Sebagai seorang santri yang sangat cinta ilmu dan belajar pada banyak guru, Abuya Dimyati menempuh suatu perjalan ke Watucongol, Muntilan, Magelang. Tujuannya untuk belajar ke Mbah Dalhar (1870-1959) Sang Kiai Pesantren Watucongol yang terkenal dengan kealiman dan kesufiannya (Mursyid Tarekat Syadziliyah).
Kepada para santrinya, Mbah Dalhar mengatakan bahwa besok akan datang “kitab yang banyak”. Lalu esoknya datanglah Abuya Dimyati. Namun anehnya, sampai empat puluh hari Abuya Dimyati tidak disapa ataupun ditanya. Barulah setelah empat puluh hari Abuya Dimyati dipanggil oleh Mbah Dalhar.
“Sampeyan mau apa datang jauh-jauh ke sini,” tanya Mbah Dalhar.
“Saya mau mondok Mbah,” jawab Abuya Dimyati dengan penuh rendah hati.
“Di sini tidak ada ilmu. Ilmu itu ada di sampeyan,” kata Mbah Dalhar yang mengetahui kealiman pemuda di hadapannya.
“Kamu pulang saja, syarahi kitab-kitab Mbahmu,” lanjut Mbah Dalhar.
“Saya tetap mau ngaji di sini Mbah,” Abuya Dimyati tetap pada pendiriannya.
Perjalanan seorang ‘alim ke suatu tujuan memang bukan tanpa petunjuk ilham, sehingga Abuya Dimyati tetap pada tujuan semula meskipun harus menghadapi beragam ujian. Di sini, kesungguhan niat dan kesabaran menjadi kunci.
Akhirnya Mbah Dalhar pun menjawab keinginan Abuya Dimyati, tapi untuk mengajar.
“Kalau begitu, sampeyan bantu mengajar,” kata Mbah Dalhar.
Abuya Dimyati pun memenuhi permintaan tersebut dan mengajar santri di pesantrennya Mbah Dalhar, Watucongol, Muntilan, Magelang. Sampai tiba waktunya, beliau pun mendapatkan ijazah Tarekat Syadziliyah dari Mbah Dalhar. Sanad Mbah Dalhar bersambung kepada Syekh Muhtaram al-Makki, yang diterimanya sewaktu belajar di Mekah. Selain Abuya, Mbah Dalhar menurunkan ijazah Tarekat Syadziliyah kepada Kiai Iskandar Salatiga dan Kiai Ahmad Abdul Haq.
Kiai Dalhar adalah keturunan dari Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kakek Kiai Dalhar, yaitu Syekh Abdurrauf, merupakan panglima Perang Jawa (1825-1830) bersama Pengeran Diponegoro. Hal ini pun menurun kepada Kiai Dalhar yang mendukung perjuangan dalam pertempuran di Ambarawa pada 1945 melawan Sekutu.
Kesungguhan niat dalam belajar dan kecintaannya pada ilmu, membuatnya sabar. Bukan kali itu saja beliau tidak langsung diterima sebagai murid. Sewaktu Abuya Dimyati hendak mengaji pada Mbah Baidhawi Lasem, beliau malah disuruh pulang. Lagi-lagi karena keluasan ilmu, membuat Mbah Baidhawi merasa tidak ada sesuatu yang bisa diajarkan lagi pada pemuda alim tersebut. Namun Abuya tetap dengan tekad dan kesungguhannya untuk belajar, sampai akhirnya Mbah Baidhawi menerima sebagai muridnya.
Abuya bukan hanya murid yang luar biasa dalam mencari ilmu. Beliau juga seorang guru yang penuh semangat dalam mengajar dan ibadah. Menurut Kiai Dimyati Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah, ia belum pernah melihat seorang kiai yang ibadahnya luar biasa seperti Abuya. Selama yang dilihatnya ketika berada di Kaliwungu, Abuya aktif dalam mengajar dan ibadah. Setelah subuh, Abuya mulai mengajar sejak pukul enam pagi hingga pukul 11.30. Setelah salat zuhur dan istirahat, Abuya melanjutkan lagi hingga salat ashar. Selesai salat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Lalu wirid hingga Isya. Kemudian mengaji lagi hingga tengah malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh. Demikian seterusnya aktivitas keseharian beliau.
Abuya Dimyati sungguh ulama teladan ilmu dan guru yang digugu dan ditiru. Beliau mencintai ilmu dan menjadikan tarekatnya sebagai tarekat ilmu. “Tarekat aing mah ngaji,” kata beliau. Abuya juga seorang guru teladan akhlak yang menjalani hidup zuhud. Beliau mengajari murid-muridnya dengan penuh semangat dan dedikasi.