Menjelajahi Bumi dengan Misi Literasi

Oleh Elsa Balqis Shafira

Mungkin hampir semua orang di dunia ini ingin berkeliling dunia. Terlepas dari perbedaan tujuan dan maksudnya, mulai dari menjajaki tempat wisata, berbelanja, mencicipi makanan hingga belajar dan mengenyam pendidikan. Tidak ada yang salah dari semua itu, tetapi pertanyaannya apakah semua orang memiliki kesempatan untuk berkeliling dunia dengan cara menjelajahinya secara fisik ataupun menapaki kakinya satu per satu tempat di dunia? Apakah ada alternatif atau jalan lain untuk berkeliling dunia? Tentu ada. Bahkan alternatif ini memberikan jawaban sekaligus solusi paling apik.

Sebuah tempat ajaib, bukan hanya dapat menyulap kondisi tubuh ke berbagai tempat di penjuru dunia, lebih hebatnya lagi di dalam tempat tersebut kita dapat melakukan perjalanan antar ruang dan waktu. Tepat sekali, tempat tersebut bernama perpustakaan. Di dalamnya jasad yang berada di Indonesia dapat berjelajah mulai dari Benua Asia hingga ke Benua Antartika. Menjelajahi zaman paleolitikum, meneliti Benua Pangaea yang konon merupakan asal muasal benua-benua yang kini berada di bumi, bersua dengan pemikiran Aristoteles, Plato, Anaximenes hingga menelaah teori konspirasi evolusi Darwin. Dalam jangka waktu sehari saja di dalam perpustakaan, seseorang mampu menjelajahi dunia bahkan tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Pilihan ini tentu dapat menjadi alternatif yang bijak bagi siapa pun yang hendak berkeliling dunia. Menyenangkan bukan? Justru pilihan ini lebih proporsional daripada menjelajahi suatu tempat di luar negeri tanpa memetik esensi dari sebuah perjalanan itu sendiri.

Bicara soal perpustakaan, inheren dengan budaya literasi. Sejak zaman dahulu kala, warisan nenek moyang manusia telah mencatat banyak sekali penemuan serta ilmu pengetahuan. Hal ini membuktikan, bahwa pelajaran-pelajaran umum di sekolah maupun perguruan tinggi yang hingga saat ini dipelajari merupakan hasil buah pikiran yang diwarisi turun temurun oleh para pemikir zaman dahulu dengan cara menuangkan gagasan pikirannya melalui sebuah karya tulisan. Dengan begitulah, pengetahuan-pengetahuan tersebut terhimpun, tersimpan rapi bahkan kekal abadi sepanjang masa. Pernahkah terbayang andai saja para leluhur nenek moyang kita tidak pernah menuliskan apa-apa? Apa yang akan dipelajari di bangku sekolah? Atau mungkin dunia ini tak lain hanyalah tempat menyeramkan yang dihuni oleh monster maupun binatang berjasad manusia. Bak dalam salah satu mahfudzat dalam bahasa Arab, Laulal ‘Ilmu Lakaanannas Kal Bahaaim, yang artinya kalau bukan karena ilmu pengetahuan, niscaya manusia seperti layaknya binatang. Maka, sudah jelas bahwa titik perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya ialah dianugerahinya akal pikiran guna menyerap ilmu pengetahuan sebagaimana istilah dalam ilmu mantiq manusia disebut sebagai Al-Insanu hayawanun nathiq (manusia adalah binatang yang berfikir). Nathiq artinya sama dengan berkata-kata dan memberikan pendapat berdasarkan pikirannya, sederhananya ketika manusia tidak berpikir maka yang tersisa hanyalah sifat hewaninya saja. Senada dengan kalimat yang dicetuskan oleh Descartes, seorang filsuf terkenal asal Prancis, “Cogito ergo sum” yang artinya, “aku berpikir maka aku ada”.

