Penulis : A. Helmy Faishal Zaini
Penerbit : Emir – Erlangga
Tahun Terbit : 2022
Tebal Buku : xvi + 128
ISBN :  978-623-6698-15-0
                                                                    

Pesantren memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia, baik dalam penyebaran dan pendidikan Islam, pengajaran kitab kuning, pendidikan akhlak, dan sebagainya. Pesantren juga telah memengaruhi kemunculan lembaga pendidikan umum, termasuk corak dan sistem pendidikan. Seperti dikatakan Manfred Ziemek (1975), “pesantren adalah embrio utama dan tonggak berdirinya sejarah pendidikan di Indonesia.” Maka dibutuhkan pemahaman yang utuh terhadap pendidikan pesantren sebagai warisan asli Nusantra yang tetap berpengaruh sampai sekarang. Banyak hal dari pesantren, khususnya aspek pendidikan, yang membutuhkan wawasan yang lebih luas sebagai bekal untuk menghadapi tantangan ke depan, di mana pesantren akan terus bersaing dengan berbagai lembaga pendidikan lainnya.

Buku Pesantren: Akar Pendidikan Islam Indonesia yang ditulis oleh A. Helmy Faishal Zaini memberikan wawasan sejarah dan perkembangan pesantren dengan segala ciri dan karakteristiknya. Hal ini sangat bermanfaat untuk memahami hakikat pendidikan pesantren. Selain sebagai lembaga pendidikan tertua dan asli Indonesia, pesantren selalu berhasil mempertahankan nilai-nilai utama yang menjadi ciri khasnya, sembari menerima perkembangan yang terjadi di masyarakat. Melalui buku ini, A. Helmy Faishal Zaini yang pernah menjadi Sekjen PBNU pada 2015-2021, mengulas dengan jelas pendidikan pesantren dari perspektif sejarah. Buku ini sangat relevan dalam memahami bagaimana pesantren tumbuh dan berkembang dari pengajaran yang sederhana hingga menjadi lembaga pendidikan Islam yang lengkap dengan nilai, sistem, metode, dan kurikulum. Buku ini dapat menambah wawasan mengenai berbagai aspek pesantren (khususnya sisi pendidikan), tokoh-tokoh yang berjasa bagi perkembangan  pesantren, dan pandangan para ahli mengenai pesantren.

Masuknya Islam dan Cikal Bakal Pesantren

Buku yang beri kata pengantar Said Aqil Siraj ini, terbagi menjadi empat bagian. Pertama, sejarah pendidikan Islam di Nusantara. Bagian ini mengulas tiga topik utama, yaitu masuknya Islam ke Indonesia, tipologi dan tingkat akseptabilitas Islam Nusantara, dan sejarah pendidikan Islam di Nusantara. Ketiga topik ini penting untuk memahami bagaimana proses penyebaran Islam di Nusantara dan bagaimana hal itu melibatkan proses pendidikan Islam. Hal ini karena proses penyebaran Islam di Nusantara berlangsung melalui pendidikan. Para ulama berperan sebagai guru yang mendidik masyarakat sesuai dengan ajaran Islam.

Permasalahan yang diangkat seputar tiga persoalan pokok, yaitu asal-usul kedatangan Islam, pembawanya, dan waktu kedatangan. Sejumlah teori diulas meski tidak luas, namun cukup sebagai wawasan dasar. Terkait asal-usul kedatangan Islam ke Nusantara, dimunculkan teori Gujarat, Malabar, Arab, dan Tiongkok. Waktu kedatangan Islam ke Nusantara ada yang berpendapat sejak 7 M, 12 M, atau 13 M. Tidak ada kesepakatan pendapat di seputar masalah-masalah ini mengingat keterbatasan sumber-sumber sejarah. Namun kita menemukan kesepakatan terkait sifat masuknya Islam di Nusantara, yaitu dengan cara damai tanpa kekuatan militer.

