
Tahun 1928 menjadi saksi dari sebuah kepeloporan dan kekuatan tekad. Pada tahun itu, para pemuda berkumpul, bersatu dalam ikrar yang terdengar sederhana namun sangat tajam maknanya: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa — Indonesia. Di masa itu, ketika perbedaan semakin tajam, kesukuan terus menguat, para pemuda mengajarkan kita sesuatu yang mendasar: persatuan tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari kesediaan untuk menerima perbedaan.
Sumpah Pemuda adalah sebuah awal. Ia lahir dari cita-cita tentang sebuah Indonesia yang tidak terpecah-pecah oleh kebangsaan suku, agama, atau bahasa. Pada masa itu, semangat ini terasa nyaris utopis, mengingat betapa bangsa Indonesia bukan sekadar berbeda, tetapi terpisah oleh jarak geografis dan jurang kebudayaan. Tapi para pemuda itu tahu, bahwa persatuan adalah sebuah keputusan, bukan keadaan yang terjadi dengan sendirinya.
Sikap ini sejalan dengan jiwa Ahl al-Riyâdah, pelopor dalam kebaikan untuk melakukan perubahan umat, perubahan yang mendatangkan kebaikan. Ini adalah sifat Muslih al-Qaum. Berjuang dengan segala daya upaya untuk kebaikan umat, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Teladan Rasulullah Saw.
Dalam sejarah Islam, teladan ini tampak pada kepeloporan Rasulullah Muhammad saw. ketika mempersatukan suku-suku di Yatsrib yang bertikai, terutama Aus dan Khazraj. Permusuhan mereka adalah warisan sejarah yang berlangsung berabad-abad, luka yang tidak mudah sembuh hanya dengan seruan damai. Namun Rasulullah mempelopori langkah untuk merajut ikatan baru–sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh siapapun di masa itu.
Rasulullah saw. membuka jalan persaudaraan, menyandingkan dua suku ini dalam perjanjian yang mengedepankan kesetaraan, kebersamaan, dan iman yang sama. Dengan menjadikan mereka sebagai umat di bawah panji Islam, Rasulullah saw. menunjukkan bahwa persatuan sejati tercipta ketika setiap kelompok mau menerima ikatan yang lebih tinggi, melampaui kesukuan dan kepentingan golongan. Ia adalah persatuan yang lahir dari kesediaan untuk mengesampingkan ego dan meyakini bahwa keselamatan dan kebaikan bersama adalah yang utama.
Teladan Abu Bakr
Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakr al-Siddiq dihadapkan pada ujian berat. Beberapa suku di Jazirah Arab memberontak, sebagian menolak membayar zakat, dan yang lain mulai meninggalkan Islam, yang dikenal sebagai gerakan Ahl al-Riddah. Di saat genting itu, Abu Bakr mengambil langkah tegas untuk memerangi mereka. Baginya, ini bukan sekadar perlawanan terhadap pembangkangan, melainkan langkah untuk menjaga keutuhan umat Islam dari perpecahan yang lebih besar.
Tindakan Abu Bakr ini bukan tanpa risiko, namun dia mengutamakan stabilitas umat dan menunjukkan bahwa persatuan harus dijaga, bahkan dengan tegas, ketika nilai-nilai yang telah diperjuangkan bersama terancam terpecah. Abu Bakr menjadi pelopor bagi persatuan umat ketika bangsa Arab kembali kepada fanatisme golongan (ashabiyah).
Teladan Umar ibn al-Khattab
Di masa kekhalifahan Umar ibn al-Khattab, muncul kebijakan penting terkait kepemilikan tanah di wilayah-wilayah yang ditaklukkan. Alih-alih membagikan tanah itu sebagai rampasan perang kepada tentara Muslim, Umar memutuskan untuk tetap menyerahkan hak kepemilikan tanah kepada penduduk asli. Tanah tersebut tidak termasuk dalam rampasan, melainkan menjadi hak penduduk lokal, sementara umat Islam hanya memperoleh hasil yang telah diatur.
Kebijakan ini awalnya menuai penentangan, terutama dari kalangan prajurit yang merasa hak mereka dikurangi. Namun Umar tegas memandang jauh ke depan, bahwa mengalihkan kepemilikan tanah akan berdampak buruk pada tatanan ekonomi dan ketahanan jangka panjang umat. Keputusan ini adalah bentuk kepemimpinan yang memprioritaskan maslahat umat, di atas kepentingan pribadi atau kelompok, menjaga stabilitas dan keadilan dalam masyarakat yang baru dibentuk. Umar menjadi pelopor keadilan dan kesejahteraan umat tanpa memandang status, golongan, dan jabatan.
