Berprestasi di Bidang Ilmu dalam Kitab <em>Adab al-`Alim wal Muta`allim</em>

Ilmu yang bermanfaat akan mendatangkan kebaikan baik bagi individu maupun masyarakat. Itulah sebabnya dalam Islam, menuntut ilmu diwajibkan bagi kaum muslim dan muslimat di sepanjang hayat, agar umat Islam dapat mewujudkan kemaslahatan, menjadi rahmatan lil alamin. Ilmu menjadi syarat utama agar umat Islam menjadi figur teladan rahmatan lil alamin bagi bangsa lain di dunia ini. Menjadi teladan, bukan ikut-ikutan.

Harapan semacam itu akan terwujud ketika ilmu bersanding dengan adab. Ilmu menjadi sumber pemahaman, kebenaran, dan kebijaksanaan. Sementara adab mewujudkannya dalam kenyataan dengan cara yang indah. Jika umat Islam memiliki keduanya maka akan bangkit sebagai bangsa besar. Umat Islam akan mencapai kemajuan bila ilmu dan adab berpadu. Ilmu yang berdasarkan sikap hidup mulia, seperti kesopanan, disiplin, menghargai waktu, kerja kerasa, dan lainnya akan membuat ilmu menjadi lebih produktif. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh Imam Nawawi dalam Adab al-‘Alim wal-Muta’allim. Dalam kitab ini, imam Nawawi sangat menekankan pentingnya adab dalam menuntut ilmu, dalam proses belajar dan mengajar.

Imam Nawawi, yang bernama Yahya ibn Syaraf ibn Muriy al-Nawawi, lahir pada 631 H di Desa Nawa, dekat Damaskus. Sejak kecil ia telah tertarik pada ilmu dan mulai usia 19 tahun meninggalkan desa kelahirannya untuk belajar di sejumlah tempat, mulai dari Damaskus, Mekkah, hingga Baitul Maqdis. Aktivitas kesehariannya hanya ilmu dan ibadah. Seperti kata al-Sakhawi, La yadhi’u lahu waqtun illa fi al-isytighal bi ‘ilmin wa ibadatin.”

Imam Nawawi belajar dari banyak guru di bidang hadis, fiqh, ushul fiqh, bahasa, dan lainnya. Ia pun sangat produktif dalam menulis dan melahirkan begitu banyak karya, khususnya di bidang hadis dan fiqh, yang sampai sekarang masih menjadi rujukan. Sang imam wafat pada 676 H di usia 45 tahun. Dalam rentang usia yang tidak begitu panjang ia telah melalui hari-harinya dengan penuh makna, dengan ilmu dan ibadah, serta melahirkan karya yang bermanfaat bagi umat sampai sekarang.

Imam Nawawi sangat menekankan keikhlasan, kejujuran, dan keteguhan niat. Dalam Adab al-‘Alim wal Muta’allim, ia mengajak pembaca kepada nilai-nilai batiniah yang harus ditanamkan, baik dalam menjalani kehidupan, maupun dalam menuntut ilmu. Seseorang akan berhasil mencapai tujuan, manfaat, dan keberkahan, di mulai dari sini. Kembali kepada niatnya, niat yang ikhlas dan jujur, yang terus dipelihara dengan penuh keteguhan.

Imam Nawawi menjelaskan tentang keutamaan ilmu, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, hadits, dan ucapan generasi salaf. Karenanya, tidak diragukan lagi Islam begitu mengutamakan ilmu dan sepantasnya umat Islam bersemangat dalam menuntut ilmu. Sebagaimana disebutkan oleh Muadz bin Jabal ada enam keutamaan ilmu. Mempelajarinya adalah kepatuhan, mencarinya adalah ibadah, membahasnya adalah tasbih, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya adalah sedekah dan mendiskusikan dengan ahlinya adalah kekerabatan.

Imam Syafi’i mengatakan, “Barang siapa menginginkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat ia harus berilmu. Manusia yang tidak mencintai ilmu, maka tidak ada kebaikan sama sekali di dalam dirinya. Jauhilah orang yang tidak mencintai ilmu, sebab kalian tidak akan mendapatkan apa-apa darinya. Sebab ilmu adalah kebijaksanaan dan tidak ada kebijaksanaan dalam diri orang yang tidak mencintai ilmu pengetahuan.”

