Teladan Ulama Mencintai Ilmu Karena Allah
Resensi: Berguru pada UlamaJudul: Berguru Kepada Ulama
Penulis: Muhammad Al-Mubassyir
Penerbit: Quanta
Tahun Terbit : 2020
Jumlah halaman: xvi + 264
ISBN : 978-623-00-1453-6

Ulama adalah sosok teladan kebaikan dan membuat kita bersemangat untuk mengikuti kebaikan dengan cinta dan ketulusan. Ulama yang menyadarkan kita akan kesementaraan hidup dunia dan kita tidak terbuai di dalamnya. Ada kehidupan akhirat yang harus kita pertanggungjawabkan. Ulama yang menggugah kita untuk meluruskan kembali niat dalam hidup ini, yakni semata-mata karena Allah.

Landasan bagi seluruh kebaikan itu adalah ilmu. Dan ulama sangat mencintai ilmu; ilmu karena  Allah. Sungguh luar biasa teladan para ulama. Mereka adalah wasilah cahaya Allah di muka bumi bagi kebaikan umat manusia. Dan ketika wasilah ini padam, gelaplah dunia ini.

Buku Berguru Kepada Ulama mengungkapkan bagaimana kecintaan para ulama pada ilmu dengan niat ikhlas karena Allah. Karenanya, mereka sanggup menanggung berbagai kesulitan dan penderitaan selama perjalanan mencari ilmu. Tak berkeluh kesah, tak pantang menyerah, selalu sabar karena Allah. Mereka mencintai ilmu demi menebar manfaat bagi umat, bukan riya, kebanggaan, mencari jabatan, ataupun kesenangan dunia.

Buku Berguru Kepada Umat ditulis oleh Muhammad Al-Mubassyir dari Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep. Buku ini ditulis dengan sumber-sumber otoritatif sehingga memberikan penjelasan yang terpercaya. Tidak hanya mengangkat mereka yang terkenal, tapi juga mengungkap yang tidak begitu dikenal padahal memiliki peran penting dalam menerangi peradaban Islam. Mereka berjuang sungguh-sungguh di jalan ilmu dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan.

Dalam Kata Pengantar, penulis menjelaskan:

“Sejarah ataupun kisah-kisah tentang ilmu pengetahuan di kalangan para ulama dan cendekiawan muslim, mulai dari masa klasik hingga saat ini, memang tidak lepas dari keikhlasan, kerja keras, pengorbanan, dan semua aspek yang berkaitan dengan pengerahan segala kemampuan dan modal dalam kehidupan.”

Meneladani Ulama

Sebagaimana disebutkan penulis, buku ini memuat kisah-kisah kearifan para intelektual dan cendekiawan muslim klasik yang mungkin jarang terjumpai dan terbaca oleh para pelajar dengan merujuk kepada sumber sejarah yang utama dan dapat dipercaya kebenarannya. Buku ini menghadirkan bekal bagi para pelajar dalam perjalanannya menuntut ilmu.

Buku ini terdiri dari sembilan bagian. Pertama, ikhlas. Berkisah tentang para ulama yang menempatkan Allah sebagai tujuan dari aktivitas keilmuan mereka. Imam Malik ibn Anas (93-179 H) ahli fikih dan hadis asal kota Madinah yang terkenal dengan karya al-Muwattha, tekun dalam menuntut ilmu dengan penuh keikhlasan. Ibn Ajurrum Ash-Shanhaji (abad 7 H) ahli bahasa asal Fez, Maroko, yang membuang karyanya (kitab alAjurrumiyah) ke laut untuk menguji keikhlasannya dan ternyata karyanya itu terselamatkan dan tersebar luas di kalangan umat Islam. Imam Syafii (150-204 H) dengan keluasan ilmunya tak mencari kemasyhuran, tapi semata-mata  mengharap ridha Allah dan memberikan manfaat bagi umat.

Bagian kedua, kesabaran menghadapi rintangan. Para ulama telah menunjukkan kesabaran yang luar biasa dalam menuntut ilmu, menghadapi berbagai tantangan dan rintangan tanpa keluh kesah atau menyerah. Ada kisah Ibn Abbas, sepupu Rasulullah, yang ahli di bidang tafsir, ia begitu sabar dan hormat pada orang yang hendak dimintai pelajaran. Ibn al-Jauzi (508-597 H) ulama Baghdad yang ahli di bidang bahasa, tafsir, hadis, dan fikih, baginya kesusahan dalam proses mencari ilmu terasa lebih manis daripada madu. Abu Hatim ar-Razi (lahir 195 H) ahli hadis asal Ray yang melakukan pengembaraan mencari ilmu dari berbagai kota selama sepuluh tahun dengan berjalan kaki dan terbiasa mengalami kelaparan.

