Memilih Jalan Pesantren

Oleh Sahrul Mauludi

Pendidikan pesantren terus mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Alih-alih semakin terpinggirkan ke pelosok pedesaan, pesantren malah bertumbuh di kota-kota. Sekarang ini pesantren bukan lagi menjadi fenomena pedesaaan, tetapi sudah merupakan bagian dari masyarakat urban. Tidak sedikit anak-anak kelas menengah perkotaan yang nyantri di pesantren. Kepercayaan masyarakat terhadap pesantren—yang dulunya sering dipandang kolot dan terbelakang—tumbuh seiring dengan perkembangan yang terjadi pada pesantren, baik dari segi manajemen, kurikulum, pengajaran, hingga sarana dan prasarana yang tidak kalah dengan sekolah-sekolah modern. Di samping itu pesantren memiliki keunggulan tertentu yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pada umumnya.

Pendidikan pesantren berdasarkan pada tradisi yang telah berlangsung sekian lama dan tetap terpelihara sampai sekarang. Dengan tradisi inilah pendidikan pesantren memelihara eksistensinya, melayani umat dan memberikan kontribusi positif bagi pendidikan bangsa ini. Tradisi ini bersifat unik dan menjadi ciri khas tersendiri. Bahkan menjadi kekayaan yang tak ternilai sebagai warisan budaya bangsa, khususnya dunia pendidikan Islam. Tak urung, peneliti seperti Van Bruinessen (1999) menyatakan, pesantren telah sukses membangun tradisi agung (great tradition) dalam pengajaran agama Islam berbasis kitab-kitab klasik atau yang disebut kitab kuning.

Tentu saja pendidikan pesantren memiliki sejumlah kekurangan, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Nurcholish Madjid (1997) dalam Bilik-Bilik Pesantren, namun seiring waktu terjadi pembenahan yang dilakukan oleh pihak pesantren, sehingga kekurangan-kekurangan tersebut relatif berkurang. Itulah sebabnya pesantren makin mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.

Setidaknya terdapat tiga tradisi pesantren yang memiliki keunggulan yang harus dilestarikan dan menjadi bagian integral pendidikan. Karena keunggulan inilah pesantren mendapatkan perhatian dari masyarakat dan menjadi pilihan bagi pendidikan anak-anak mereka.

Tradisi Ilmu

Dalam pendidikan pesantren, ilmu memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan menjadi tujuan yang hendak dicapai untuk meraih kemuliaan di sisi Allah. Lebih dari itu tradisi keilmuan yang ada di pesantren merupakan segala sesuatu yang dibiasakan, dihayati dan dipraktikkan, yaitu berupa nilai-nilai dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membentuk kebudayaan dan peradaban lembaga pendidikan. Nilai-nilai tradisi ini terdiri dari risalah ilmiah menulis kitab, membaca kitab kuning, praktik tarekat, menulis buku, menghafal, berpolitik dan tradisi yang bersifat sosial keagamaan lainnya (Nata, 2012)

Tradisi keilmuan di pesantren memiliki akar sejarah yang panjang, dapat dirunut hingga pusat peradaban Islam Timur Tengah, khususnya Haramain. Para ulama Nusantara yang menjadi pendiri pesantren pada umumnya memiliki hubungan dengan ulama Timur Tengah. Mereka belajar dan berguru di sana untuk kemudian mengajar di tanah air. Bahkan, ada juga yang mengajar di sana, karena diakui tingkat kealimannya. Hal ini terus berkesinambungan hingga lahirnya ulama-ulama generasi berikutnya. Karena itu, tradisi keilmuan di pesantren merupakan warisan yang amat berharga dan patut untuk terus dilestarikan.

Para ulama atau kiai merupakan bagian dari suatu jaringan ulama yang luas. Hal ini didorong oleh etos keilmuan yang kuat yang telah mendorong mereka untuk menuntut ilmu di mana pun berada sehingga memiliki hubungan (sanad) dengan ulama di berbagai tempat. Mereka giat melakukan apa yang disebut rihlahilmiyah, sedemikian rupa sehingga menjadi fenomena mengagumkan yang membentuk suatu jaringan keilmuan, jaringan ulama, di berbagai penjuru dunia Islam, termasuk Nusantara, sebagaimana ditunjukkan Azyumardi Azra (2013) dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII.

