Kita telah mengetahui bahwa Rasulullah Muhammad saw. diutus dengan membawa risalah Islam, yang berdasarkan keterangan Al-Qur’an, pengutusan beliau bertujuan untuk menyampaikan pesan-pesan damai bagi semesta, yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai ‘rahmat’.

قال تعالى : وَ مَا أَرْسَلْنَاكَ إِلّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. Q.S. Al-Anbiya (21): 107

Namun demikian, dalam perjalanannya, pesan-pesan damai tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh sebagian kalangan. Beberapa pihak bahkan menganggapnya sebagai ancaman yang mencoba menghapus nilai-nilai yang telah mereka yakini sebagai warisan kepercayaan dari umat terdahulu. Bagi golongan ini, baik pada periode awal kedatangan Islam hingga saat ini, risalah yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. dianggap sebagai ancaman serius bagi eksistensi keyakinan mereka. Hal ini kemudian memunculkan tindakan-tindakan untuk mendiskreditkan dan menjauhi syiar-syiar Islam, dengan harapan dapat memadamkan api Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw.

Islamofobia dalam Sejarah Qur’ani

Sejarah mencatat bahwa ketakutan terhadap Islam sebagai suatu kekuatan sosial yang berbasis pada keyakinan sudah ada sejak awal kedatangannya dan dialami oleh mereka yang menolak untuk menerima keyakinan tersebut. Di antaranya sebagaimana termaktub di dalam Q.S. Fushilat: 26 yang menggambarkan bagaimana perilaku mereka (kafir Quraisy) saat itu terhadap Islam.

قال تعالى : لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا القُرْآنِ وَ الْغَوْا فِيْهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُوْنَ

Dan orang-orang yang kafir berkata, “Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Al-Qur’an ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya agar kamu dapat mengalahkan (mereka).””

Ibn Katsir dalam tafsirnya mengutip riwayat yang menceritakan bahwa pada suatu ketika Abu Jahal mengusir para pemuda Quraisy yang sedang mendengarkan pembacaan Al-Qur’an di sekitar Ka’bah. Kemudian ia memerintahkan kepada para pemuda tersebut agar membuat kegaduhan dengan bersiul, meniup peluit, ataupun berteriak-teriak ketika Al-Qur’an dibacakan agar lantunan Al-Qur’an yang sedang dibacakan tidak dapat didengar. Dengan demikian juga maka tidak dapat dipahami makna dan kandungannya dengan baik.

Imam Thabari memberikan penjelasan yang menunjukkan maksud dari perbuatan tersebut, sebagaimana berikut:

لعلكم بفعلكم هذا تصدون من يريد إلى استماعه عن استماعه فلا يسمعه و إذا لم يسمعه و لم يفهمه لا يتبعه

Semoga dengan perbuatan kalian ini, kalian dapat memalingkan orang yang ingin mendengarkan (Al-Qur’an) dari mendengarkannya sehingga dia tidak dapat mendengarkannya. Dan apabila dia tidak mendengarkannya dan tidak memahaminya, maka dia tidak (akan) mengikutinya.”

Usaha yang dilakukan oleh Abu Jahal tersebut dikarenakan kekhawatirannya apabila semakin banyak orang yang memahami Al-Qur’an kemudian mengikutinya (masuk Islam), maka eksistensi kepercayaan mereka terhadap ajaran ketuhanan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka akan semakin melemah bahkan hilang.

Ketakutan terhadap Islam tidak hanya melahirkan bentuk-bentuk penghinaan terhadap Al-Qur’an semata tetapi juga terhadap simbol-simbol Islam lainnya, termasuk pribadi Nabi dan juga umatnya. Di antara yang paling masyhur ialah ejekan mereka yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab dongeng, ia bukan wahyu melainkan karangan Nabi Muhammad saw. Bahkan Rasulullah sendiri kerap disebut sebagai tukang sihir, penyair, bahkan tak jarang dianggap sebagai orang yang telah hilang akalnya.

Definisi Islamofobia dan Pandangan Barat terhadap Islam

Dalam sejarah peradaban barat, bahkan hingga saat ini, kita dapat saksikan bagaimana Islam menjadi momok yang menakutkan dan mengkhawatirkan bagi sebagian kalangan. Ketakutan tersebut pada gilirannya melahirkan kebencian yang irasional terhadap hal-hal yang identik dengan Islam itu sendiri. Belakangan keadaan semacam itu disebut dengan istilah ISLAMOFOBIA, mereka yang mengalami serangan Islamofobia memandang Islam dengan stigma negatif dan mengidentikannya sebagai suatu kekuatan inferior yang berbahaya bagi nilai-nilai yang telah ada dalam kehidupan masyarakat. Dalam jurnal yang berjudul “Distorsi terhadap Islam”, Jasafat menyebutkan bahwa media memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk stereotip semacam itu sehingga memunculkan adanya distorsi informasi yang identik menyebut Islam sebagai teroris, agama yang agresif, fundamentalis, militan dan sangat fanatik (Jasafat, 2014).