Bagian ketiga, perjalanan rantau mencari ilmu. Menempuh perjalanan mencari ilmu sudah menjadi tradisi di kalangan ulama. Mereka tidak membatasi dirinya belajar di dalam negerinya sendiri. Seperti Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H), yang menurut Ibn al-Jauzi, pernah berkeliling dunia dua kali dalam rangka mencari ilmu. Ia berguru pada banyak ulama di berbagai kota di dunia ini. Baqi ibn Makhlad al-Andalusi (lahir 281 H) seorang ahli tafsir dan hadis yang mengembara dari wilayah Eropa hingga Timur tengah dengan berjalan kaki untuk mencari ilmu. Ia pernah menempuh perjalanan dari Andalusia ke Baghdad demi belajar pada Imam Ahmad ibn Hanbal. Ya’qub ibn Sufyan al-Farisi (abad 2 H) seorang ahli hadis asal Fasa, Iran, telah melakukan pengembaraan mencari ilmu selama tiga puluh tahun. Siang ia belajar dan membaca, malamnya ia menulis. Ibn Jarir al-Thabari (224-310 H) seorang ahli tafsir dan sejarah yang telah melakukan pengembaraan panjang dan rajin menulis, empat puluh halaman setiap hari.

Bagian keempat, berilmu dan berakhlak mulia. Ilmu dan akhlak merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Keduanya menjadi satu keutuhan dalam diri seorang muslim. Untuk apa luas ilmu, jika akhlak tidak bermutu. Ada kisah Hatim al-Asham (abad 3 H) ulama Khurasan, yang berpura-pura tuli demi menjaga perasaan seseorang yang tidak sengaja buang angin di hadapannya saat mengajukan pertanyaan. Si penanya pun merasa malu. Hatim berkata, “Tolong bicara yang keras, saya tuli.” Hal itu membuat si penanya merasa lega. Imam Nawawi (631 -676 H) ahli hadis dan fikih yang begitu memuliakan guru-gurunya, sampai-sampai ia berdoa: “Ya Allah, tutuplah aib guruku dari penglihatanku, hingga aku tidak bisa melihat kekurangannya. Dan tidak ada orang lain yang menyampaikan kepadaku mengenai aibnya.” Imam Abu Hanifah (80-150 H) seorang ahli fikih senior asal Kufah yang begitu berbakti pada ibunya dan tidak pernah membantahnya. Bukankah keberkahan ilmu terletak pada keridaan orang tua?

Bagian kelima, tentang ilmu, asmara, dan wanita. Bagian ini mengisahkan beberapa ulama yang begitu disibukkan oleh aktivitas ilmu sehingga lupa dengan urusan asmara dan tidak menikah. Ada juga yang sampai menimbulkan kecemburuan istrinya hingga karya-karyanya dibakar oleh istrinya, seperti Sibawaih (148-180 H) ahli nahwu asal Basrah. Abu Yusuf (113-182 H), murid kesayangan Abu Hanifah, yang sibuk menuntut ilmu dan memberi nafkah istrinya sekadar untuk makan, meskipun lebih sering dengan kelaparan. Sampai akhirnya ia diangkat menjadi hakim dinasti Abbasiyah di masa Harun al-Rasyid.

Bagian keenam, tradisi diskusi dan debat. Para ulama terbiasa mengadakan diskusi dan perdebatan dalam rangka memecahkan suatu masalah. Tujuannya untuk pengembangan ilmu, bukan untuk menunjukkan keunggulan atau menjatuhkan kehormatan orang lain. Karenanya etika diskusi dan perdebatan sangat dijunjung tinggi. Misalnya perdebatan antara Imam Syafii dan Imam Ahmad, keduanya tetap saling menghormati dan memuliakan, bahkan saling memuji keutamaan masing-masing. Kerap kali perdebatan menjadi sarana untuk menyadarkan kesalahan orang lain, seperti perdebatan Abu Hanifah dengan orang yang membenci Utsman ibn Affan, perdebatan Abu Bakr al-Baqillani (338-403 H) dengan Raja Konstantinopel seputar masalah akidah.

