Mempersiapkan Generasi Muslim yang Tangguh dengan Pendekatan Adversity Quotient

Islam memberikan perhatian besar terhadap pendidikan anak. Sejumlah ayat al-Qur’an menunjukkan bagaimana pendidikan anak harus dipersiapkan secara sungguh-sungguh. Demikian juga hadits Nabi dan atsar Sahabat, menekankan pentingnya pendidikan anak. Di antaranya adalah sebagai berikut :

  1. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (at-Tahrim : 6)

  • وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (an-Nisa : 9)

  • عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ ، اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَـعْجَـزْ ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَـيْءٌ فَـلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِـّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَـذَا ، وَلَـكِنْ قُلْ: قَـدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَـفْـتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Dari Abu Hurairah RA, beliau berkata, Rasûlullâh SAW bersabda : “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu, tetapi katakanlah, Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan syaitan. (HR. Muslim)

  • عَلِّمُوْا اَوْلاَدَكُمْ فَإِنّهُمْ سَيَعِيْشُ فِى زَمَانِهِمْ غَيْرَ زَمَانِكُمْ, فَإِنَّهُمْ خَلَقَ لِزَمَانِهِمْ وَنحَن ُخَلَقْنَا لِزَمَانِنَا

“Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian” (Ali ibn Abi Thalib R.A)

  • أَدِّبْ اِبْنَكَ فَإِنَّكَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُ مَاذَا أَدَّبْتَهُ وَمَاذَا عَلَّمْتَهُ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ بِرِّكَ وَطَاعَتِهِ لَكَ

Didiklah anakmu, karena sesugguhnya engkau akan dimintai pertangung jawaban mengenai Pendidikan dan pengajaran apa yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu. (Abdullah ibn Umar R.A, Tuhfah al-Maudud, 331)

Tahap Pendidikan Sesuai dengan Perkembangan Usia

Menurut penjelasan Sahabat Ali ibn Abi Thalib, dalam mendidik generasi muslim dilakukan menurut tahap perkembangan usia. Setiap tahapan usia, masing-masing memiliki tingkat perkembangan fisik dan psikologis yang berbeda, sehingga memerlukan pendekatan yang tepat.

  1. Tahap Pertama Usia 0-7 Tahun, Perlakukan Anak Seperti Raja

Pada tahap ini anak baru bisa belajar dengan melihat sikap orang tuanya. Jika orang tua memberikan kasih sayang dan memperlakukannya dengan lembut maka kelak mereka akan tumbuh menjadi orang yang lembut dan penyayang juga.

Cara terbaik untuk mendidik anak pada tahap ini menurut Ali ibn Abi Thalib adalah dengan melayaninya dengan sepenuh hati dan tulus. Karena banyak hal kecil yang kita lakukan setiap hari akan berdampak sangat baik bagi perkembangan perilaku anak.

Oleh karena itu, pada tahap ini orang tua dianjurkan untuk memperlakukan anak seperti raja. Di sisi lain orang tua juga harus bisa tidak memanjakan anak dan tetap tegas pada hal-hal tertentu.

  • Tahap Kedua Usia 8-14 Tahun, Perlakukan Anak Sebagai Tawanan

Pada tahap ini, anak sudah saatnya untuk memahami hak dan kewajibannya, baik mengenai akidah, hukum, dan sesuatu yang dilarang dan diperbolehkan.

Seperti mengerjakan salat 5 waktu, menjaga pergaulan dengan lawan jenis dan lain sebagainya. Pada tahap ini, orang tua sudah harus memulai untuk menerapkan sikap disiplin pada anak.

Hal ini dianggap penting karena anak sudah mulai mengerti tanggung jawab dan konsekuensi yang akan mereka dapatkan ketika melakukan sesuatu.

  • Tahap Ketiga Usia 15-21 Tahun, Perlakukan Anak Sebagai sahabat

Pada tahap ini anak secara umum sudah memasuki akil balig. Orang tua harus mampu memposisikan diri sebagai sahabat juga teladan yang baik secara bersamaan.