Istilah islamofobia sendiri diperkenalkan pertama kali pada tahun 1922 oleh Etienne Dinet dalam sebuah esai berjudul L’Orient vu del’Occident, bahwa islamofobia sering dimanifestasikan dalam bentuk perilaku negatif, diskriminasi, kekerasan, dan lain-lain yang merujuk pada hal-hal yang bersifat distruptif.

Term fobia sendiri biasanya digunakan untuk menggambarkan ketakutan yang tidak berdasar terhadap sesuatu, di mana subjek sepenuhnya tidak memiliki cukup alasan yang rasional untuk menjelaskan sebab ketakutannya terhadap hal-hal tertentu. Karenanya,  Prof. Ahmad Sastra mengategorikan islamofobia ke dalam pembahasan psikologis abnormal.

Kasus-Kasus yang muncul akibat Islamofobia

Akibat dari maraknya Islamofobia yang terus berlanjut hingga saat ini melahirkan berbagai bentuk tindakan-tindakan destruktif terhadap Islam dan juga pengikutnya.

1992: Pembantaian terhadap Muslim Bosnia oleh pasukan militer Serbia yang berkedok perang tersebut mengakibatkan ribuan muslim menjadi korban jiwa. Sejatinya hal tersebut lebih mirip “pembersihan etnis” dibandingkan dengan perang itu sendiri.

2019-2023 (setiap tahunnya): Rasmus Paludan melakukan aksi pembakaran Al-Qur’an. Aksinya tersebut kerap dilakukannya di tempat umum sebagai bentuk realisasi atas gagasan politiknya yang menganggap bahwa muslim adalah musuh yang harus dibasmi. Ia dan partai yang dibentuknya pada tahun 2017, beranggapan bahwa Islam merupakan suatu ancaman serius bagi eksistensi peradaban barat.

Gelombang politik kanan jauh di Eropa tampaknya juga berhasil menjadikan isu “anti-Islam” sebagai “barang jualan” yang memiliki daya dukung yang cukup kuat untuk memenangkan posisi politiknya. Laporan ini disampaikan oleh Narasi News dalam salah satu platform medianya.

Faktor munculnya Islamofobia dalam Sejarah Barat

Apa  yang menjadi faktor munculnya kasus-kasus Islamofobia di abad modern ini? Adian Husein, dalam bukunya berjudul “Wajah Peradaban Barat” menuliskan bahwa munculnya semangat kolektif di antara mereka dalam memandang Islam sebagai musuh utama, paling tidak disebabkan oleh beberapa faktor utama, di antaranya yaitu, trauma historis (luka lama peradaban):

711-1492 peradaban Islam berhasil memasuki dan menguasai wilayah Eropa dan menjadikan Cordoba sebagai pusat peradaban Islam saat itu. Islam berhasil menggantikan kekuasaan Romawi Barat yang saat itu memegang kendali atas wilayah tersebut.

1453 Penaklukan Konstatinopel yang merupakan basis kekuatan terakhir Romawi Timur oleh pasukan Turki Utsmani yang dipimpin oleh Muhammad Al-Fatih.

1529 dan 1683 Turki Ustmani berhasil mengepung kota Wina.

Kekalahan Barat dalam Perang Salib yang mana saat itu pasukan Islam dipimpin oleh Salahudin Al-Ayyubi.

Perang Salib sendiri memiliki memori kolektif dua sisi bagi Barat. Pertama, Barat berhasil bersatu mengumpul kekuatan mereka dalam menghadapi Islam dan menduduki wilayah Jerusalem selama 88 tahun. Kedua, fakta bahwa pasukan Islam mampu mengalahkan kekuatan besar mereka selama 88 tahun menguasai Jerusalem.

Tragedi runtuhnya menara WTC 9/11 pada 2001 juga memberikan dampak yang besar dalam meningkatnya islamofobia yang dirasakan oleh banyak kalangan di luar Islam terhadap simbol-simbol Islam.

Sementara di Indonesia sendiri kasus Bom Bali menjadi kasus terorisme nomor wahid yang menguatkan rasa ketakutan terhadap Islam semakin membesar.

Belakangan, aspek-aspek traumatis inilah yang kemudian berhasil dieksploitasi oleh ilmuan neo-konservatif Barat seperti Huntington (The Clash of Civilization and The Remaking of World Order) dan Bernad Lewis (The Crisis of Islam) dalam menyebarkan ide islamofobia dengan memberikan label-label seperti “militan”, “fundamentalis”, dan “radikal”. Namun sayangnya, istilah-istilah tersebut tidak didefinisikan dengan jelas sehingga menimbulkan penafsiran yang sepihak  serta tidak objektif. Contohnya, Bernad Lewis dalam bukunya “The Crisis of Islam” menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan fundamentalis adalah anti Barat.