Secara garis besar Adab al-‘Alim wal Muta’allim menjelaskan adab bagi guru dan murid dalam proses belajar dan mengajar. Masing-masing memiliki etikanya sendiri yang harus diamalkan agar mencapai keberhasilan, baik sebagai guru maupun murid.

Sepantasnya seorang guru memiliki etika personal yang sesuai dengan peranannya yang begitu mulia. Imam Nawawi menyebutkan, antara lain, ikhlas karena Allah, senantiasa berperilaku baik, menjauhi sifat-sifat tercela, melanggengkan amalan zikir, menjaga muraqabah, tidak semena-mena, dan menghindari perbuatan syubhat.

Kemudian seorang guru hendaknya bersungguh-sungguh dalam setiap aktivitas keilmuannya. Agar ia dapat menjadi seorang mujtahid, maka ia harus tekun membaca, menggali hal-hal baru, serta melakukan penelitian-penelitian ilmiah, lantas membukukannya atau menuliskannya sebagai bentuk karya nyata.

Untuk mendapatkan ilmu baru, kata Imam Nawawi, guru tidak pernah berhenti untuk belajar, bahkan tidak sungkan untuk bertanya pada murid-muridnya. Dengan begitu, guru terus meningkatkan kualitas keilmuannya, sesuai ketentuan sebagai berikut ini:

  1. Seorang berilmu harus senantiasa rendah hati (mau belajar dan tidak sungkan bertanya), tidak putus membaca, dan selalu mempelajari bidang keahliannya;
  2. Aktivitas keilmuan menjadi prioritas, fokus dalam belajar, dan urusan selainnya ditempatkan setelah selesai belajar;
  3. Jika ia ahli dalam disiplin ilmu tertentu, maka ia harus menuliskannya;
  4. Hati-hati dalam menulis, karena jika terjadi kesalahan akan membahayakan diri dan agama;
  5. Tidak tergesa-gesa mempublikasikan tulisannya, harus diteliti dan didiskusikan berulang kali;
  6. Mampu menjabarkan dengan jelas terminologi-terminologi ilmiah yang ia gunakan;
  7. Dalam karya ilmiah, seorang guru harus mampu menghadirkan hal-hal baru yang belum banyak dikaji sebelumnya.

Sementara itu, bagi para penuntut ilmu harus memiliki sifat tertentu untuk menunjang keberhasilannya dalam proses belajar. Terdapat sejumlah adab seorang murid yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh, sebagaimana disebutkan Imam Nawawi, yaitu:

