Hari Pahlawan Nasional: Ungkap Peran Kiai dan Santri

Peringatan Hari Pahlawan Nasional menjadi momentum untuk mengenang kembali semangat perjuangan rakyat Surabaya yang berasal dari seluruh kalangan, termasuk di dalamnya kaum santri. Semangat perjuangan ini diresapi, dihayati, dan direalisasikan dalam semangat membangun negeri dengan ilmu, karya, dan prestasi. Sesuai tema Hari Pahlawan Nasional 2023, “Semangat pahlawan untuk masa depan bangsa dalam memerangi kemiskinan dan kebodohan.”

Semangat Perjuangan Rakyat Surabaya

Perang 10 November 1945 merupakan dampak berkelanjutan dari Perang Dunia Kedua yang dimenangkan oleh Sekutu atas Jepang. Dengan kemenangan itu, pihak Sekutu membagi wilayah kekuasaan di negeri-negeri jajahan. Mereka pun membentuk aliansi khusus untuk mengurusi masalah ini. Untuk wilayah Indonesia (Sumatra dan Jawa), mereka membentuk AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby. Pasukannya mendarat di Tanjung Perak pada 25 Oktober 1945.

“Peristiwa 10 November diawali dengan kedatangan pasukan sekutu pada 25 Oktober 1945, yang merupakan efek dari Perang Dunia Kedua. Ketika Jepang menyerah, muncul masalah pembagian wilayah yang sebelumnya dikuasai Jepang. Indonesia menyatakan diri merdeka, namun ternyata tidak diakui oleh Belanda,” kata Ustaz Ade Rumaedi, S.Pd. Guru Sejarah Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza pada Kamis (9/11/2023).

Ustaz Ade menjelaskan bahwa tugasnya AFNEI adalah menerima kekuasaan dari Jepang, melucuti dan memulangkan orang Jepang, membebaskan tawanan sekutu, menjaga keamanan dan menyelidiki pihak yang diduga penjahat perang setelah Perang Dunia II selesai. Hanya saja di dalam maksud tersebut tersimpan tujuan terselubung, yaitu mengembalikan Indonesia ke tangan Belanda, termasuk Surabaya.

“Ada tujuan terselubung dari kedatangan AFNEI. Apalagi di dalamnya ada tentara Belanda, yaitu NICA. Ini bisa terjadi karena Inggris dan Belanda itu satu grup selama Perang Dunia Kedua, yang bahu membahu dalam Blok Barat untuk mengalahkan Jerman, Jepang, dan Itali,” jelas Ustaz Ade.

“Bagi Belanda, Indonesia tidak boleh merdeka. Indonesia dianggap wilayah jajahan milik mereka,” lanjut Ustaz Ade.

Masyarakat Surabaya dirundung kekekhawatiran atas kedatangan sekutu. Karena tidak lama setelah kedatangan tersebut, mereka menguasai daerah-daerah penting di Surabaya. Hal ini, makin memperjelas kedatangan sekutu untuk menguasai Surabaya.

“Mereka menguasai tempat-tempat strategis seperti gedung komunikasi, pangkalan angkatan laut, dan sebagainya. Maka benarlah kekhawatiran rakyat Surabaya, bahwa ini diboncengi oleh Belanda untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia,” jelas Ustaz Ade.

Bentrokan pun mulai terjadi antara penduduk Surabaya dengan sekutu. Mereka jelas tidak menerima kedatangan sekutu.

“Sepanjang 26 sampai 30 Oktober 1945 terjadi peperangan, sebagai respons rakyat Surabaya melawan sekutu yang melakukan pendudukan terhadap sejumlah lokasi di Surabaya,” kata Ustaz Ade.

Jenderal Hawthorn yang menjadi pemimpin AFNEI sampai meminta Sukarno untuk menyelesaikan masalah ini. Pada 30 Oktober 1945  Hawthorn datang ke Surabaya untuk kesepakatan gencatan senjata.

