Cinta Santri Bagi Ibu Pertiwi
Kalangan santri dalam pasukan Hizbullah di perang Surabaya 1945
Kalangan santri dalam pasukan Hizbullah di perang Surabaya 1945

Surabaya, 10 November 1945 menjadi saksi cinta santri terhadap negeri. Mereka tegak berdiri bersama seruan jihad kiai. Menghadapi penjajah yang hendak menguasai negeri. Tak gentar dengan tembakan peluru, tak mundur menghadapi letupan meriam, tak surut dengan gemuruh gempuran pesawat dan kendaraan lapis baja. Hanya dengan senjata bambu dan pekik takbir, “Allahu Akbar”, para santri siap membela tanah air dengan mengorbankan jiwa dan raga. Cinta santri kepada tanah air telah membumi, menyatu dengan ibu pertiwi. Karena “Cinta tanah air adalah bagian dari iman.”

Para santri berjuang memenuhi panggilan jihad yang dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Resolusi jihad pun bergema dan mampu menggerakkan seluruh lapisan masyarakat Surabaya.

“Dalam kultur masyarakat Jawa, terutama kalangan santri, apa yang dikatakan oleh kiai, mereka sendiko dawuh. Para kiai mengatakan bahwa perang membela tanah air adalah bagian dari jihad fi sabilillah,” ujar Ustaz Mislakhudin, S.Pd. Guru Matematika Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza yang sangat menyukai sejarah.

Dikutip dari nu.or.id., “Resolusi Jihad Fii Sabilillah” isinya sebagai berikut:  

Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…” 

“Resolusi jihad ini mengobarkan semangat juang kalangan santri dan masyarakat Surabaya,” ujar Ustaz Mislakhudin.

Dengan semangat jihad membara, para santri dan seluruh lapisan masyarakat Surabaya bergerak menghadapi tentara sekutu. Pada 26 Oktober 1945, beratus-ratus santri dan pemuda-pemuda dari kampung-kampung di Surabaya utara seperti Ampel, Sukadana, Boto Putih, Pekulen, Pegirikan, Sawah Pulo dipimpin Ahyat Cholil, kader Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO) yang aktif di Hisbullah, beramai-ramai menyerang pos pertahanan Sekutu di Benteng Miring di sebelah utara gedung sekolah Al-Irsyad (nu.or.id, 2023).

Inilah awal pertempuran melawan sekutu, yang dikenal dengan perang empat hari, sejak 26 sampai 30 Oktober 1945. Perlawanan para santri dan rakyat Surabaya begitu gigih dan mampu mendesak sekutu, hingga bersedia mengadakan gencatan senjata. Meskipun akhirnya perang besar 10 November 1945 tak terhindarkan lagi.

Resolusi jihad memiliki rujukan dalam kitab kuning, yaitu kitab ‘Idhatun Nasyiin. Kitab ini telah digunakan sebagai bahan pengajaran di pesantren, yang isinya membahas tentang cinta tanah air.

“Resolusi jihad itu muncul berdasarkan salah satu kitab, yaitu ‘Idhatun Nasyiin. Kitab ini merupakan karya seorang ulama dari Beirut. Pada masa kolonial Belanda, kitab ini dikaji di pesantren. Oleh Belanda kitab ini dianggap berbahaya dan dilarang untuk diajarkan. Hal ini karena isinya mengajarkan tentang semangat perjuangan, cinta tanah air, kemerdekaan, kebebasan, dan sebagainya. Bagi Belanda ini dinilai membahayakan,” ujar Ustaz Mislakhudin.

“Kitab inilah salah satu yang menginspirasi Kiai Hasyim Asy’ari,” lanjut Ustaz Mislakhudin.

Menurut Ustaz Mislakhudin, referensi yang menjelaskan secara detail peranan santri dalam peristiwa perang Surabaya masih sangat sulit. Namun ada sumber yang menjelaskan bahwa perang di Surabaya juga melibatkan bantuan dari pesantren lain, di antaranya Pesantren Buntet, Cirebon yang dipimpin oleh Kiai Abbas yang dijuluki “Singa dari Jawa Barat.”

Menurut Ustaz Mislakhudin diperlukan kajian-kajian lebih lanjut terkait peranan kiai dan santri dalam perang di Surabaya, mengingat peranan dan jasa mereka begitu besar dalam mempertahankan Surabaya dari kekuatan penjajah.

Skip to content