Upaya Menyiapkan Generasi Tangguh Dengan Pendekatan Adversity Quotient (AQ)

  1. Adversity Quotient (AQ)

Adversity Quotient (AQ) kali pertama dikembangkan oleh Paul G. Stoltz seorang konsultan bisnis. Adversity Quotient menuntun dan mengarahkan kita untuk cerdas menghadapi masalah. Bahkan tak sekadar “menghadapi”, namun lebih jauh lagi adalah “mengelola”. AQ memengaruhi jiwa manusia untuk mampu mengelola masalah dengan arif dan bijaksana bukan dengan cara emosional. AQ membimbing manusia untuk memandang masalah dengan sudut pandang positif bukan dengan cara pragmatis dan apatis. AQ juga mensupport manusia untuk selalu siap menghadapi masalah dan musibah serta mencari peluang seluas-luasnya untuk dapat menyelamatkan hidup. (Yoga, 2016)

Dengan kata lain AQ merupakan kecerdasan seseorang dalam melihat kesulitan dan menjadikan suatu kesulitan tersebut sebagai suatu tantangan untuk diselesaikan tanpa harus merasakan rasa pesimis dalam menjalaninya.

Munculnya teori mengenai AQ diperoleh melalui penggabungan riset psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang upaya manusia dalam menyelesaikan masalah. Karena pada kenyataanya kesulitan adalah sesuatu yang sering dihindari. Namun, dalam AQ kesulitan justru dijadikan sebuah tantangan yang menjadikannya lebih hidup (Yoga, 2016)

Berikut tabel mengenai kondisi yang kontradiktif dalam diri manusia:

PositifNegatif
Mampu menghadapi kesulitanBerlari meninggalkan masalah
Mampu menuntaskan pekerjaanBermalas-malasan
Mampu mengejar target“bingung” harus berbuat apa
Mampu memenuhi harapanMenjadi orang yang gagal
Mampu memiliki cita-cita yang besarSelalu merasa tidak yakin dan tidak mungkin akan sebuah kesuksesan
Mampu berbesar hatiBerkecil hati
Mampu merumuskan masa depanBenar-benar tidak memiliki konsep diri
Mampu bertahanMenyerah kalah
Mampu menahan segala cibiran dan sindiranSangat mudah sakit hati dan hilang percaya diri
Mampu mempertahakan kinerja dengan kepercayaan diri yang luar biasaMudah terpengaruh dan berkecil hati melihat hasil karya orang lain
Bersedia berkopetisiMenyerah sebelum ujian dimulai
Bersedia menerima kekalahanMenjadi orang yang gampang kecewa dan putus asa
Bersedia menerima segala bentuk kritik dan evaluasi dari orang lainMerasa diintervensi, dipojokkan, dan disalahkan
Bersedia mencoba dan mengambil risikoBerdiam diri dengan alasan tidak mau repot
Bersedia melakukan perbaikan demi hasil yang lebih optimalHanya mempersembahkan kinerja apa adanya
Senang melakukan inovasi untuk tujuan perbaikanMerasa takut dan merasa tidak punya ide
Selalu berhusnudzanSelalu su’udzan
Sumber: Yoga, 2016

Menurut para ahli, AQ memiliki kontribusi yang signifikan dalam kehidupan manusia khususnya dalam membentuk pribadi manusia. Berikut beberapa kontribusi AQ dalam kehidupan manusia (Yoga, 2016) :

  1. Mampu mengembalikan semangat para juara dari setiap kekalahan dan kemunduran sehingga akan selalu ada peluang untuk mencetak prestasi;
  2. Membantu dalam memperkuat ketekunan serta berpegang pada prinsip dan impian;
  3. Mampu membekali seorang untuk tetap berdaya, tanpa harus berpangku tangan atau mengandalkan orang lain;
  4. Mampu membekali seorang pemimpin untuk senantiasa bijak dan bertanggung jawab, mampu menghadapi risiko dan tidak bermental pengecut serta mendahulukan kepentingan lembaga dari pada kepentingan pribadi atau golongan;
  5. Mampu membangkitkan keterpurukan sesorang dari sebuah musibah atau ujian;
  6. Mampu melesatkan kompetisi dan keyakinan seorang untuk mewujudkan impan besar;
  7. Mampu meyakinkan seseorang untuk tidak terjebak pada sesuatu yang bersifat konvensional (mampu berinovasi).

Perkembangan sains dan teknologi memacu ditemukannya beragam teori, tak terkecuali teori-teori tentang kecerdasan. Mulai dari IQ, EQ (EI), SQ (SI) (juga TQ). Makin banyak orang yang meyakini bahwa cerdas secara logis matematis dan cerdas secara emosi juga masih belum cukup. Sebab ruhiyah yang dalam mengiringi ibadah yang konsisten akan menjadikan seseorang lebih matang dan optimal.