“Meski demikian, ada satu hal yang disepakati para sejarawan yaitu Islam masuk dan menyebar ke seluruh penjuru Nusantara tanpa didahului penaklukan fisik dan pertumpahan darah. Hampir semua sejarawan sepakat Islam menyebar di Nusantara tidak melalui gerakan misionaris yang terencana atau penaklukan, tetapi lewat perdagangan,  hubungan pernikahan, forum-forum surau atau majelis kecil. Bahkan Islam menyebar ke seluruh Nusantara dimulai dari masyarakat bawah. Penyebaran Islam tidak melalui negara atau kerajaan, meskipun di beberapa daerah kerajaan sangat berperan” (hal.9).

Penyebaran Islam dilakukan oleh ulama maupun pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan India yang menyebarkan Islam sambil berdagang. Mereka tinggal di pemukiman-pemukiman di daerah pesisir, di mana mereka berinteraksi dengan penduduk lokal. Proses penyebaran Islam pun terjadi melalui hubungan antara pribadi, keluarga, dan melalui kebiasaan sehari-hari yang resapi dengan nilai-nilai Islam. Ada juga yang dilakukan melalui media kesenian, seperti pertunjukan gamelan dan wayang sebagaimana dilakukan oleh Sunan Bondang dan Sunan Kalijaga.

“Jelas sudah, keanekaragaman Islam Nusantara disebabkan pembawa gagasannya datang dari berbagai lingkungan budaya (Arab, India, Tiongkok, Persia) yang berbeda. Hal ini juga dipermudah dengan kesadaran tentang keragaman dan sikap anti kekerasan yang telah ‘mendarah daging’ dalam diri masyarakat Nusantara” (hal.11).

Menurut Ziemek, sebagaimana dikutip oleh penulis, penerimaan penduduk Nusantara terhadap dakwah Islam dipengaruhi oleh motif ekonomi dan politik. Para penguasa pribumi memeluk Islam karena ingin meningkatkan kegiatan perdagangan di wilayahnya. Setelah memeluk Islam, mereka mendapat dukungan penuh dari para pedagang muslim yang menguasai sumber-sumber ekonomi. Hal ini membuat para penguasa pribumi di Nusantara dapat berpartisipasi lebih efektif dalam perdagangan internasional (hal.12).

Kaum sufi juga memiliki peranan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Mengutip A.H. Johns, Islam tidak menyebar dan berakar di kalangan penduduk Nusantara atau mengislamkan para penguasa Nusantara sebelum disebarkan para Sufi. Menurut Johns, para pedagang muslim memang mempunyai peran sebagai pembawa Islam ke Nusantara, namun hingga abad ke 13 M, justru para sufi yang menyebabkan konversi masif penduduk Nusantara menjadi muslim (hal. 14).

“Masuknya Islam ke Nusantara mempunyai arti strategis, yaitu sebagai tonggak berdirinya pendidikan Islam di Indonesia” (hal. 16).

Para pedagang muslim dan kaum sufi menyebarkan Islam dalam pergaulan sehari-hari. Mereka menunjukkan sikap yang baik, ramah, dan mampu berdialog dengan budaya lokal. Mereka menempuh jalur kultural dalam menyebarkan Islam dan pendidikan yang bersifat nonformal. Dengan berdirinya perkampungan muslim di wilayah pesisir, seperti di pesisir Aceh menjelang abad 13 M, masjid atau musala mulai didirikan. Pendidikan Islam mulai lebih terarah.

Perkembangan yang signifikan terjadi pada abad 13 M di mana Kerjaan Samudera Pasai menyelenggarkan pendidikan Islam, baik di istana maupun masjid. Berdasarkan catatan kunjungan Ibn Batutah pada 1354 M, Samudera Pasai telah dikenal sebagai tempat studi Islam paling tua. Hingga abad ke 17 M Aceh menjadi pusat pendidikan Islam dengan berdirinya masjid, dayah, dan surau, hingga Aceh pun dikenal sebagai “serambi Mekah”.

Sementara itu di Pulau Jawa, penyebaran Islam dilakukan oleh wali songo melalui jalur budaya dan seni. Pada 1475 M Wali Songo berhasil mendirikan kerajaan Islam di Demak dan mengangkat Raden Fatah sebagai raja pertama. Raden Fatah kemudian mendirikan pesantren di hutan Gelagah Arum di sebelah selatan Jepara. Daerah itu kemudian dikenal dengan sebutan Bintoro dan pesantrennya bernama Bayangkara Islah (Angkatan Pelopor Perbaikan). Mengutip pendapat Mahmud Yunus, inilah lembaga pendidikan pertama yang dibentuk di Indonesia (hal.22).

