oleh Mislakhudin Hanafi, S.Pd.
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa di mana bertabur tokoh kebanggaan umat Islam, baik para cendekiawan, pemikir, filosof, ilmuwan, dan juga para ulama. Nama mereka harum sepanjang zaman, terlukis di kanvas peradaban umat manusia dengan ragam karya yang dihasilkan. Al-Farabi adalah salah satu di antara tokoh yang lahir pada masa itu. Ia adalah seorang ulama, filsuf, ilmuwan juga seorang musisi. Ia dikenal sebagai “Guru Kedua” (al–Mu’allim at-Tsani) setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami dan mengembangkan filsafat Aristoteles, memadukannya dengan ajaran-ajaran Plato dan pemikiran filsafat Islam, menciptakan sintesis unik dalam tradisi filsafat Islam klasik. Al-Farabi juga dikenal sebagai seorang poliglot (menguasai banyak bahasa).
Kehidupan al-Farabi
Al-Farabi yang dalam bahasa Latin dikenal Alpharabius, bernama lengkap Abu Nasir Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Awzarah al-Farabi, lahir pada tahun 257H/870 M di Wasiji, sebuah desa kecil di kota Farab, provinsi Transoxiana, Turkistan. Ayahnya adalah seorang prajurit Dinasti Samaniyah (819-999 M) yang memerintah provinsi otonom Transoxiana pada masa Kekhalifahan Abbasiyah (750-1258 M).
Pendidikan dasar dan masa muda Al-Farabi dihabiskan di Farab, sebuah daerah yang mayoritas penduduknya menganut aliran Syafi’i. Di sini ia belajar tidak hanya al-Quran, tetapi juga tata bahasa, sastra, ilmu agama, dan aritmetika dasar. Berkat kecerdasannya, ia mampu menguasai hampir seluruh bidang ilmu yang dipelajarinya. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Farb, ia melanjutkan studinya di Bukhara. Saat itu, Bukhara merupakan ibu kota Dinasti Samaniyah dan merupakan pusat intelektual dan keagamaan. Setelah menyelesaikan studi hukum dan agama di Bukhara, ia menjadi hakim (qadi). Namun pada akhirnya ia mendengar bahwa ada orang yang menguasai filsafat, sehingga ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan terjun ke dunia filsafat, karena ingin mempelajari bidang tersebut.
Sekitar tahun 922 M, al-Farabi pindah ke Bagdad untuk melanjutkan studi filsafatnya. Di sini ia belajar logika dan filsafat di bawah bimbingan Abu Bishir Matta (870-939 M), dan khususnya di bawah bimbingan filsuf Aleksandria Yuhanna ibn Hayran (w. 932 M). Dialah yang mengundang al-Farabi ke Konstantinopel untuk belajar filsafat secara mendalam. Al-Farabi tinggal disana kurang lebih selama 8 tahun lamanya.
Ketika keadaan politik di Bagdad kurang baik sekitar tahun 942 M, al-Farabi pindah ke Damaskus yang saat itu dikuasai oleh Dinasti Iqsidiya (935-969 M). Tiga tahun kemudian, dia pergi ke Mesir. Al-Farabi menghabiskan beberapa tahun di Mesir pada tahun 949 M, pergi ke Damaskus atas undangan Saif al-Dawla (944-966 M), putra mahkota dinasti Hamdaniya, dan kemudian ke Aleppo, di mana ia berpartisipasi aktif dalam diskusi dan perdebatan kaum cendekia. Dalam forum kaum intelektual tersebut ia sangat dihormati atas penguasaannya pada bidang bahasa, berbagai bidang ilmu, filsafat, dan musik.