Hadirnya AQ merupakan faktor penentu keberhasilan, perannya merupakan penggabungan antara IQ dan EQ.

Relasi yang terbentuk antara IQ, EQ dan AQ adalah sebagai berikut:

  1. IQ biasanya dikaitkan dengan kecermelangan otak. Namun jika hanya mengandalkan kecermelangan otak tidak menjamin kehidupan seseorang akan mencapai puncak keberhasilan. Orang ber-IQ tinggi juga perlu memiliki EQ yang bagus sehingga kemampuan hipotesis yang tinggi, mampu mengendalikan dorongan-dorongan hati, dan lebih mampu bertahan. Adanya sinergisitas antara IQ dan EQ menjadikan seseorang menjadi lebih utuh (Yoga, 2016).
  • IQ berperan dalam memudahkan seseorang untuk berpikir logis matematis. EQ menjadi bekal bagi seseorang untuk lebih bijaksana dan terkendali. Sementara itu, AQ merupakan faktor penentu kesuksesan yang salah satu komponennya adalah ketekunan dan daya juang. Selain itu, AQ juga merupakan perpaduan antara IQ dan EQ sehingga bisa membentuk seseorang untuk lebih berdaya, produktif dan matang dalam berbagai pertimbangan (Yoga, 2016).
  • Dimensi-Dimensi Adversity Quotient

Adversity Quotient terdapat empat dimensi yang sering dikenal dengan istilah CO2RE yakni Control, Origin Ownership, Reach, Endurance (Stoltz, 2005), antara lain:

Control (Kendali)

Control (Kendali) yakni seberapa banyak kendali seseorang dalam melihat peristiwa yang dapat menimbulkan kesulitan. Dampak yang dirasakan dimensi ini adalah bagaimana cara seseorang dalam mengendalikan suatu kesulitan. Control (kendali) ini diawali dengan memahami bahwa kesulitan apapun dapat diselesaikan.

Origin dan Ownership (Asal-usul dan Pengakuan)

Dimensi ini memberikan suatu pertanyaan siapa dan apa yang menjadi asal mula munculnya kesulitan dan sejauh mana seseorang akan menerima kesulitan-kesulitan tersebut, yang kaitannya dengan rasa bersalah.

Rasa bersalah ini akan memberikan dua kegunaan. Pertama, rasa perbaikan. Rasa bersalah ini akan membantu seseorang untuk berlajar, merenungi, dan akan memposisikan tingkah lakunya. Yang kedua, penyesalan. Penyeselan ini dapat membantu seseorang untuk berfikir apakah yang dilakukan atau yang diucapkan telah memberikan luka terhadap orang lain. Apabila dalam porsi yang sewajarnya, penyesalan dapat memberikan penyembuhan akan kerusakan perasaan yang dirasakan.

Reach (Jangkauan)

Dimensi ini mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan mempengaruhi bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Membatasi jangkauan kesulitan merupakan hal yang sangat diinginkan. Semakin jauh kesulitan dibiarkan mencapai ke bagian-bagian lain dalam kehidupan seseorang, maka seseorang akan semakin tidak berdaya dan tidak mampu. Konflik-konflik kecil apabila dibiarkan maka akan menjadi besar. Membatasi suatu kesulitan memungkinkan seseorang dapat berpikir jernih sebelum mengambil tindakan.

Endurance (daya tahan)

Dimensi yang terakhir ini mempertanyakan dua hal dalam kesulitan, yakni berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lamakah penyebab kesulitan tersebut berlangsung. Dimensi ini mempersepsikan suatu kemampuan, ketegaran hati dan keberanian seseorang dalam menghadapi kesulitan sehingga tercipta ide untuk menyelasaikan masalah dapat terwujud.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2005), terdapat beberapa macam faktor yang dapat mempengaruhi Adversity Quotient antara lain meliputi:

  1. Daya saing

Orang yang bereaksi secara konstruktif terhadap kesulitan akan lebih cepat dalam memelihara energi, fokus dan tenaga yang diperlukan untuk berhasil dalam persaingan. Sedangkan orang yang bereaksi secara destruktif cenderung akan kehilangan energi dan mudah putus asa. Dalam persaingan sebagian besar berkaitan dengan harapan, kegesitan dan keuletan sangat menentukan cara seseorang dalam menghadapi tantangan dan kegagalan dalam hidupnya.