Proses selanjutnya cukup panjang, dari Kerajaan Demak ke Pajang, lalu ke Mataram—yang tidak dijelaskan dalam buku ini. Bagaimanapun, data sejarah yang menyebutkan sistem pendidikan dan Kitab apa saja yang diajarkan  selama proses ini masih sangat terbatas.

Pesantren Sebagai Akar Pendidikan Islam Indonesia

Bagian kedua Pesantren: Akar Pendidikan Islam Indonesia membahas pesantren sebagai akar pendidikan Islam Indonesia. Pembahasan di mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang mengadakan pengajian yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya pesantren. Pengaruh dakwah Maulana Malik Ibrahim menyebar secara luas. Sejumlah kota di wilayah pesisir menjadi ramai dengan kegiatan pendidikan Islam, seperti Gresik, Tuban, Surabaya, dan Cirebon. Kota-kota ini memang ramai dengan lalu lintas perdagangan dari Hadramaut, Persia, dan Irak.

Para wali songo memainkan peranan penting dalam hal ini. Selain memiliki pengaruh dalam kekuasaan politik, para wali songo juga mendidik dan mengajar masyarakat umum. Tempat pengajaran ini menjadi cikal bakal pesantren. “Pengajaran-pengajaran yang dilakukan wali songo itulah yang kelak diyakini menjadi cikal bakal lahirnya pesantren,” (hal. 31).

Akan tetapi, dari manakah asal-usulnya? Jika dakwah dan pendidikan Islam dilakukan oleh para wali songo, maka seharusnya model pendidikan pesantren sesuai dengan latar belakang mereka—meskipun bisa juga mereka mengadaptasi dari model pendidikan lokal yang ada saat itu (Hindu-Buddha).  Setidaknya ada tiga pendapat terkait hal ini. Pertama, adaptasi dari tradisi pendidikan Hindu-Buddha, yang memiliki pendidikan berasrama bagi pelajar agama. Istilah santri pun dianggap sebagai serapan dari Bahasa Sansekerta, shastri, para penuntut ilmu dalam tradisi Hindu-Buddha.

Kedua, adopsi dari sistem pengajaran Universitas al-Azhar, Kairo, yang merupakan lembaga pendidikan Islam terrtua. Kata pondok merupakan serapan dari Bahasa Arab, funduk, tempat tinggal sementara.  Ini merupakan pendapat Bruinessen.

Ketiga, berasal dari  kaum sufi yang memiliki tradisi suluk yang berada di bawah bimbingan mursyid. Mereka tinggal di sekitar masjid untuk mendapat bimbingan guru.  Mereka pun membangun pondok-pondok untuk tinggal. Cikal bakal pesantren bermula dari tradisi semacam ini.

Perkembangan Pesantren

Pesantren mengalami perkembangan mulai abad 17 M, ketika Kesultanan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo Sultan ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada periode tahun 1613-1645 M, yang dikenal saleh dan menjadi salah satu referensi utama dunia Santri (hal.33).

Mengutip dari Abdurrahman Mas’ud, dijelaskan bawah Sultan Agung Mataram yang bergelar Kalifatullah Sayyidina Panatagama ing Tanah Jawi berhasil membina relasi harmonis antara penguasa dengan ulama. Harmonisasi hubungan Sultan Agung Mataram dengan para ulama menempatkan dirinya sebagai pemimpin negara yang disegani dan mengakar di masyarakat. Salah satu sumbangsih terbesarnya bagi perkembangan pesantren adalah pemberian tanah perdikan kepada kaum santri, dan penciptaan iklim kondusif bagi kehidupan intelektual keagamaan. Tidak mengherankan jika pada masanya dapat berdiri tidak kurang dari 300 pesantren (hal.33).