Teladan Utsman ibn ‘Affan
Pada masa kekhalifahan Utsman ibn Affan, muncul perbedaan bacaan Al-Qur’an di berbagai wilayah yang mengkhawatirkan. Banyak kalangan dari Kufah, Basrah, hingga Syam membaca Al-Qur’an dengan dialek dan cara masing-masing, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan perpecahan dalam pemahaman agama.
Melihat potensi konflik ini, Utsman ibn Affan segera bertindak dengan kebijakan yang berani: beliau memutuskan untuk menyatukan mushaf dalam satu versi resmi yang didasarkan pada dialek Quraisy, dialek Rasulullah saw. Keputusan ini tidak hanya bertujuan untuk menyelaraskan bacaan, tetapi lebih dari itu, ia adalah upaya untuk menjaga kesatuan umat Islam, agar tidak terpecah oleh perbedaan kecil yang berpotensi merusak kekuatan besar yang mereka miliki bersama. Utsman ibn Affan menjadi pelopor kesatuan bahasa demi menjaga keutuhan umat.
Teladan Ali ibn Abi Thalib
Di masa kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib, tantangan untuk menjaga persatuan umat Islam kian rumit, terutama dengan munculnya perpecahan politik di kalangan umat. Di tengah tekanan yang begitu besar, Ali tetap teguh menjalankan kebijakan yang berlandaskan prinsip keadilan. Salah satu kebijakan pentingnya adalah pengelolaan harta baitul mal dengan sangat ketat. Ia menolak segala bentuk nepotisme dan mengembalikan harta yang sebelumnya disalahgunakan oleh pihak tertentu. Langkah ini mendapatkan perlawanan dari banyak kalangan (khususnya mereka yang jatahnya berkurang), tetapi Ali tetap bertahan pada prinsipnya, bahwa persatuan hanya bermakna jika dibangun di atas keadilan dan kesetaraan bagi seluruh umat.
Ketika beberapa pihak mendesaknya untuk berkompromi demi kedamaian, Ali menolak memberikan hak istimewa yang melanggar prinsip keadilan. Keputusan-keputusan ini memperlihatkan bahwa bagi Ali, kemaslahatan umat harus terjamin, tidak dieksploitasi oleh kepentingan golongan atau keluarga. Ia menunjukkan bahwa persatuan yang kuat diwujudkan dengan menjalankan amanah kepemimpinan yang benar. Ali menjadi pelopor keberanian untuk melawan arus demi kemaslahatan bersama. Meskipun dimusuhi, bahkan ia diperangi, Ali tetap berpegang teguh pada keadilan dan kebenaran–meskipun pahit.
Jiwa Ahl al-Riyâdah: Pelopor Perubahan
Peringatan Sumpah Pemuda mengingatkan kembali kepada kita akan jiwa-jiwa pelopor kebaikan yang membawa perubahan pada umat. Hal ini sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan Khulafa al-Rasyidin dalam mempelopori kebaikan yang membawa perubahan pada umat (muslih al-qaum). Juga dicontohkan oleh para pemuda Indonesia yang kemudian mencetuskan Sumpah Pemuda.
Kepemimpinan yang dipandu oleh jiwa ahl al-qiyâdah menjadi landasan untuk menghadapi tantangan era baru. Di tengah hiruk pikuk dunia ini, semangat untuk melakukan perubahan harus berlandaskan pada ketulusan untuk membawa kebaikan umat (muslih al-qaum), bukan demi kepentingan pribadi dan golongan. Tanpa hal itu hanya akan menjadi perubahan yang semu, sebab ada kepentingan pribadi dan golongan, entah demi popularitas, kekayaann ataupun jabatan.
Kini, jiwa Ahl al-Riyâdah dinantikan oleh umat, yang berjuang untuk membawa perubahan, baik dalam bidang politik, pendidikan, ekonomi, hukum, hingga dunia digital.–sesuai dengan peranan dan kemampuan masing-masing. Berdiri di atas semua golongan demi kemaslahatan yang lebih luas.
Pustaka
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. 2013. Biografi Abu Bakr Ash-Shiddiq. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
——————-, 2013. Biografi Umar Bin Al-Khathab. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
——————-, 2013. Biografi Utsman Bin Affan. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
—–‘————–, 2012, Biografi Ali bin Abi Thalib. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.