  • Produktivitas

Orang yang dapat merespon kesulitan dengan baik, maka akan menjadi seseorang yang produktif.

  • Kreativitas

Suatu harapan akan memunculkan suatu inovasi, yang sebelumnya belum ada menjadi ada. Kreativitas muncul dari keputus-asaan. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan dari hal-hal yang tidak pasti.

  • Motivasi

Seseorang dapat menyelesaikan kesulitan tanpa rasa putus asa apabila memiliki motivasi yang tinggi.

  • Mengambil Resiko

Resiko merupakan aspek esensial dalam menyelesaikan suatu kesulitan. Jika seseorang merespon kesulitan lebih konstruktif maka akan lebih banyak mengambil resiko.

  • Perbaikan

Seseorang yang berada pada era yang terus-menerus berubah. Maka perlu dilakukan suatu tindakan yang mengarah pada yang lebih baik agar tidak tertinggal oleh zaman.

  • Ketekunan

Ketekunan merupakan inti dari adversity quotient. Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus berusaha, meskipun harus dihadapkan dengan kemunduran dan kegagalan.

  • Belajar

Kesuksesan akan mudah didapatkan apabila seseorang tetap optimis mengumpulkan dan memproses pengetahuan.

  • Merangkul perubahan

Seseorang yang memeluk perubahan cenderung merespon kesulitan secara lebih konstruktif dengan memanfaatkan niat. Sehingga kesulitan akan mengubahnya menjadi sebuah peluang.

Tipe-tipe dalam Adversity Qoutient

Stoltz Membagi respons seseorang dalam menghadapi kesulitan dibagi tiga kategori yaitu Quitters, Campers dan Climbers. Istilah ini diambil dari kisah seorang pendaki, yang pertama yaitu pendaki yang menyerah sebelum mendaki, yang kedua pendaki yang merasa puas dengan pendakian di ketinggian tertentu dan yang ketiga pendaki yang terus mendaki hingga ke puncak yang lebih tinggi. Sejatinya kehidupan ini adalah perjuangan dan kehidupan adalah pendakian. (Yoga, 2016)

Berikut jenis pendaki yang dikelompokkan oleh Stoltz :

  1. Quitters (Berhenti)

Quitters adalah orang yang menyerah dalam pendakian sebelum sampai ke puncak atau bahkan berhenti terhadap pendakian dan memutuskan untuk berdiam diri.

  • Campers (Berkemah)

Campers disebut juga sebagai orang yang memutuskan untuk berhenti mendaki dengan alasan ketidakmampuan dan sudah merasa cukup. Orang tipe ini menganggap bahwa dengan berhenti melakukan pendakian adalah tanda telah melakukan berbagai usaha dan pengorbanan.

  • Climbers (Pendaki)

Climbers adalah orang yang berusaha berjuang melakukan pendakian sampai menuju puncak. Orang-orang seperti ini biasanya akan menghiraukan rasa lelah dan letih, menghiraukan  tenaga dan harta sebagai tantangan untuk mendorong dirinya untuk menjadi pejuang yang sebenarnya.

Tiga kerangka dasar pembentuk AQ. Tiga komponen yang akan membentuk sinergisitas kepribadian adversitas dalam diri seseorang.

Psikologi Kognitif

Psikologi kognitif adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana seseorang memperoleh, mentransformasikan, mempresentasikan, menyimpan dan bagaimana pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.

Ketidakberdayaan adalah faktor utama penghambat keberhasilan. Ketika individu tersugesti oleh suatu kelemahan atau ketidakmampuan yang terdapat dalam dirinya, maka dengan sendirinya energi dan mental akan lemah dengan sendirinya. Atau ketika individu menganggap bahwa kekurangan adalah sebuah masalah yang besar, maka seseorang akan dihadapkan dengan kondisi yang tidak produktif, stagnan dan sulit untuk mencari solusi. Begitupun sebaliknya, ketika individu meyakini bahwa kehebatan dan kelebihan yang timbul adalah sikap optimisme dan cara pandang yang positif untuk melangkah maju menjadi lebih baik. Teori kognitif ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam pengendalian hidup yang mencakup beberapa konsep seperti motivasi, efektivitas, daya juang, kinerja, vitalitas, dan produktivitas. (Yoga, 2016)