Pada masa kolonial Belanda, pesantren mendapatkan pengawasan dan pembatasan karena dicurigai sebagai tempat munculnya gerakan perlawanan. Namun hal ini tidak menghambat perkembangan pesantren. Bahkan sampai masa kemerdekaan, pesantren tetap mampu bertahan meski dihadapkan pada kesulitan ekonomi dan kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Dengan tetap mempertahankan sifat kemandiriannya dan juga dukungan masyarakat, pesantren tetap berdiri sebagai lembaga pendidikan agama (tafaqquh fiddin) bagi masyarakat.

Sekarang, pesantren tumbuh dan berkembang di mana-mana. Secara statistik, Kementerian Agama menghitung ada 36.600 jumlah pesantren di tahun 2022. Pesantren tetap menjadi lembaga pendidikan pilihan masyarakat yang mendapat kepercayaan untuk mendidik anak-anak mereka, terlebih di tengah pengaruh pergaulan bebas yang semakin menggila.

Sistem Pendidikan Pesantren

Pendidikan pesantren memiliki banyak keunggulan. Di samping mengajarkan ilmu-ilmu agama, pesantren juga sangat menekankan pendidikan akhlak. Terlebih saat ini, banyak pesantren yang memadukan pengajaran ilmu agama dan umum bersama dengan pendidikan akhlak. Keunggulan inilah yang membuat pesantren terus mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sehingga memiliki daya sayang dengan lembaga pendidikan lainnya.

Hal ini ditegaskan penulis betapa pendidikan pesantren lebih bersifat komprehensif yang mencakup aspek-aspek utama peserta didik. “Sesungguhnya hanya pesantren yang mengintegrasikan tiga hal sekaligus dalam kehidupan santri-santrinya yakni ta’lim (pengajaran), tarbiyah (pendidikan) dan ta’dib (pengadaban). Ketiga hal ini sampai sekarang sulit ditemukan menjadi satu paket komprehensif pada lembaga pendidikan mana lain” (hal.45).

Pesantren juga memiliki kebihan dengan sistem pemondokan yang membuat pendidikan pesantren lebih terawasi dan belajar secara intensif. Sistem pemondokan semakin banyak ditiru oleh lembaga-lembaga pendidikan selain pesantren, baik di dalam maupun luar negeri.

Selanjutnya, ciri khas kurikulum pesantren adalah menggunakan kitab kuning dengan muatan ilmu-ilmu keislaman. Genealoginya kemungkinan merujuk pada kitab Itmam al-Dirayah karya  Jalaluddin al-Suyuti. Terdapat empat belas cabang keilmuan yang disebutkan dalam kitab tersebut, yang kemudian disederhanakan menjadi fikih, akidah, kaidah Bahasa Arab (nahwu, sharaf, balaghah), hadis, tasawuf, sirah Nabi, tafsir al-Qur’an, ushul fiqh, dan mantiq (hal. 47).

Kitab-kitab yang diajarkan disesuaikan dengan tingkatan pendidikan santri.  Berikut kitab-kitab yang umumnya diajarkan di pesantren sesuai dengan jenjang pendidikan:

  1. Fikih tingkat Tsanawi: al-Taqrib, Sulam al-Taufiq, Uqud al-Lujain, Fath al-Qarib, Kifayat al-Akhyar. Tingkat Aliyah: Fath al-Mu’in, Fath al-Qarib, Mahalli, Minhaj al-Thalibin;
  2. Ushul Fiqh tingkat Aliyah:  alWaraqat, al-Luma, al-Bayan, Jam’u al-Jawami;
  3. Najwu Sharaf tingkat Tsanawi: Alfiyah Ibnu Malik, Amtsilat al-Tasrif, Syarh al-Jurumiyah, ‘Imriti, Mutammimah, ‘Awamil. Tingkat Aliyah: Syarh Alfiyah Ibnu Malik, Dahlan Alfiyah;
  4. Akidah tingkat Tsanawi: Aqidat al-Awwam, Kifayat al-Awwan, Jauhar al-Tauhid, Sanusi, Jawahir al-Kalamiyah. Tingkat Aliyah:  Ummu al-Barahin, Fath al-Majid, Dasuqi;
  5. Akhlak Tasawuf tingkat Tsanawi: Ta’lim al-Muta’allim, Akhlaq li al-Banin/Banat, Bidayat al-Hidayah. Tingkat Aliyah: Ihya ‘Ulumuddin, Minhaj al-‘Abidin, Syarh al-Hikam;
  6. Hadis tingkat Tsanawi: Bulug al-Maram, Arba’in al-Nawawi, Mukhtar al-Ahadits, al-Baiquni. Tingkat Aliyah: Riyad al-Shalihin, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim;
  7. Sirah Nabi tingkat Tsanawi: Khulasah Nur al-Yaqin, al-Barjanzi, al-Dardir, al-Diba.