Bagaimana caranya menggunakan akal pikiran dengan bijak sebagaimana mestinya? Jawabannya ialah dengan membaca. Dalam sebuah buku karya John W. Miller dan Michael C. McKenna, berjudul World Literacy: How Countries Rank and Why It Matters yang diterbitkan pada tahun 2016 silam, memaparkan bahwa minat membaca warga Indonesia ada di urutan ke-60 dunia dari 61 negara yang diteliti. Disusul data dari UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001% yang apabila dianalogikan dari 1,000 warga Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Sebagai warga yang bijak, apa reaksi yang timbul saat menerima data tersebut? Menerima dengan mentah-mentah? Tentu data tersebut bukan sembarang data, namun yang saya pertanyakan ketika melihat data tersebut ialah, standar membaca seperti apa yang dimaksud di dalamnya? Karena berdasarkan hasil pengamatan sederhana yang saya lakukan, bukankah warga Indonesia sangat gemar membaca? Misalnya membaca status di berbagai jenis media sosial. Lantas mengapa angka tersebut tak kian berubah? Padahal pengguna media sosial terus meningkat setiap tahunnya? Ternyata pertanyaan yang menggelayut dalam benak saya tersebut perlahan menemui muaranya. Membaca yang dimaksud dalam standarisasi penelitian di atas merupakan kegiatan membaca yang melibatkan daya atau nalar pikir. Membaca kritis yang di dalam kegiatan membaca tersebut bukan hanya menerjemahkan simbol-simbol tulisan dan diserap oleh penglihatan mata saja, tetapi memerlukan telaah yang mendalam ketika memahami suatu tulisan tersebut. Artinya, warga yang senang membaca status di media sosial tidak ikut berpartisipasi dalam menyumbangkan angka kenaikan peringkat minat baca negeri kita.

Bicara soal literasi, maka tak akan jauh daripada bicara soal kemampuan  dalam kegiatan membaca dan menulis. Sebab salah satu indikasi pencapaian suatu ilmu pengetahuan ialah dengan terciptanya sebuah karya, yang mana sebuah karya mustahil lahir tanpa diiringi dengan budaya literasi yang baik. Secara sederhana literasi memang meliputi kemampuan membaca serta menulis walaupun esensinya lebih jauh daripada itu. Namun yang terpenting ialah, literasi merupakan faktor fundamental kemajuan suatu negeri. Tidak ada negara maju tanpa didasari oleh budaya literasi yang baik. Mustahil. Karena membaca merupakan kegiatan dasar dalam menggali pengetahuan, wawasan, serta hal-hal baru yang belum diketahui sebelumnya. Tanpa membaca maka tidak mungkin manusia dapat berpengetahuan. Membumikan literasi sama halnya dengan melangkah menuju peradaban baru.

Lalu, apa yang bisa dilakukan sekarang? Memulainya. Adakah cara yang paling ampuh agar tidak malas? Caranya ialah dengan tidak malas. Akan selalu ada alasan untuk melakukan apa yang ingin dilakukan, begitu pun sebaliknya, akan selalu ada alasan untuk tidak melakukan apa yang tidak ingin dilakukan. Membaca dan menulis merupakan kemampuan yang mesti dimiliki manusia agar menjadi manusia seutuhnya. Bukti konkretnya dapat dilihat dari wahyu pertama yang diturunkan Allah swt. kepada baginda Rasulullah saw., “iqra!”. Secara etimologi, artinya membaca namun secara terminologi membaca memiliki makna yang jauh lebih luas lagi. Membaca bukan hanya sekedar secara tekstual, tetapi secara kontekstual. Tetapi, pertanyaan sederhananya ialah, bagaimana seseorang dapat membaca secara kontekstual? Apabila membaca secara tekstual saja enggan? Terlebih sebagai seorang pelajar, sudah jadi barang tentu buku merupakan salah satu sumber pengetahuan. Jangan pernah mengaku sebagai seorang pelajar, apabila malas membaca, tidak pernah ke perpustakaan apalagi tidak suka menulis atau tidak pernah menerbitkan suatu karya. Bagaimana pendidikan literasi dapat bergema di seluruh penjuru negeri? Ketika pelajar saja anti atau bahkan alergi terhadap buku? Aduhai, dapatkah terbayang apa yang diucapkan atau tenggelam dalam pikirannya tanpa suatu buku bacaan? Analogi sederhananya, kegiatan membaca merupakan kegitan mengisi akal pikiran, dan menulis ialah kegiatan menuangkannya kembali. Lantas, apa yang hendak dituangkan apabila akal pikiran kosong tak pernah diisi? Betapa berbaha-nya pemikiran, ucapan serta apa-apa yang keluar dari mulut yang tidak berlandaskan sumber ilmu pengetahuan yang konkret.