Neurofisiologi

Teori Neurofisiologi ini berkaitan dengan kebiasaan. Artinya, berawal dari yang dilakukan secara perlahan, lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan yang pada akhirnya mendarah daging atau mengkarakter. Terkait dengan keberhasilan, teori neurofisiologi merupakan sebuah komponen yang dapat membentuk seseorang menjadi lebih baik dengan hanya kebiasaan-kebiasaan yang positif. Sementara itu, sangat tidak mudah untuk mencapai keberhasilan, tetapi dengan adanya kebiasaan baik, menjadikan seseorang berani dan siap dalam setiap pendakian kehidupan (Yoga, 2016)

Psikoneuroimunologi

Seorang professor dari Southern Methodist University, dari penelitiannya membuktikan bahwa kegiatan menulis perasaan-perasaan akan membawa pengaruh positif sistem kekebalan tubuh. Seseorang yang beranggapan bahwa pikiran dan tubuh adalah komponen yang terpisah, itu merupakan kesalahan besar. Pada dasarnya pikiran dan tubuh merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dan bias menjadi sebuah kekuatan yang besar. Hubungan antara pikiran dan kesehatan tubuh dapat memberikan respon positif yang membentuk jiwa adversitas seseorang (Yoga, 2016)

Mengapa Kita Harus Mempersiapan Generasi yang Tangguh

Munculnya beragam fenomena di tengah kehidupan manusia yang serba kompleks yang menunjukkan adanya kemerosotan moral disemua lini kehidupan. Karena seluruh elemen masyarat memiliki tanggung jawab dalam keteladanan, dan mempersiapkan para generasi muda (termasuk buah hati kita) untuk menjadi generasi yang berakhlak, tangguh, unggul dalam segala bidang kehidupan. Mereka adalah tunas yang akan terus tumbuh menjulang. Mereka adalah kuncup kecil yang akan merekah, mewangi dan enak dipandang. Mereka adalah sebait harapan yang akan menjadi gagasan cerdas peradaban dunia.

Memupuk meraka dengan AQ merupakan suatu keniscyaan, membina, mengarahkan, membimbing, mendampingi menjadi pribadi yang berani dan optimis adalah suatu kemestian. Apa yang sedang kita semua ikhtiarkan pada generasi-generasi muda tak terkecuali anak-anak kita adalah proses panjang menuju bangsa yang berwibawa dan bermartabat. Apa yang sedang kita tanamkan pada mereka mulai dari pembiasaan positif, mental pendaki, sampai latihan membangun kepercayaan diri adalah bagian dari rangkaian dalam mewujudkan peradaban yang hakiki (Yoga, 2016)

Melatih atau membiasakan anak dengan hal-hal yang terkait AQ memang tidaklah mudah. Berikut dahsyatnya AQ (Yoga,2016):

  1. Mampu membawa mereka menjadi manusia yang berdaya tahan tinggi dan tidak mudah menyerah, tidak mudah mengeluh, tidak mudah putus asa, mereka akan siap hidup dalam kondisi bagaimanapun.
  2. Mampu memberikan motivasi besar untuk meraih cita-cita tinggi. Bahkan bisa mengubah sesuatu yang dianggap tidak mungkin menjadi mungkin. Memiliki kreatifitas tanpa batas, yang mampu mempersembahkan karya original dan memiliki imajinasi yang luas.
  3. Mampu membakar semangat untuk terus berkarya dan berusaha menjadi versi terbaik.
  4. Mampu menyegarkan untuk selalu berada dalam kondisi bahagia, penuh vitalitas, dan kegembiraaan. Mereka akan terbiasa menyikapi masalah dengan tenang. Tidak mudah mengeluh, merengek serta mampu menumbuhkan sikap keberanian yang tinggi.
  5. Mampu memelihara kesehatan emosional sehingga kondisi emosinya stabil dan terjaga.
  6. Memiliki kesadaran untuk terus melakukan perbaikan.
  7. Mengarahkan untuk memiliki cita-cita yang tinggi dan memiliki masa depan.
  8. Membentuk pribadi memliki tekad yang kuat untuk menuju puncak kesuksesan.