Akhirnya, keunggulan pendidikan pesantren terletak pada pendidikan karakter. Kurikulum pendidikan di pesantren, termasuk di dalamnya kitab kuning, tidak dimaksudkan sebagai pelajaran yang bersifat kognitif, tetapi untuk membentuk karakter santri. Hal itu juga diperkuat dengan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari di pesantren dalam hal kedisiplinan, kepatuhan, dan keteraturan. Belajar, ibadah, melaksanakan sunah-sunah pondok sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Ini semua membentuk karakter. Karena itu, “pesantren memiliki nilai-nilai yang tidak dimiliki lembaga pendidikan modern seperti sekolah” (hal. 63).

Para Tokoh Teladan

Bagian ketiga buku Pesantren: Akar Pendidikan Islam Indonesia, membahas kepemimpinan para tokoh yang berjasa bagi perkembangan pesantren. Dipaparkan sejumlah tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah pendidikan pesantren baik dari segi kepemimpinan, keilmuan, keteladanan, dan pembaruan. Mulai dari masa Wali Songo, sejak Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Drajat (Syekh Syarifudin), Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim), Sunan Kali Jaga (Raden Mas Said), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Kudus (Ja’far Sadiq), Sunan Muria (Raden Umar Said), dan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).

Kemudian diulas para tokoh Abad ke-18 seperti Ki Ageng Hasan Besari yang merintis Pesantren Tegal Sari, Mbah Mutamakkin yang berdakwah di Kajen, Pati (Jawa Tengah), Sayyid Sulaiman yang merintis Pesantren Sidogiri, Kiai Jamsari yang merintis Pesantren Jamsaren (Solo), dan Mbah Muqoyyim perintis Buntet Pesantren (Cirebon). Mereka memiliki peranan penting dalam merintis dan mengembangkan pesantren sebagai pusat dakwah dan pendidikan umat.

Para tokoh di atas memiliki pengaruh besar berkat kepemimpinan, keilmuan, keteladanan, perjuangan, inovasi dan pembaruan yang mereka lakukan. Melalui kebijaksanaan mereka, dakwah dan pendidikan Islam dapat diterima oleh masyarakat luas. Tidak mudah menyerukan ajaran Islam di tengah masyarakat yang telah menganut ajaran Hindu-Buddha (maupun animisme) yang telah mengakar begitu kuat di Nusantara.

Bagian Keempat Pesantren: Akar Pendidikan Islam Indonesia, membahas tentang pandangan para ahli mengenai pesantren. Mereka antara lain, Zamakhsyari Dhofier, Manfred Ziemek, Mastuhu, Hiroko Horikoshi, Abdurrahman Wahid, Said Aqil Siraj. Mereka adalah para peneliti yang telah memperkaya khazanah keilmuan mengenai pesantren dari berbagai pendekatan dan perspektif. Sebagian di antara mereka berlatar pesantren, sebagian lainnya adalah peneliti asing (Jepang dan Belanda). Sampai saat ini, kajian-kajian ilmiah mengenai pesantren banyak merujuk kepada karya-karya mereka. Bagian ini cukup penting untuk mengetahui beragam pendekatan dalam mengkaji pesantren, baik pendekatan historis, sosiologis, antropologis, dan lain sebagainya. Hal ini akan menambah perspektif yang lebih kaya mengenai pesantren dan membuat penelitian-penelitian terhadap pesantren terus mengalami peningkatan. Makin jelas mengapa pesantren begitu kaya dengan khazanah keilmuan, mengapa pesantren mampu bertahan hingga saat ini, mengapa pesantren memiliki sejumlah keunggulan, dan masih banyak lagi.