Al-Farabi wafat pada Desember 339/950 Rajab di Damaskus di usia 80 tahun dan dimakamkan di pemakaman di luar gerbang kecil (al-Bab al-Shagir) kota bagian selatan. Menurut berbagai sumber, al-Farabi menulis kurang lebih 100 karya ilmiah, baik besar maupun kecil, yang mencakup berbagai topik, antara lain bahasa, logika, fisika, metafisika, politik, astronomi, musik, respons terhadap karya pemikiran tokoh dimasanya, serta beberapa hal yang lain.
Menurut para ahli yang telah meneliti dan menghimpun karya-karya al-Farabi, terdapat beragam karya dari al-Farabi yang hilang. Adapun di antara karya-karya al-Farabi yang terselamatkan dan bisa dikaji hingga saat ini adalah sebagai berikut:
Klasifikasi Ilmu
Karya Al-Farabi yang terkenal dibidang keilmuan adalah Kitâb Ihsha al-‘ulum (Rincian Ilmu). Di sini al-Farabi membagi berbagai cabang ilmu pengetahuan delapan topik besar: linguistik, logika, matematika, fisika, metafisika, politik, hukum, dan teologi. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 oleh Dominicus Gundisalinus (1150 M) dan Gherardo de Scientis dari Cremona (1114-1187 M), serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan filsafat Barat beberapa abad kemudian.
Menurut Hussein Nasr (1933-), dalam dunia Islam sendiri, kitab ini dianggap sebagai klasifikasi pertama yang dikenal luas dan paling berpengaruh dalam sejarah Islam periode awal. Atas dasar ini, menurut Nasr, al-Farabi mendapatkan gelar sebagai “al-Muallim al-Tsani” (guru kedua), adapun Aristoteles (384-322 SM) sebagai “guru pertama”nya. Karena al-Farabi dianggap sebagai tokoh yang mendefinisikan (setelah Aristoteles) akan batas-batas dan rambu-rambu dari setiap cabang pengetahuan, serta merumuskan setiap ilmu dalam suatu cara yang sistematik dan permanen dalam peradaban Islam. Jadi, bukan sekadar sebagai orang yang mengajar dan menguasai ilmu-ilmu.
Logika
Menurut para peneliti, diungkapkan bahwa al-Farabi menulis banyak karya dalam bidang ini dan usaha intelektualnya agaknya lebih dicurahkan pada bidang ini dibanding cabang-cabang keilmuan lain. Diantara karyanya adalah, saat dia menguraikan Organon Aristoteles secara lengkap, meliputi Kategori (al-maqûlât), Hermeneutika (al-ibârah), Analitika Prior (al-qiyâs), Analitika Posterior (al-burhân), Topika (al-jadal), Sofistika (al-mughallithah), Retorika (al-khithâbah), dan Puisi (al-syi’r). Menurut para peneliti al-Farabi dinilai memiliki kapasitas yang mumpuni dalam bidang logika. Penilaian itu tidak hanya disampaikan tokoh pemikir Muslim, tetapi juga tokoh lain, seperti Maimonides atau Musa ibn Maimun (1135-1204 M), filsuf Yahudi Abad Pertengahan.
Fisika
Al-Farabi memiliki pengetahuan di bidang fisika (thabî’iyat) atau filsafat kealaman. Dia menulis uraian tentang sejumlah filsafat alam Aristoteles (384-322 SM).
Metafisika
Banyak karya al-Farabi dalam bidang metafisika (mâ ba’d al-thabî’ah) yang memberikan pengaruh besar bagi perkembangan filsafat sesudahnya. Karya yang paling menonjol di antaranya adalah Maqâlah fi Ma’âni al-‘Aql (Artikel tentang Makna-makna Intelek). Karya yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Ibrani dan Latin, De Intelectut et Intelecto, ini dikuatkan oleh Ibn Sina (980-1037 M), dipakai Ibn Rusyd (1126-1198 M), dan diambil secara harfiah oleh Maimonides (1135-1204 M).
Politik
Kitab Ara’Ahl al-Madînah al-Fâhilah (Opini Masyarakat Kota Utama) dan Kitâb al-Siyâsah al-Madânah (Pemerintahan Kota).
