Cinta, Derita dan Kesabaran dalam Puisi Jalaluddin Rumi

Salah satu tema umum yang sering muncul dalam karya sastra sufi Persia dan Turki adalah tentang cinta dan kerinduan. Cinta yang menarik seseorang dari kubangan lumpur duniawi kepada realitas Sejati. Cinta yang mengubah kegelapan hati menuju cahaya cinta Ilahi. Hal ini sebagaimana tertuang dalam syair-syair Maulana Jalaluddin Rumi, khususnya dalam al-Matsnawi dan Diwan I Syamsi Tabriz, dua karya monumental Rumi dengan gaya bersenandung cinta yang berbeda. al-Matsnawi seumpama aliran air yang sejuk, tenang, dan menghanyutkan. Diwan I Syamsi Tabriz seumpana gelombang dahsyat yang bertubi-tubi, kuat dan menghempas.

Dalam I am Wind You are Fire: The Life and Work of Rumi (1992), Annemarie Schimmel menulis, cinta itu magnet, yang menarik segala hati ke arah dirinya. Hal seperti ini lazim dalam tulisan-tulisan pemikir-pemikir dan penyair-penyair Persia pada masa itu. Namun, kata Schimmel, pada umumnya Maulana Rumi lebih menyukai ungkapan yang memperjelas kekuatan cinta yang hidup itu, bukan sekadar pesona mekanis. Dan Rumi kerap menggunakan perumpamaan yang diambil dari kehidupan sehari-hari. Cinta adalah sekolah.

Seringkali penggambaran psikologis cinta kaum sufi bukanlah cinta yang penuh tawa, tetapi cinta yang menderita akibat didera oleh kerinduan yang terus menggelora. Perumpamaan yang sering digunakan adalah api yang meleburkan segala sesuatu menjadi murni. Api peleburan, api yang membakar diri dalam kefanaan (fana), sehingga melahirkan wujud baru yang sesungguhnya (baqa). Hal ini seperti pengalaman Rumi sendiri yang begitu menderita kerinduan terhadap gurunya, Syamsi Tabriz, yang kemudian menjadi jembatan cinta Ilahi.

Annemarie Schimmel menjelaskan, bahwa perumpamaan-perumpamaan yang bertalian dengan alam api selalu berhubungan dengan penderitaan, meskipun penderitaan ini merupakan keharusan dan karenanya membahagiakan. Namun, kaum sufi telah membuat sebuah perkataan jenaka yang bagus: pada waktu Perjanjian Primordial, manusia yang belum menjadi makhluk itu memberikan respons terhadap pertanyaan Alastu bi-rabbikum (Bukankah Aku Tuhanmu?) dengan kata “bala” (Ya, memang) (QS Al-A‘râf [7]: 172). Berarti manusia sudah siap menerima semua penderitaan (balâ) yang akan menemuinya dalam pengabdian kepada Tuhan. Bagi kaum sufi inilah jalan cinta, seperti kata Rumi dalam Diwan I Syamsi Tabriz:

Di mata orang, itu disebut Cinta; namun di mataku,

itu penderitaan (balâ) jiwa!

Memenuhi panggilan cinta berarti berjalan menuju kefanaan (fana), leburnya seluruh kesadaran (rahasia huruf “Fa”) dan diam. Syair Rumi dalam Diwan I Syamsi Trabriz mengungkapkan:

Diamlah,
dan berjalanlah melalui kesunyian
menuju ketiadaan,
Bila engkau sudah jadi ketiadaan,
dirimu akan jadi pujian!

Meskipun demikian, penderitaan bukanlah kondisi yang sesungguhnya, ia adalah rasa-ekstatik yang membuahkan kebahagiaan dan gerak-kosmik yang menumbuhkan sesuatu yang bermanfaat. Rumi mengungkapkan hal ini dalam Al-Matsnawi:

Lewat Cintalah semua yang pahit akan jadi manis
Lewat Cintalah semua tembaga akan jadi emas
Lewat Cintalah semua endapan akan jadi anggur murni
Lewat Cintalah semua kesedihan akan jadi obat
Lewat Cintalah si mati akan jadi hidup
Lewat Cintalah raja jadi budak

Demikian pula dalam Diwan I Syamsi Tabriz:

Kalau saja bumi dan gunung itu bukan pencinta
Tentu rumput tak akan tumbuh dari dada mereka

Pada akhirnya cinta tidak dapat diungkapkan sepenuhnya dalam kata. Lidah akan kelu membeku membicarakannya, dan pena akan terdiam menuliskannya. Namun hatilah yang mampu memenuhi panggilan cinta. Syair Rumi dalam Diwan I Syamsi Tabriz:

“Bagaimana keadaan sang pencinta?” Tanya seorang lelaki.
Kujawab, “Jangan bertanya seperti itu, sobat:
Bila engkau seperti aku, tentu engkau akan tahu;
Ketika Dia memanggilmu,
engkau pun akan memanggil-Nya!”

Cinta memberi kekuatan untuk menanggung kesulitan dan penderitaan dengan penuh kesabaran. Yang dilihat bukan penderitaan, yang dirasa bukan kesulitan; tapi yang dilihat, dirasa, dan dimaknai adalah cinta dan kasih sayang-Nya. Tentu ini tidak mudah, jika bukan karena pertolongan dan hidayah-Nya.