“Teman” yang Mengancam Kesehatan Mental Remaja

Jika sebuah mahfuzhat menyebutkan bahwa sifat seseorang sering kali tidak jauh berbeda dengan sifat teman dekatnya, hal ini juga berlaku dalam konteks penggunaan media sosial. Artinya, sifat, pola pikir, kepribadian, bahkan tutur kata seseorang mencerminkan konten media sosial yang biasa diakses. Media sosial menjadi “teman akrab” yang memengaruhi dirinya. Oleh karena itu, penting untuk bijak dalam “berteman” dengan media sosial, karena media sosial akan mencerminkan sifat dan kepribadian. Ini harus menjadi perhatian serius, terutama karena mayoritas pengguna media sosial adalah remaja dan anak-anak sekolah yang sedang dalam masa perkembangan.

Saat ini media sosial telah merasuk dalam kehidupan remaja dan pelajar, menjadi tempat untuk berbagi momen, berbagi cerita dan kehidupan (dengan tulisan, foto, dan video–entah asli atau palsu) dan menghubungkan diri dengan orang lain, bahkan mencari jati diri. Di balik gemerlap dunia virtual ini, tersembunyi ancaman yang nyata bagi kesehatan mental mereka. Dari Instagram, Facebook, Twitter, TikTok, Youtube, hingga Game online, platform-platform ini bukan hanya menawarkan hiburan, tetapi juga membawa dampak negatif yang mengkhawatirkan. Apa yang sebenarnya terjadi di balik layar smartphone remaja kita?

Penelitian terbaru menunjukkan peningkatan kecemasan, depresi, dan masalah harga diri di kalangan remaja yang sering menggunakan media sosial. Tekanan untuk tampil sempurna, perbandingan sosial, dan cyberbullying adalah beberapa faktor yang memicu masalah ini. Dengan semakin banyaknya remaja yang menghabiskan waktu berjam-jam di dunia maya, penting bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat untuk memahami dan mengatasi tantangan yang dihadapi generasi muda saat ini (generasi strawberry). Bagaimana kita bisa membantu mereka menjaga keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata?

Ketahui Dampaknya

Salah satu dampak negatif utama dari penggunaan media sosial adalah peningkatan kecemasan dan depresi. Remaja sering kali membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial, yang biasanya hanya menampilkan momen-momen terbaik dari kehidupan yang membuat remaja membandingkan diri mereka dengan gambaran ideal tersebut. Hal ini dapat memperburuk kecemasan dan depresi karena merasa hidup mereka tidak sebanding dengan apa yang mereka lihat secara online.

Menurut American Psychological Association (2019), perbandingan ini dapat menyebabkan perasaan ketidakpuasan dan stres yang lebih besar. Selain itu, penelitian oleh Primack et al. (2017) dalam Journal of Adolescent Health menunjukkan adanya hubungan signifikan antara penggunaan media sosial dan perasaan kesepian, kecemasan, serta depresi di kalangan remaja. Penelitian ini mengungkapkan bahwa remaja yang aktif di media sosial sering merasa lebih terisolasi secara sosial, memperburuk masalah kesehatan mental mereka.

Pakar psikologi Jean M. Twenge, dalam bukunya iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for Adulthood, mengungkapkan bahwa generasi yang tumbuh dengan akses konstan ke media sosial menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam gejala depresi dan kecemasan. Twenge mencatat bahwa media sosial menciptakan kondisi di mana remaja terus-menerus membandingkan diri mereka dengan standar ideal yang sering kali tidak realistis .

Selain kecemasan dan depresi, media sosial juga berkontribusi pada masalah kepercayaan diri dan keadaan fisik di kalangan remaja. Platform seperti Instagram dan TikTok sering kali dipenuhi dengan gambar tubuh yang dimodifikasi atau difilter, menciptakan standar kecantikan yang tidak realistis. Remaja, terutama perempuan, merasa tekanan untuk memenuhi standar ini, yang dapat mengarah pada masalah kepercayaan diri dan masalah keadaan fisik lainnya.

Cyberbullying adalah masalah serius lainnya yang sering terjadi di media sosial. Menurut sebuah laporan dari Pew Research Center, sekitar 59% remaja di AS melaporkan telah mengalami beberapa bentuk cyberbullying. Cyberbullying dapat lebih merusak daripada bullying biasa karena terjadi secara online dan dapat mencapai audiens yang lebih luas, seringkali anonim, dan tanpa henti. Dampaknya termasuk peningkatan risiko depresi, kecemasan, dan bahkan pemikiran untuk bunuh diri.

Cyberbullying di Indonesia juga menjadi masalah yang semakin mendapat perhatian, seiring dengan peningkatan penggunaan internet dan media sosial. Platform pengaduan publik seperti Lapor.go.id sering mencatat laporan tentang kekerasan daring, termasuk cyberbullying, yang menunjukkan betapa luasnya masalah ini. Kominfo juga mencatat adanya tren negatif dalam pengaduan konten di internet, yang mencakup kasus-kasus terkait cyberbullying. Data dari sumber-sumber ini menekankan pentingnya tindakan preventif dan edukasi untuk mengatasi cyberbullying di masyarakat.