Langkah-Langkah Melesatkan AQ Pada Generasi Muda

Berikut berapa langkah-langkah dalam upaya melesatkan AQ (Yoga, 2016):

  1. Peran orang tua (guru) sebagai instruktur (rule model)
  2. Memusatkan perhatian anak tentang tujuan hidup
  3. Mengevaluasi setiap tahap perkembangan anak
  • Peran orang tua sebagai manajer
    • Menunjukkan sifat positif terhadap anak
    • Memberikan tugas yang bermakna

Memberikan tugas kepada anak dengan cara proporsional. Proses pelaksanaanya harus tetap menjunjung tujuan awal. Yakni dalam rangka tarbiyah, jadi bukan serta-merta  menyuruh atau memanfaatkan

  • Menujukkan semangat

Menunjukkan semangat pada anak dalam melaksanakan tugas diberikan pada mereka, dengan menjelaskan manfaat yang diperoleh.

  • Memberikan kesempatan kepada anak untuk menilai dirinya sendiri

Sebagai orang tua yang bertanggung jawab dan menginginkan anaknya berjiwa climbers ia wajib menjelaskan alasan objektif kepada sang anak sehingga muncul pada diri anak bukanlah patah semangat, melainkan rasa tanggung jawab.

  • Memberikan feed back terhadap hasil karya anak

Karya anak diberikan penilaian dan penghargaan, sehingga mereka merasakan bahwa usaha mereka berharga dan tidak sia-sia.

  • Memberikan kesempatan kepada anak untuk memperoleh kebanggaan atas hasil karyanya

Setiap anak memiliki  karakteristik yang khas. Setiap anak juga memiliki kecenderungan minat yang beda. Setiap anak memiliki respon yang beragam. Setiap anak memeliki kelebihan yang bisa kita eksplorasi sehingga ia menjadi pribadi yang bisa diterima oleh lingkungan, diakui dan dihargai.

Membekali dengan suplemen ketuhanan

Kesadaran bertuhan adalah manifestasi keimanan yag paling prioritas. Berikut beberapa alasan mengapa keimanan menjadi modal agar memiliki ketangguhan:

  1. Ikhtiar saja tidak cukup.
  2. Keimanan yang sempurna akan berbanding lurus dengan ruhiyah yang prima.
  3. Menggiring buah hati kita menuju keimanan yang hakiki adalah kewajiban, sebaliknya membentuk menjadi pribadi yang ingkar adalah kecelakaan besar.

Kematangan beragama dengan sendirinya akan membuat anak kita lebih siap menghadapi kehidupan dengan segala dinamika dan kompleksitasnya. Berikut beberapa kriteria yang perlu untuk diinternalisasikan kepada para genarasi muda:

  1. Selalu merasa dilihat Allah (muraqabatullah).
  2. Ikhlas dalam beribadah.

Keikhlasan merupakan komponen penting bagi seseorang untuk mengasah AQ

  • Respon positif terhadap realitas ketentuan Allah.

Penerimaan terhadap ketentuan Allah adalah proses pembelajaran bermakna bagi anak. Dengan pemahaman seperti ini anak akan terkondisikan untuk senantiasa berusaha legowo, tidak pesimis, tidak berkecil hati, tidak sakit hati berlebihan, dan meyakini bahwa Allah pasti akan mengganti apapun yang hilang dari diri kita dengan hal yang lebih baik.

  • Syukur nikmat

Mereka juga akan belajar tentang kepekaana tau sensitivitas yang positif. Jiwa mereka akan terpanggil dengan melihat realita kesenjangan (disparitas) yang ada.

  • Sabar dalam setiap masalah dan musibah

Pertanyaan mendasar bagi kita adalah apakah kita sudah menjadi sosok yang sabar dalam mengasuh dan mendidik anak-anak kita? Dengan beragam keunikan yang mereka miliki.

  1. Bangunkan emosi positifnya dengan komunikasi yang efektif

Dalam bukunya yang berjudul life span development John W. Santrock menyebutkan defenisi emosi. Menurutnya emosi adalah perasaan atau afeksi yang melibatkan suatu campuran antara gangguan fisiologis dan perilaku yang terlihat. Adapun fungsi dari emosi adalah sebagai berikut :

  • Adaptation dan survival
  • Regulation (pengaturan)
  • Communication (komunikasi)

Beberapa rambu-rambu dalam komunikasi:

  • Persepsi
  • Empati
  • Persuasi
  • Tumbuhkan kesadaran berfikirnya

Untuk terus belajar, terus menambah wawasan keilmuan. Sebuah pepatah arah belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa laksana mengukir di atas air.