Banyak ulama terkenal yang telah menjalin hubungan dengan Haramain (sebagai pusat studi Islam) sejak abad ke-17 yang kelak menjadi akar tradisi ilmu dan agama di Nusantara, seperti Nuruddin al-Raniri (w.1658 M), Abdul Rauf al-Sinkili (1615-1693 M), dan Muhammad Yusuf al-Makasari (1629-1699 M). Beberapa dekade berikutnya hingga abad ke 18, muncul ulama seperti Abd al-Muhyi Pamijahan (1660-1738 M), Abd al-Shamad al-Falimbani (1736-1819 M), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M), Muhammad Nafis al-Banjari (lahir 1735 M).

Hingga abad ke-19 muncul Ahmad Khatib Sambas (1802-1875 M) yang belajar dan mengajar di Mekah hingga wafatnya, Nawawi al-Bantani (1813-1879 M) yang disebut Sayyid Ulama Hijaz, Ahmad Khathib al-Minangkabawi (1816-1916 M), Muhammad Mahfuzh al-Tarmasi (1868-1920 M), Muhammad Shalih ibn Umar al-Samarani atau Kiai Shaleh Darat (1820-1903 M), Khalil Bangkalan (1820-1923 M), hingga Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (1875-1947 M).

Rihlah ‘ilmiyah telah menjadi etos yang begitu melekat dalam sejarah Islam, termasuk pesantren, sejak dulu hingga sekarang, dan telah melahirkan banyak ulama dan pelajar-pelajar Muslim terkemuka. Mereka telah menghasilkan berbagai karya yang menjadi kitab pegangan para penuntut ilmu baik di Haramain maupun Nusantara, dan sebagian masih digunakan di sejumlah pesantren Indonesia hingga sekarang. Karenanya tradisi belajar dan mengajar memiliki akar yang sangat kuat dan telah menjadi tradisi intelektual yang mapan, dengan sumber utamanya kitab kuning.

Kitab kuning merupakan kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, menggunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dan pemikir muslim di masa lampau, khususnya yang berasal dari Timur Tengah. Kitab kuning memiliki format sendiri yang khas dan warna kertas kekuning-kuningan (Azra, 2002).

Menurut K.H. Mustofa Bisri, kitab-kitab kuning yang diajarkan para kiai kepada santrinya umumnya merupakan penjabaran dari kitab suci al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw menurut pemahaman Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Paham yang mengajarkan Islam rahmatan lil ‘alamin dan sikap hidup tawassuth wal i’tidaal, sikap tengah-tengah dan tidak ekstrem (Roza, dkk, 2019)

Kitab kuning menjadi rujukan utama dalam pendidikan pesantren, menjadi pedoman dalam akhlak hingga kehidupan sosial. Bagi kalangan pesantren kitab kuning mengandung penjelasan bagi semua permasalahan dan kebenarannya tidak diragukan lagi. Inilah yang membuat pengaruh kitab kuning demikian besar dan terus bertahan dalam suasana yang penuh dengan sakralitas.

Tidak diragukan lagi, kata Azyumardi Azra, kitab kuning mempunyai peran besar, tidak hanya dalam transformasi ilmu pengetahuan Islam di kalangan komunitas santri, tetapi juga di tengah masyarakat Muslim Indonesia secara keseluruhan. Kitab kuning, khususnya yang ditulis oleh para ulama dan pemikir Islam di kawasan ini merupakan refleksi perkembangan intelektualisme dan tradisi keilmuan Islam Indonesia, bahkan dalam batas waktu tertentu, kitab kuning juga merefleksikan perkembangan sejarah sosial Islam di kawasan ini.

Saat ini penggunaan kitab kuning sebagai rujukan utama pendidikan pesantren semakin berkurang. Padahal, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat berharga. Bukan hanya dari sisi keilmuan saja, tetapi nilai “barokah” yang tak tergantikan oleh buku-buku modern. Tentu setiap pesantren memiliki pertimbangan terkait hal ini. Namun jika pesantren menghilangkan sama sekali tradisi kitab kuning ini, tidakkah ia akan tercerabut dari akarnya?

Ngalap Berkah

Tradisi ini berhubungan erat dengan tradisi keilmuan. Menuntut ilmu adalah ibadah, dan memuliakan guru yang mengajarkan ilmu juga ibadah dan membawa berkah. Karena itulah di pesantren, kiai atau ustaz sangat dimuliakan. Para santri menunjukkan sikap takzim terhadap mereka dalam pergaulan sehari-hari, baik ketika belajar atau berjumpa di mana pun. Ini biasa dikenal dengan istilah ngalap berkah.