Penelitian akademis juga menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan dari cyberbullying di kalangan remaja Indonesia. Studi oleh Sihombing dan Hadi (2021) di Universitas Gadjah Mada mengungkapkan bahwa fenomena ini sangat umum di kalangan mahasiswa, sementara penelitian oleh Riawan (2021) di Universitas Indonesia menyoroti dampak psikologis yang dirasakan oleh korban. Kedua penelitian ini menekankan perlunya pendekatan yang lebih holistik dalam menangani cyberbullying, melibatkan pendidikan, dukungan psikologis, dan kebijakan yang lebih ketat.

Lebih lanjut, ketergantungan pada media sosial dapat mengganggu pola tidur remaja. Banyak remaja menggunakan perangkat digital mereka sebelum tidur, yang dapat mengganggu kualitas dan durasi tidur. Paparan cahaya biru dari layar gadget dapat menekan produksi melatonin, hormon yang mengatur tidur. Kurang tidur dapat memperburuk masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Sebuah studi Woods, H. C., & Scott, H. (2016) dalam jurnal Journal of Adolescence menunjukkan bahwa penggunaan media sosial sebelum tidur secara signifikan mengurangi kualitas tidur dan meningkatkan gejala depresi pada remaja.

Bukan Tidak Boleh, tapi Ada Waktu dan Aturannya

Untuk mengatasi dampak negatif ini, penting bagi orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan untuk mengambil langkah-langkah proaktif. Orang tua dapat membatasi waktu layar dan mendorong kegiatan di luar ruangan atau hobi yang tidak terkait dengan teknologi. Pendidik dapat memasukkan kurikulum literasi media yang membantu siswa memahami bahwa apa yang mereka lihat di media sosial tidak selalu mencerminkan realitas. Pembuat kebijakan juga dapat mempertimbangkan regulasi yang lebih ketat terhadap konten yang tidak sehat atau menyesatkan di media sosial. Dalam hal ini pendidikan di pesantren modern patut dicontoh dengan memiliki aturan yang ketat terkait penggunaan media digital.

Dalam bukunya iGen, Twenge menekankan bahwa meskipun media sosial memiliki potensi untuk membawa dampak positif, penting bagi remaja untuk mengembangkan keterampilan kritis dalam penggunaan teknologi ini. Remaja harus diajarkan untuk melihat media sosial sebagai salah satu aspek kehidupan, bukan sebagai ukuran nilai diri mereka. Penting juga untuk menciptakan kesadaran akan bahaya dari terlalu banyak mengekspos diri pada media sosial dan pentingnya mengatur batasan yang sehat.

Meskipun media sosial menawarkan berbagai manfaat, dampak negatifnya pada kesehatan mental remaja tidak bisa diabaikan. Media sosial dapat menyebabkan peningkatan kecemasan, depresi, masalah kepercayaan diri, dan cyberbullying. Namun, dengan pendekatan yang tepat, termasuk edukasi, regulasi, dan dukungan dari berbagai pihak, dampak negatif ini dapat diminimalkan. Hal ini memungkinkan remaja untuk menikmati manfaat media sosial tanpa mengorbankan kesehatan mental mereka. Jadi, bukan soal melarang atau tidak memperbolehkan, melainkan menggunakan media sosial dengan bijak sesuai waktu dan aturannya.

Daftar Pustaka

American Psychological Association. (2019). “Social media and mental health”. https://www.apa.org/news/press/releases/stress/2019/social-media.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2022). “Laporan Kinerja dan Statistik Pengaduan”. https://kominfo.go.id.

Lapor.go.id. (2023). “Laporan Tahunan Pengaduan Publik”. https://lapor.go.id.

Pew Research Center. (2018). A Majority of Teens Have Experienced Some Form of Cyberbullying. Washington, DC: Pew Research Center.

Primack, B. A., Shensa, A., Sidani, J. L., et al. (2017). “Social media use and perceived social isolation among young adults in the U.S.” Journal of Adolescent Health vol.51.

Riawan, M. (2021). “Fenomena Cyberbullying di Indonesia: Perspektif Mahasiswa Universitas Indonesia”. Jurnal Komunikasi dan Media. Vol. 23. https://journal.ui.ac.id/jkm.

Sihombing, E., & Hadi, S. (2021). “Cyberbullying di Kalangan Remaja: Studi Kasus di Universitas Gadjah Mada”. Jurnal Psikologi Indonesia. Vol. 18 (2). https://journal.ugm.ac.id/jpsi.

Twenge, Jean M. (2017). iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for Adulthood. New York: Atria Books.

Woods, H. C., & Scott, H. (2016). “Sleepyteens: Social Media use in Adolescence is Associated with Poor Sleep Quality, Anxiety, Depression and Low Self-esteem”. Journal of Adolescence, vol. 51.

Skip to content