Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah menjelaskan bahwa seorang khatib Jumat tidak disyaratkan harus seorang yang alim. Selama dalam khutbahnya telah terpenuhi syarat dan rukunnya, maka khutbah tersebut sah. Namun, ia tetap perlu berhati-hati agar tidak menyampaikan sesuatu atas nama Allah tanpa dasar pengetahuan yang pasti. Jika ia hanya memiliki sedikit ilmu, sebaiknya ia menyampaikan yang diketahuinya saja dan berhenti pada perkara yang belum ia ketahui.
ولا يشترط في خطيب الجمعة أن يكون عالماً، فإذا تحققت شروط الخطبة وأركانها صحت الخطبة، وعلى من تصدر لدعوة الناس إلى دين الله أن يحذر كل الحذر أن يقول على الله ما لا يعلم، فالواجب أن يكون على بصيرة فيما يدعو إليه، فإن كان قليل العلم دعا الناس إلى ما يعلمه، وسكت عما لا يعلمه، فمن فعل ذلك فقد أحسن وأجره على الله
Tidak disyaratkan pula secara mutlak bahwa seorang khatib Jumat harus mahir dalam membaca teks dalam bahasa aslinya (Bahasa Arab). Hal ini berbeda dengan imam salat, yang dipersyaratkan memiliki kecakapan dalam membaca Al-Qur’an beserta hukum-hukumnya, seperti tajwid, makhraj, dan sifat huruf. Persyaratan ini merujuk pada hadis Nabi SAW:
عن أبي مسعود الأنصاري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله
Dari Abu Mas’ud al-Anshari, Rasulullah SAW bersabda: “Yang berhak mengimami suatu kaum adalah yang paling baik bacaan Al-Qur’annya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, perlu diingat bahwa salah satu rukun khutbah Jumat adalah membaca ayat Al-Qur’an, paling sedikit satu ayat pada salah satu dari dua khutbah Jumat, baik khutbah pertama maupun kedua. Dalam berbagai kitab fiqh, khususnya mazhab Syafi’i, disebutkan bahwa rukun khutbah Jumat terdiri dari lima poin, seperti dalam Fathul Qarib Mujid fii Syarhi Alfazhi Taqrib karya Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi:
وأركان الخطبة خمسة: حمد الله تعالى، ثم الصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم. ولفظهما متعين، ثم الوصية بالتقوى، ولا يتعين لفظها على الصحيح، وقراءة آية في إحداهما، والدعاء للمؤمنين والمؤمنات في الخطبة الثانية
Rukun khutbah Jumat ada lima: hamdalah, bersalawat atas Rasulullah SAW (dengan lafaz yang jelas), wasiat takwa, membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu di antara dua khutbah, dan doa bagi kaum mukminin pada khutbah kedua.
Dengan demikian, meskipun dalam fiqh tidak disyaratkan kealiman seorang khatib Jumat, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang khatib tetap perlu memiliki kecakapan dalam membaca Al-Qur’an. Setidaknya, ayat yang dibacakan harus sesuai dengan kaidah tajwid dan pelafalan yang tepat agar tidak terjadi kesalahan yang dapat mempengaruhi keabsahan khutbah.
Apabila terjadi kesalahan tajwid atau pelafalan, seperti kekeliruan harakat atau penambahan huruf yang tidak sengaja, maka ayat tersebut tidak lagi dapat dianggap sebagai Al-Qur’an. Jika khatib hanya membaca satu ayat Al-Qur’an namun salah dalam pelafalannya, apakah khutbah tersebut tetap sah?
Prinsip “mā lā yatimmu al-wājib illā bihi fahuwa wājib” atau “Perkara wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka perantara itu menjadi wajib” perlu diperhatikan. Artinya, pembacaan yang benar atas ayat Al-Qur’an dalam khutbah Jumat menjadi wajib karena merupakan bagian dari rukun khutbah. Jika rukun ini tidak terpenuhi akibat kesalahan bacaan Al-Qur’an, bagaimana kesahihan khutbahnya? Dan bagaimana pula “nasib” sahnya salat Jumat yang diikuti?
Kesalahan khatib dalam membaca ayat Al-Qur’an, baik karena kurang pengalaman maupun minimnya pengetahuan, dapat berdampak serius pada keterpenuhan rukun ibadah tersebut.
Akhirnya, mengingat bahwa jamaah tidak diperbolehkan berbicara saat khutbah berlangsung—bahkan untuk amar ma’ruf atau nahi munkar—maka tulisan ini hadir sebagai bentuk kasih sayang sesama muslim. Harapannya, kritik ini dapat menjadi wahana saling asah dan asuh, sekaligus membuka ruang literasi dan diskusi ilmiah bagi para warga “Kampung Pena”.
وخلاصة الأمر أنه يحرم الكلام أثناء خطبة الجمعة وكذا الاعتراض على الخطيب وينبغي لمن أراد أن يعترض على خطيب الجمعة أن يفعل ذلك بعد انتهاء الصلاة
“Kesimpulannya, dilarang berbicara saat khutbah Jumat, termasuk mengoreksi khatib. Bagi yang ingin menegur khatib, sebaiknya dilakukan setelah salat selesai.”
Wallahu a’lam biṣṣawab.
Disclaimer
Tulisan ini semata-mata sebagai upaya penulis dalam rangka tawaṣau bil haq serta memenuhi perintah-Nya, wa ta’āwanū ‘alal birri wattaqwa.