“Sampai akhirnya pada tanggal 30 Oktober, Hawthorn meminta bantuan Sukarno untuk menghentikan perang ini. Mereka kewalahan dan sampai mundur ke pelabuhan Tanjung Perak. Maka datanglah Sukarno dan Moh. Hatta ke Surabaya untuk mengadakan kesepakatan gencatan senjata,” tutur Ustaz Ade.

Namun bentrokan masih terjadi, hingga menewaskan Mallaby pada 30 Oktober 1945. Kematian Mallaby menjadi dalih kuat bagi AFNEI untuk mengerahkan seluruh pasukannya menyerang Surabaya.

“Kematian Mallaby ini menjadi faktor utama Inggris menggempur Surabaya,” kata Ustaz Ade.

Setelah tewasnya Mallaby, Mayor Jenderal Robert Mansergh ditunjuk untuk menggantikan posisinya. Pada 9 November 1945. Mansergh langsung mengeluarkan ultimatum yang berisi tuntutan agar warga Surabaya menyerahkan semua senjata kepada tentara Sekutu sebelum pukul 06.00 pagi hari berikutnya, yaitu 10 November 1945. Rakyat Surabaya menolak, dan terjadilah perang dahsyat dalam sejarah Indonesia yang menimbulkan korban yang begitu besar bagi kedua belah pihak, khususnya bagi rakyat Surabaya.

“Rakyat Surabaya menolak dan telah bersiap-siap untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi. Pada 10 November 1945, pukul 10 pagi, tentara Inggris menggempur Surabaya dari berbagai arah,” ujar Ustaz Ade.

Peranan Kiai dan Santri

Peranan kiai dan santri dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya sudah tidak diragukan lagi. Mereka menjadi bagian penting perlawanan rakyat Surabaya dalam menghadapi sekutu. Bahkan mereka terlibat lebih awal sebelum peristiwa 10 November 1945, dengan adanya resolusi jihad yang dikumandangkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.

“Dalam pertempuran ini unsur utama didominasi oleh kalangan santri. Kenapa rakyat mau bergerak melakukan perlawanan, karena ada resolusi jihad sebelumnya, pada 22 Oktober 1945,” jelas Ustaz Ade.

“Resolusi jihad muncul sebagai bentuk respon untuk melawan penjajah ketika pemerintah belum memberikan tanggapan atas kedatangan sekutu,” lanjutnya.

Rakyat Surabaya khawatir kota mereka akan seperti Bandung, Semarang, dan lainnya yang diduduki oleh Belanda. Maka sikap yang diambil adalah perlawan rakyat Surabaya. Dalam hal ini resolusi jihad yang dikumandangkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari telah membakar semangat perjuangan kalangan santri, termasuk rakyat Surabaya untuk melakukan perlawanan.

“Ketika resolusi jihad dikumandangkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari, disebarkanlah beritanya ke pesantren-pesantren, desa-desa, dan daerah di Surabaya. Terjadilah perlawanan terhadap sekutu,” kata Ustaz Ade.

Ustaz Ade menyayangkan, pembahasan tentang peranan kiai dan santri dalam peristiwa perang Surabaya masih sedikit. Padahal kontribusinya sangat besar. Ia pun berharap agar pembahasan seputar ini terus mendapatkan perhatian.

Diskursus sejarah yang membahas tentang peranan dan keterlibatan santri dalam upaya  mempertahankan keutuhan kemerdekaan negara Indonesia perlu diramaikan lebih luas lagi. Harapannya, mata rantai historis perjuangan rakyat Surabaya dapat menjadi teladan bagi seluruh bangsa, khususnya bagi para  santri.

Etos perjuangan seperti itu dapat ditemukan dalam salah satu ungkapan indah yang sangat familiar kita dengar:

عش كريما أو مت شهيدا

Hiduplah dengan mulia, atau mati syahid!”