Selain daripada itu, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan wakil rakyat dapat menelisik berbagai pengalaman lebih banyak dari negara-negara maju di dunia. Misalnya, Singapura atau Korea Selatan. Singapura, merupakan negara kecil, dan jauh lebih muda daripada negara Indonesia. Namun, Singapura mampu menjadikan negaranya maju dalam berbagai bidang. Hal ini tak mungkin lepas dari peran pemerintah yang menitikberatkan perhatiannya terhadap literasi. Ataupun negara Korea Selatan, negara ini memberikan banyak akses literasi kepada masyarakatnya. Perpustakaan begitu mudah ditemukan di berbagai tempat, bahkan di tempat umum. Mungkin hal ini dapat dijadikan inspirasi dengan cara, pemerintah dapat membangun lebih banyak lagi perpustakaan yang layak serta menarik demi menyokong budaya literasi masyarakat yang lebih baik lagi. Bukan hanya dari segi bangunan yang bagus atau megah, tetapi juga dari segi kenyamanan tempat, pelayanan perpustakaan, serta yang tak kalah penting, yaitu isi buku-buku di dalamnya agar masyarakat tertarik sehingga dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca. Dengan kesadaran urgensi literasi negeri yang memprihatinkan, mestinya fokus pemerintahan dapat mengalokasikan dana serta tujuannya kepada satu titik, yaitu literasi. Maka, ketika budaya literasi hidup, niscaya suatu negeri pasti akan berperadaban dan maju. Tentu hasilnya tidak mungkin instan tetapi tidak ada yang salah berproses terlebih dahulu. Semua negara memiliki masa krisis dan kelamnya tersendiri, tetapi negara-negara maju berhasil bangkit atas keterpurukan akhirnya menuai keberhasilan, bukan dengan hanya diam berpangku tangan.

Setelah mengarungi beragam kegelisahan, mempelajari sejarah dunia. Maka, dapat disimpulkan bahwa cara paling sederhana berkeliling dunia bahkan dengan gratis ialah dengan membaca. Contohnya, dengan mengunjungi perpustakaan ketika luang, atau menyisihkan sedikit uang untuk menabung membeli buku sebagai bentuk investasi isi kepala. Mari kita renungi bersama, mengapa kita berkeluh kesah hingga merasa lelah, letih dan lesu apabila sehari saja tubuh kita tidak beri haknya dengan diisi dengan amunisi berupa makan dan minum, sedangkan kita bersikap tenang, cuek hingga seakan-akan mengabaikan hak akal pikiran yang tidak dipenuhi dengan membaca, mungkin selama bertahun-tahun lamanya? Betapa zalimnya kita terhadap jasad yang dipinjamkan sementara oleh-Nya. Lantas, apa gunanya hidup? Apakah manusia diciptakan hanya untuk makan, minum, dan berkembang biak? Kalau begitu, apa bedanya manusia dengan binatang? Bukankah manusia merupakan makhluk-Nya yang diciptakan dengan sebaik-baik bentuk? Terlalu sibukkah kita mengurusi urusan kulit dan materialistis yang bersifat temporer hingga kita lalai terhadap inti atau esensi yang justru bersifat kekal abadi atas penciptaan diri kita sendiri? Maka, tidak berlebihan ketika upaya membumikan literasi ini disebut sebagai wasilah atau jembatan menjadikan diri kita sebagai manusia sejati dengan membawa misi ilahi. Sebagaimana kalam-Nya: iqra` bismi rabbikallażī khalaq.

Ayo, berkeliling dunia dan menjelajahi bumi melalui membaca buku guna menghidupkan literasi dengan membawa misi ilahi!

Salam Literasi, dari aku seorang fakir ilmu.