Musik
Al-Farabi memiliki karya khusus tentang musik berupa Kitâb al–Mûsîqâ (Tentang Musik). Menurut peneliti kitab musik ini dianggap sebagai karya terbesar tentang teori musik Abad Pertengahan. Dalam kebudayaan Islam, buku tersebut menjadi rujukan bagi hampir setiap karya musik, dari Ibn Sina (980-1037 M) abad ke-11 M sampai Rifa’a Al-Thahthawi (1801-1873 M) abad modern, bahkan komposisi ciptaan Al-Farabi masih digunakan oleh kelompok sufi Maulawiyah dari Anatolia. Di Barat, ajaran musiknya sudah dikenal di Inggris menjelang akhir abad ke-12 lewat Daniel dari Morley (1140-1210 M), salah seorang murid Gerald dari Cremona (1114-1187 M). Ajaran-ajaran tersebut masih terus dikutip sampai abad ke-16 M.
Dalam Kitâb al–Mûsîqâ al-Farabi menyumbangkan pemikiran dalam teori musik dan mengembangkan konsep-konsep seperti “nada dasar” dan “ratai” yang mempengaruhi perkembangan musik di dunia Islam. Dia mengembangkan teori tentang harmoni dan memadukan filosofi Yunani dengan tradisi musik Arab, memberikan kontribusi penting dalam pengembangan teori musik pada masanya. Dalam bukunya, Al-Farabi membahas berbagai aspek musik, mulai dari teori musik, sejarah musik, hingga praktik musik. Ia juga memberikan analisis yang mendalam tentang pengaruh musik terhadap jiwa manusia. Diceritakan dalam beberapa sumber bahwa Ia juga memiliki kemampuan untuk memainkan beberapa alat musik.
Kemampuan Al-Farabi dalam musik tidak hanya terbatas pada teori dan praktik, tetapi juga pada pemahamannya tentang filosofi musik. Ia percaya bahwa musik memiliki kekuatan untuk mempengaruhi jiwa manusia, baik secara positif maupun negatif. Al-Farabi percaya bahwa musik adalah bagian penting dari kehidupan manusia. Ia berpendapat bahwa musik dapat meningkatkan moralitas, intelektualitas, dan kesehatan. Ia juga percaya bahwa musik dapat digunakan untuk mengekspresikan emosi dan untuk menyampaikan pesan moral. Menurutnya musik dapat digunakan untuk pendidikan. Musik dapat membantu manusia untuk mengembangkan indra pendengaran, serta meningkatkan kreativitas dan imajinasi.
Al-Farabi juga memiliki sejumlah karya-karya penting lainnya, seperti Kitâb fî Ittifâq Arâ’ Aristhûtâlîs wa Aflâtun (Titik Temu Pemikiran Aristoteles dan Plato), dan Kitab Falsafah Aflâtun wa Aristuûtâlîs (Filsafat Plato dan Aristoteles).
Al-Farabi sosok zuhud yang namanya harum sepanjang masa. Semua pemikiran dan karya-karyanya memainkan peranan yang sangat penting dalam pengembangan dunia intelektual serta selalu menarik untuk dipelajari dan dikaji.
Sumber bacaan
- Abdul azhim, Muhammad. 2017. Islam di asia Tengah: Sejarah, peradaban dan kebudayaan. Jakarta : Pustaka al-Kautsar.
- As-Sirjani, Raghib. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia. 2019. Jakarta : Pustaka al-Kautsar.
- Jaudah, Muhammad gharib. 2007. 147 Ilmuwan Terkemuka Dalam Sejarah Islam. Jakarta : Pustaka al-Kautsar.
- Sholeh, Khudori. 2017. Epistemologi Islam: Integrasi Agama, Filsafat, dan Sains dalam Perspektif AI-Farabi dan Ibnu Rusyd. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sumber website