  • Menyempurnakan Pendidikan dengan ajaran keislaman

Ajaran Islam mewarnai setiap pemikiran dan perilaku anak, dengan bersumber pada al-Qur’an dan teladan Rasulullah saw.

  • Jauhkan dari sifat penakut

Berhati-hatilah dengan sifat penakut, sebab banyak kejadian hanya karena orang tersebut memiliki sifat penakut, kemudian rencana-rencana yang telah diupayakan gagal.

  • Kenalkan latihan fisik

Cita-cita untuk menjadi climber tidak mungkin diraih oleh orang-orang yang malas dan tidak berdaya tahan. Predikat climber dalam kehidupan ini hanya mampu diusung oleh orang-orang yang yakin.

  • Hindarkan euphoria dan reward yang berlebihan

Anak adalah pribadi yang unik dan penih misteri. Apa yang terfikir di benaknya terkadang jauh di luar dugaan kita. Apa yang dilakukannya terkadang menjadi sejuta makna yang kita sendiri tidak mampu memahaminya. Termasuk pertanyaan-pertanyaan yang luar biasa menarik.

  • Jadilah orang tua yang peka ketika anak-anak memiliki potensi “anak berbakat”

Dengan kepekaan ini orang tua dapat melakukan langkah yang tepat dan efektif sesuai dengan kebutuhan dan keunikan anak.

  • Bangun militansi sedini mungkin

Pembinaan dan didikan orang tua terhadap anaknya akan sangat menentukan keberhasilan anak tersebut di masa yang akan datang.

Salah satu ciri khas dalam menanamkan nilai pada anak adalah melalui pemberian nuansa. Selain pemberian latihan secara konsisten, nuansa yang dibangun pun akan sangat membantu anak untuk memahami apa yang dihadapinya.

  • Uji imunitasnya untuk menjadi pribadi yang lebih berkualitas

Segala sesuatu yang serbanyaman dan serba kondusif tidak selamanya baik untuk pembentukan sikap adversitas pada anak-anak.

  • Hati-hati dengan label-label reaksioner

Banyak para ahli berpendapat bahwa panggilan kita terhadap buah hati adalah do’a. oleh karena itu, kita harus waspada dengan label-label atau panggilan-panggilan ringan yang kita berikan. Secara psikologis, ini bisa menjadikan anak anda underestimate, merasa diri tidka punya kehebatan, atau tentu saja ia akan merasakan banyak hal yang salah dalam dirinya.

Ungkapan atau label yang kita berikan akan bersemayam terus dalam ruang benaknya yang pada akhirnya menjadi sebuah charger yang akan membuat diri anak tidka yakin dan percaya diri.

  • Konsisten mendisiplinkan anak-anak

Disipin sering dipandang sebagai sesuatu yang kaku, tegas, selalu dikonotasikan dengan hukuman, serta cenderung bersifat mengikat bersyarat. Akibatnya, pola Pendidikan dan pengasuhan yang diberikan kepada anak pun tidak jauh dari sikap-sikap otoriter, penuh dengan syarat dan aturan.

Bahkan lebih jauh lagi bisa berbentuk pengekangan. Padahal tidaklah demikian, disiplin ada batasannya, ada koridormya, ada porsinya dan tentu saja ada aturan mainnya. Berikut beberapa hal yang perlu diketahui tentang Karakter disiplin:

  1. Disiplin bersifat membangun.
  2. Disiplin memberikan pilihan yang bijaksana pada anak.
  3. Disiplin dilakukan secara konsisten.
  4. Disiplin bersifat rahasia.
  • Yakini tentang indahnya cinta dan dahsyatnya doa

Kelembutan hati dengan cinta semakin mematangkan jiwa seseorang yang melahirkan sikap peduli, empati, dan tolong-menolong. Kemudian diperkuat dengan kekuatan doa yang semakin mendekatkan diri seseorang pada Tuhannya.

Daftar Pustaka

  1. Stolt, P.G. 2000. Adversity Quotient, Mengubah Hambatan menjadi peluang. Jakarta:Gramedia Widiasarana.
  2. Ulwan, Abdullah Nasih. 2020. Tarbiyatul Aulad Fil Islam (Pendidikan Anak Dalam Islam). Solo : Insan Kamil.
  3. Yoga, Miarti. 2016. Adversity Quotient, Agar Anak Tak Gampang Menyerah. Solo: Tinta Medina.