Ngalap berkah berarti memuliakan sesuatu yang bernilai baik demi beroleh manfaat darinya, seperti memuliakan ulama, kitab, ilmu, dan yang terkait dengannya. Para santri meyakini bahwa sikap hormat dan memuliakan kiai atau ustaz akan mendatangkan keberkahan dalam hidup, baik secara jasmani maupun rohani, material maupun spiritual. Sikap hormat atau takzim ini dinilai penting karena akan menentukan keberhasilan dalam banyak hal, bukan hanya keberhasilan dalam menuntut ilmu saja. Termasuk kesuksesan di masa datang pun diyakini tidak lepas dari “barokah kiai”.

Sikap hormat para santri terhadap kiai antara lain tercermin dari cara mereka berbicara yang apabila menggunakan Bahasa Jawa maka tingkat bahasa “krama hinggil” atau “krama madya” yang mereka gunakan. Demikian juga bila mereka berbicara dengan ustaz atau guru mereka. Bila mereka menggunakan bahasa Indonesia, para santri tersebut selalu berbicara dengan penuh adab. Sikap hormat lainnya yang ditujukan para santri terhadap kiai mereka yaitu dengan mencium tangan kiai di saat mereka bersalaman (Amidjaja, dkk, 1985).

Tindakan yang menjadi simbol-simbol keberkahan tersebut menjadi sesuatu yang lumrah di kalangan pesantren khususnya untuk seorang santri. Melalui tindakan tersebut, santri meyakini bahwa kemanfaatan ilmu yang dipelajari tergantung pada keberkahan dari seorang kiai (Madjid, 1997).

Seorang kiai memang memiliki sifat-sifat tertentu yang membuatnya dihormati oleh para santri. Kepribadian kiai terletak pada pemahaman dan kedalaman keilmuan, kesalehan dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari yang sekaligus mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan menjadi ciri dari pesantren seperti ikhlas, tawadhu dan orientasi kepada kehidupan ukhrawi untuk mencapai keridhaan Allah (Djamas, 2008).

Pengajaran kitab kuning memperkuat pembentukan sikap hormat terhadap kiai, ustaz atau guru, khususnya yang berkenaan dengan akhlak. Yang terkenal itu Ta’lim al-Muta’allim. “Kitab ini memunculkan konsep keberkahan yang disimbolkan dengan tradisi mencium tangan kiai oleh santri dan pengasuh pondok pesantren, meminum sisa air yang diminum kiai, ziarah kubur dan pengabdian lain sebagaimana tercermin dalam kehidupan pesantren” (Dhofier, 2015).

Tradisi “ngalap berkah” terhadap kiai, ustaz atau guru bernilai positif selama tidak berlebihan, yang menjurus pada hilangnya sikap kritis . Kenyataannya, para kiai tetap menghargai kebebasan berpendapat. Lagi pula, tradisi ngalap berkah ini telah menjadi kearifan lokal yang patut untuk dilestarikan karena menjadi salah satu ciri budaya bangsa kita yang terkenal ramah dan penuh sopan santun.

Adab dan Akhlak Mulia

Apalagi nilai yang lebih penting di masa sekarang ini selain adab dan akhlak mulia ketika generasi muda semakin larut dalam hedonisme? Ketika sopan santun terhadap guru makin memudar, hormat terhadap orang tua makin berkurang, ramah-tamah terhadap orang lain makin jarang, tentu akhlak dan adab mulia menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Padahal salah satu nilai kearifan lokal bangsa kita adalah sikap ramah dan sopan santun yang semestinya terus kita rawat bersama. Masalahnya, mendidik akhlak itu tidak mudah, apalagi dalam kondisi sekarang di mana pengaruh-pengaruh negatif muncul di mana-mana, terlebih di dunia maya.

Dalam pendidikan pesantren, akhlak atau adab mulia menjadi prioritas di samping ilmu. Sudah menjadi tradisi di pesantren jika santri ditekankan memiliki akhlak mulia dalam kehidupan sehari-sehari. Dan pendidikan pesantren memiliki kelebihan dalam pembentukan akhlak ini melalui kehidupan yang terkondisikan selama dua puluh empat jam melalui sistem asrama. Dalam keseharian, para santri tidak hanya menuntut ilmu tetapi juga mengamalkan dan menginternalisasikannya melalui disiplin, sunah-sunah pondok, dan berbagai kegiatan lainnya.

Sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid (2004), bahwa pada hakikatnya, proses pembelajaran di lingkungan pesantren bukanlah sekadar penguasaan ilmu-ilmu keagamaan melainkan juga proses pembentukan pandangan hidup dan perilaku santri, yang nantinya setelah kembali dari pondok pesantren ke dalam kehidupan masyarakat. Inilah sesungguhnya yang menjadi kunci utama bentuk kemandirian para santri manakala menerapkan apa yang didapat dari proses pembelajarannya selama ini.

Maka selain ilmu, pesantren mendidik santri berjiwa ikhlas, sederhana, berdikari, ukhuwah Islamiyah, dan bebas. Ini yang disebut dengan “Panca Jiwa Pondok”. Nilai-nilai utama ini bersifat umum di dunia pesantren, karena bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, yang diformulasikan ke dalam nilai-nilai utama. Nilai-nilai utama ini menjadi jiwa atau ruh pesantren yang mewarnai seluruh aktivitas para santri. Karena jiwa, maka di situlah asas bagi pembentukan karakter, etos keilmuan, dan semua amaliah dan sunnah pondok.

KH. Imam Zarkasyi, pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo (PMD Gontor Ponorogo) pernah menjelaskan sebagai berikut:

“Hakikat pondok pesantren terletak pada isi dan jiwanya, bukan pada kulitnya. Dalam isi itulah kita temukan jasa pondok pesantren bagi agama, nusa, dan bangsa. Di dalam pendidikan pondok pesantren itulah terjalin jiwa yang kuat, yang sangat menentukan filsafat para santri. Adapun pelajaran atau pengetahuan yang mereka peroleh selama bertahun-tahun tinggal di pesantren merupakan bekal kelengkapan (alat) dalam kehidupan mereka kelak. Ilmu pengetahuan yang diberikan pondok pesantren, dapat saja berbeda-beda tinggi dan rendah dan caranya pun selalu berubah serta berbeda-beda menurut pandangan dan hajat masyarakat atau pandangan hidup tiap-tiap orang. Namun jiwa Pondok pesantren itulah yang menentukan arti hidup serta jasanya” (Wiryosukarto, dkk., 1996).

KH. Imam Zarkasyi menyebutkan karakter pesantren menjadi Panca Jiwa, yaitu:1) keikhlasan; 2) kesederhanaan; 3) kemandirian; 4) ukhuwah Islamiah; dan 5) kebebasan. Jiwa keikhlasan itu sepi Ing pamrih rame ing gawe; jiwa kesederhanaan adalah nerimo dalam arti bukan hanya menerima tetapi terpancar jiwa besar; jiwa berdikari adalah senjata hidup yang ampuh; jiwa ukhuwah Islamiah yang demokratis adalah persatuan dan persaudaraan; jiwa kebebasan adalah dalam arti optimis dan berjiwa besar.

Kelebihan pendidikan pesantren, semua itu diterapkan melalui proses internalisasi, baik melalui disiplin, sunah pondok dan kegiatan harian lainnya. Bahkan, semakin diperkuat dengan adanya keteladanan dari kiai maupun ustaz. Dalam perspektif sosiologi, keteladanan ini sangat berpengaruh besar dalam proses internalisasi. Bahwa internalisasi terjadi ketika ada proses identifikasi. Anak mengambil peran dan sikap orang yang berpengaruh, yaitumenginternalisasi mereka dan menjadikannya miliknya. Dengan identifikasi dari orang yang berpengaruh, anak menjadi mampu mengidentifikasi dirinya sendiri, memperoleh identitas yang koheren dan masuk akal secara subyektif (Berger & Luckmann, 1966) Adab atau akhlak mulia yang berakar dari Panca Jiwa sesungguhnya merupakan keunggulan pendidikan pesantren. Hanya pendidikan macam pesantrenlah yang dapat mewujudkan itu semua secara kondusif, yang darinya diharapkan lahir generasi-generasi muda yang memiliki keunggulan karakter. Di tengah-tengah arus informasi—dengan segala pengaruh positif dan negatifnya—entah pendidikan macam apa lagi yang mampu membentuk karakter generasi muda, selain dari pendidikan pesantren.[]