Selain faktor trauma historis tersebut, Adian Husein juga menggambarkan bagaimana terjadinya pergeseran cara pandang masyarakat Barat dalam melihat hubungan antara kehidupan beragama dengan kehidupan bermasyarakat secara luas yang mengakibatkan terjadinya konversi agama di tengah-tengah kehidupan mereka. Munculnya ide-ide seperti “radikalisme”, “liberalisme”, dan “pluralisme” berakibat pada melemahnya kekuatan agama dalam memberikan pengaruh terhadap para pengikutnya. Tak pelak, Islam, oleh sebagai kelompok, dinilai sebagai musuh bersama dan ancaman serius yang mampu menggantikan posisi dan peran agama mereka saat ini.

Sebagian pihak yang tidak bertanggungjawab dapat dengan mudah untuk menjadikan keadaan seperti ini sebagai “alat” untuk menguatkan posisinya demi kepentingan-kepentingan sektoral semata.

Kekeliruan dalam memahami teks-teks sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis, juga kesalahpahaman dalam melihat konteks sejarah Islam, memainkan perannya tersendiri dalam meningkatkan ketakutan dan rasa kebencian terhadap Islam sebab Islam dipandang sebagai agama yang menghalalkan “kekerasan” dalam mencapai tujuannya. Biasanya kesalahpahaman ini diakibatkan oleh pembacaan yang tidak utuh terhadap ayat-ayat dan peristiwa sejarah yang berkaitan dengan peperangan.

Peran Pesantren dalam Menghadapi Isu Islamofobia

Di Indonesia sendiri yang saat ini penduduknya ialah mayoritas muslim dan merupakan negara dengan pemeluk agama Islam terbesar kedua di dunia setelah Pakistan dengan jumlah  sekitar 236 juta penduduk Indonesia memeluk agama Islam (Sumber: World Population Review), isu seputar Islamofobia barangkali sangat jarang ditemui. Meskipun begitu kita tetap harus membuka mata untuk siap menghadapi masuknya gelombang-gelombang pemikiran yang berpotensi mereduksi nilai-nilai ketuhanan dalam bingkai persatuan bangsa yang berkeadilan. Dalam hal inilah, pesantren, sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang concern dalam penguatan nilai-nilai keagamaan memiliki andil yang cukup besar untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga persatuan dan mereduksi bahaya yang mungkin timbul dari isu islamofobia sebagaimana yang terjadi di Barat. Pesantren dapat mengambil peranan aktif dalam beberapa hal berikut ini sebagai upayanya dalam mewujudkan citra Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”:

Memberikan pendidikan keagamaan yang moderat dan terbuka dalam perspektif yang benar menurut Islam.

Terlibat aktif dalam pelaksanaan aktivitas sosial kemanusiaan baik dalam tingkatan lokal maupun global yang melibatkan keikutsertaan masyarakat secara luas, dengan hal itu pesantren dapat menjalankan visi dakwahnya atas Islam sebagai agama yang mengedepankan nilai-nilai kebajikan, toleransi, dan kasih sayang.

Mengadakan dialog dan kerja sama lembaga lintas agama dengan maksud guna menunjukkan citra Islam sebagai agama yang inklusif dan terbuka dalam menyikapi perbedaan.

Menjaga Tradisi dan nilai-nilai Islam, dengan tetap merawat tradisi positif dan merespons semangat modernisasi dengan nilai-nilai Islam, masyarakat muslim diharapkan dapat menyikapi setiap problematika sosial dengan bijak, dengan tidak mengambil sikap yang bertentangan dengan semangat Islam itu sendiri sebagai agama yang “Rahmatan lil ‘Alamin”.

Sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam, Pondok Pesantren Daar el-Qolam khususnya Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza, secara aktif telah memainkan peranan tersebut dalam kiprahnya di dunia pendidikan Islam. Semangatnya untuk mencetak generasi muslim yang berwawasan global dengan tag lineGo Global and Be a Global Player” terus dijaga dan dilestarikan dengan baik seiring dengan visinya untuk menciptakan generasi muslim “Ahlul Izzah”, yaitu mereka yang memiliki kualitas sebagai “Ahlu Ziyadah”, “Ahlu Riyadah”, dan “Ahlu Qiyadah”.

Barangkali tersimpan satu pertanyaan dalam benak kita “Sampai kapan Islamofobia, sebagai suatu bentuk kebencian dan ketidakrelaan atas kemajuan Islam akan terus berlanjut?”

Al-Qur’an memberikan suatu keterangan yang dapat kita rujuk sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ

Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Sungguh, jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari (azab) Allah.” Q.S. Al-Baqarah (2): 120.

Semoga Allah Swt. senantiasa memberikan hidayah-Nya bagi kita semua serta memberikan kekuatan, baik kekuatan pikir, fisik, maupun materi, untuk terus berlaku hidup dan meneladani semangat juang positif yang diajarkan oleh para Nabi alaihim salam dalam menjalankan perintah-perintah Agama dan menegakkan nilai-nilai cinta-kasih terhadap sesama. Wallahu a’lam.[]