Bagian ketujuh, para kutu buku yang hobi membaca dan menulis. Semua ulama pastilah pembaca buku yang tekun. Bahkan ada di antaranya yang memiliki kebiasaan tak lazim, seperti berjalan sambil membaca buku. Khatib al-Baghdadi (lahir 392 H) seorang ahli sejarah yang terkenal dengan karyanya Tarikh Baghdad, terbiasa berjalan sambil membaca buku. Lebih aneh lagi, ada yang sambil buang hajat meminta dibacakan buku oleh temannya, seperti Abdussalam ibn Taimiyah (590 H) ulama Harran, kakeknya Ibn Taimiyah. Kemudian, Fairuzabadi (lahir 729 H) seorang ahli leksikografi yang terkenal dengan karyanya, kamus al-Muhith, ke mana-mana selalu membawa koleksi buku-bukunya. Ia seperti perpustakaan berjalan.

Bagian kedelapan, meninggal bersama ilmu. Beberapa ulama yang begitu disibukkan dengan aktivitas ilmu sampai sering lupa dengan keadaan sekitar hingga mengalami kecelakaan. Ada pula yang meninggal karena kelelahan saat melakukan penelitian, sebagaimana Imam Muslim (206-261 H). Suatu ketika, ia mendapat pertanyaan dari salah seorang muridnya terkait sanad sebuah hadis. Karena belum mengetahuinya, Imam Muslim pun melakukan penelitian terhadap hadis tersebut sepanjang malam hingga kelelahan. Keesokan paginya Imam Muslim wafat di ruang belajarnya bersama kitab yang tengah dipelajarinya.

Bagian kesembilan, selera humor para ulama. Kisah para ulama yang identik dengan kesungguhan dan keseriusan dalam aktivitas ilmu, juga mengungkap sisi humor dan jenaka dari kehidupan mereka. Mereka juga kerap memiliki kelucuan, namun mengandung hikmah. Seperti kisah Imam Abu Hanifah dan seseorang yang lupa dengan harta yang disimpannya, lalu Abu Hanifah menyuruhnya untuk salat sepanjang malam dengan khusyuk. Perintah itu pun dilakukan hingga orang tersebut mengingat di mana ia menyimpan hartanya. Orang itu pun berterima kasih pada Imam Abu Hanifah karena diberikan solusi yang manjur. Lalu bertanya, “Bagaimana Anda tahu saya akan mengingat tempat itu?” Imam Abu Hanifah menjawab sambil tertawa geli, ” Karena aku tahu, setan akan selalu membuntutimu dalam salat. Setan akan mengingatkanmu kepada urusan harta, saat kau beribadah.” Imam Abu Hanifah melanjutkan, “Sebaiknya kau istikamahkan salat itu setiap malam.” Orang itu pun menurutinya.

Berkah Ilmu yang Bermanfaat

Buku ini menghadirkan cukup banyak tokoh ulama dengan kelebihannya masing-masing sehingga memberikan contoh yang beragam. Selain menambah wawasan, buku ini juga memberikan kesan mendalam, menggugah, mengharukan, dan menumbuhkan kecintaan pada ilmu dan kebaikan. Buku ini sungguh memotivasi dan menginspirasi untuk mencintai dan meneladani para ulama dalam mencintai ilmu dengan keikhlasan, ketekunan, kesabaran, dan pengorbanan.

Peradaban Islam mencapai puncak kebesarannya berkat peran para ulama dari berbagai disiplin ilmu.  Mereka menjadi cahaya yang menerangi peradaban Islam. Mereka memperkaya khazanah intelektual Islam dan menampilkan Islam sebagai agama yang hidup, dinamis, dan progresif mengungguli peradaban-peradaban lainnya.

Dengan membaca kehidupan dan karya para ulama, tidak mengherankan jika peradaban Islam mencapai tingkat kemajuan yang luar biasa. Dan yang terpenting sifat-sifat para ulama itulah yang harus diteladani: keikhlasan, ketekunan, kesabaran, pengorbanan, dan memelihara akhlak mulia. Kunci keberhasilan adalah menerapkan sifat-sifat ini, sehingga ilmu menjadi berkah, bermanfaat, dan lestari sepanjang masa.