enam sumber dosa yang lainnya sehingga semuanya berjumlah sembilan. Enam sumber lainnya adalah:

  1. Perut yang kenyang;
  2. Banyak tidur;
  3. Senang bersantai-santai;
  4. Cinta terhadap harta benda; Syekh Abdullah al-Haddad berkata: Kamu harus menyirnakan cinta dunia dan harta dari hatimu hingga kamu anggap keduanya serupa batu dan tanah.”
  5. Senang dipuji dan disanjung; Kamu juga harus menghilangkan cinta pada pujian dari hatimu sebisa mungkin, hingga pujian dan cacian terasa sama saja bagimu.
  6. Gila jabatan atau pangkat; Kamu juga harus menghilangkan cinta jabatan dan pangkat dari hatimu hingga menjadi perhatian orang atau diabaikan orang terasa sama saja. Cinta jabatan dan pangkat lebih berbahaya daripada cinta harta, meski keduanya menunjukkan atas kesenangan terhadap dunia. Muasal cinta pangkat dan jabatan adalah ingin diagungkan, padahal keagungan adalah sifat Allah. Adapun cinta harta, muasalnya adalah cinta pada kenikmatan, yang hal itu merupakan sifat binatang.

Terkait masalah pujian, terdapat kisah yang sangat menarik dan bisa kita jadikan bahan renungan dan pelajaran dalam menapaki kehidupan yang singkat ini. Dikisahkan dalam karya Fariduddin ‘Athar Naisyaburi, Kitab Tadzkiratul Auliya, bahwa salah satu imam besar yakni Imam Abu Hanifah memiliki kebiasaan salat tiga ratus rakaat setiap malam. Suatu hari ada orang melintas ketika ia sedang melaksanakan salat. Seorang wanita berkata pada wanita lainnya: Orang ini (Imam Hanafi) salat setiap malam lima ratus rakaat.”

Imam Abu Hanifah mendengar perkataan itu dan berniat salat lima ratus rakaat untuk membenarkan persangkaan wanita tersebut. Setelah itu ia salat lima ratus rakaat setiap malam sampai sekumpulan anak-anak yang tengah bermain melintas dan berkata satu sama lainnya: Orang ini salat setiap malam seribu rakaat.”

Imam Abu Hanifah mendengarnya dan berkata: “Saya akan berdoa, Insya Allah, seribu rakaat setiap malam.  Jangan sampai anak laki-laki itu berpikir salah tentangku.”.

Imam Abu Hanifah melaksanakan salat seribu rakaat setiap malam cukup lama, kemudian sebagian dari murid-muridnya berkata kepadanya: Orang mengira kamu tidak tidur di malam hari.” Imam Abu Hanifah berkata: “Saya berjanji untuk tidak tidur.”

Setelah itu, ia meninggalkan tidur malam sama sekali. (Mendengar itu) murid-muridnya bertanya: “Kenapa wahai guru?” Imam Abu Hanifah menjawab: “Agar aku tidak termasuk ke dalam orang-orang yang digambarkan Allah Swt. (Qs. Ali Imran [3]: 188), yaitu,“Orang-orang yang suka dipuji atas perbuatan yang belum mereka kerjakan.” (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliyâ’ : 260-261).

Demikian nasihat orang-orang saleh bagaimana cara yang benar dalam menyikapi beragam pujian yang bisa berujung ujian. Kita berusaha melakukan segala suatu dengan niat yang benar dilakukan dengan cara dan proses yang benar. Semoga Allah Swt. meridhai segala amal kebaikan dan kebajikan yang kita lakukan.

Wallahu A’lam Bishawab