  1. Menyucikan hatinya dari perkara-perkara yang dapat mencederai kesungguhan niatnya dalam belajar. Hal ini bertujuan agar ia dapat menerima pelajaran dengan baik serta memudahkannya dalam menghafal pelajaran-pelajaran tersebut;
  2. Menyingkirkan segala hal yang bisa mengganggu konsentrasi belajarnya dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Selama proses belajar Ia harus rela dengan makanan yang seadanya dan sabar menjalani hidup bersahaja;
  3. Senantiasa rendah hati terhadap ilmu yang ia pelajari. Demikian pula terhadap guru yang mengajarinya. Dengan kerendahan hati itulah ia akan mendapatkan ilmu;
  4. Bagus akal sehatnya, tampak perilaku religiusnya, terbukti pengetahuannya, mampu menjaga ilmunya, senantiasa belajar dan bisa menjadi teladan;
  5. Belajar kepada guru dan tidak hanya mengandalkan membaca buku sendiri;
  6. Memandang gurunya dengan tatapan kemuliaan. Ia menempatkan gurunya sebagai orang yang sangat dihormati;
  7. Berusaha mencari keridhaan guru;
  8. Meminta izin bila hendak bertemu;
  9. Ketika memasuki majelis ilmu gurunya, seorang murid hendaknya hadir dengan kesadaran penuh untuk menghormatinya, meneguhkan niatnya untuk belajar dan tidak terganggu dengan hal-hal lainnya. Hadir dalam keadaan suci, bersih, dan rapi;
  10. Mengucap salam ketika memasuki majelis atau kelas gurunya;
  11. Tidak sembarangan masuk dan melintasi yang lain dalam majelis;
  12. Tidak diperkenankan untuk meminta atau menyuruh orang lain agar berpindah dari tempat duduknya;
  13. Tidak diperkenankan tiba-tiba langsung duduk di tengah-tengah kerumunan orang yang telah hadir;
  14. Harus senantiasa beradab terhadap siapa saja yang telah hadir;
  15. Tidak diperkenankan berteriak atau meninggikan nada suara seenaknya maupun tertawa terbahak-bahak;
  16. Fokus pada apa yang tengah disampaikan oleh guru dan tidak diperkenankan melakukan gerakan yang sia-sia baik tangan atau anggota tubuh lainnya, termasuk memalingkan pandangan, kecuali jika ada keperluan;
  17. Ketika ada seorang murid yang bertanya, murid yang lain tidak diperkenankan untuk menjawab dan menjelaskannya kecuali telah diizinkan oleh guru;
  18. Seorang murid ketika ingin bertanya hendaknya dilakukan dengan lembut dan dengan menggunakan bahasa yang baik;
  19. Tidak mengatakan paham jika memang belum paham;
  20. Tidak perlu malu jika memang belum paham;
  21. Berusaha agar pemahamannya sudah benar;
  22. Tetap menyimak penjelasan yang sudah dipahami karena kemungkinan murid yang lain belum memahaminya;
  23. Mampu menjaga semangat belajar baik di siang maupun malam, baik di rumah maupun sedang bepergian. Ia harus mampu memanfaatkan semua waktu luangnya untuk terus belajar;
  24. Harus bisa menerima dan bersabar dengan ketegasan sikap dan tindakan Sang Guru dan memahaminya secara positif;
  25. Memiliki mimpi dan cita-cita yang tinggi;
  26. Menunggu kehadiran guru bila guru belum hadir;
  27. Seorang murid harus benar-benar memaksimalkan waktu luangnya untuk belajar;
  28. Rajin mengulangi materi yang ia pelajari agar ia bisa mengerti sejauh mana kebenaran pemahamannya;
  29. Memulai proses belajar dengan membaca kalimat pujian kepada Allah, membaca shalawat, memanjatkan doa untuk para ulama, guru-gurunya, kedua orang tuanya dan untuk semua umat muslim;
  30. Membaca ulang catatan-catatannya dan tidak pindah ke bab lain sebelum benar-benar memahami materi yang sudah ia pelajari;
  31. Menemani siapa saja yang hadir dalam majelis ilmu gurunya;
  32. Meminta bimbingan guru tentang mana yang lebih dahulu harus dihafalkan, dibaca berulang-ulang, serta materi mana yang paling penting untuk dipelajari;
  33. Segera menuliskan dan mencatat ketika mendapatkan ilmu atau pemahaman yang baru;
  34. Seorang murid tidak boleh egois dan harus bersedia membantu teman-temannya untuk memahami materi;
  35. Tidak boleh dengki, menghina, dan sombong dengan ilmunya.

Semua adab yang disebutkan di atas, sangat penting untuk di amalkan demi meraih keberhasilan dalam belajar. Tidak mengherankan jika peradaban Islam, kaum Muslim menjelma menjadi umat cinta ilmu dan melahirkan begitu banyak ulama dan ilmuwan besar yang mengangkat mereka pada masa kejayaan di bidang ilmu pengetahuan.

Meskipun saat ini telah dikembangkan metode pendidikan modern, kiranya adab al-‘Alim wal Muta’allim masih tetap relevan dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan saat ini, terlebih dalam pendidikan pesantren. Apalagi ada bagian-bagian tertentu yang kosong dalam pendidikan modern, namun mengakar kuat dalam ajaran Adab al-‘Alim wal Muta’allim yang penting untuk dipertahankan, yaitu bagaimana memuliakan guru dan ilmu.[]