Rasulullah Saw. Sebagai Teladan Ahl al-‘Izzah

Dalam buku The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, Michael Hart menempatkan Nabi Muhammad saw. sebagai sosok paling berpengaruh di dunia. Hart, seorang sejarawan Barat, tak dapat memungkiri bahwa pengaruh Nabi Muhammad saw. merentang bukan hanya dalam wilayah agama, tapi juga di bidang politik, sosial, dan budaya. Sebagai pemimpin umat dan negara, Rasulullah saw. berhasil mengubah wajah sejarah. Pengakuan ini datang dari analisis yang bersifat objektif, menegaskan bahwa kemuliaan dan kebesaran Nabi Muhammad saw. tidak terbatas hanya pada umat Islam, tetapi diakui secara universal.

Kemuliaan atau al-‘izzah dalam pandangan Islam tidak hanya terkait dengan kekuatan atau kedudukan duniawi. Lebih dari itu, kemuliaan adalah cerminan dari akhlak yang luhur, keteguhan dalam memegang prinsip kebenaran, dan keikhlasan dalam menjalani kehidupan. Rasulullah saw. adalah sosok yang menghidupi setiap dimensi ahl al-‘izzah, yakni manusia yang memiliki kemuliaan dan kehormatan, yang diperoleh bukan melalui kekuasaan atau kekayaan, tetapi melalui keluhuran budi, keadilan, kesederhanaan, dan kerendahan hati.

Menjadi seseorang yang mulia berarti meneladani akhlak Rasulullah saw. Beliau menunjukkan bahwa kemuliaan sejati diperoleh dari kesabaran dalam menghadapi kesulitan, keikhlasan dalam beramal, dan keadilan dalam memimpin. Rasulullah saw. memimpin dengan penuh kasih sayang, tetapi juga dengan ketegasan yang diperlukan untuk menegakkan kebenaran. Di hadapannya, seorang raja ataupun seorang budak diperlakukan sama dalam ukuran martabat manusia.

Untuk meraih kemuliaan di dunia dan akhirat, kita perlu menanamkan prinsip-prinsip akhlak mulia yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Beliau tidak hanya mencontohkan ketundukan kepada Allah Swt. melalui ibadah, tetapi juga pengabdian kepada sesama manusia melalui tindakan sosial. Dengan bersikap jujur, sabar, empati, dan adil, kita turut merawat kehormatan sebagai manusia yang memegang amanah ilahi.

Rasulullah saw. telah mewariskan kepada kita jalan menuju ahl al-‘izzah, dan jalan itu terhampar dalam keseharian kita—dalam cara kita bersikap kepada sesama, kepada Allah dan kepada diri sendiri. Di dalam kehidupan yang penuh dinamika ini, Nabi Muhammad saw. mengingatkan kita bahwa kemuliaan bukanlah sesuatu yang lahir dari materi, melainkan dari nilai-nilai yang kita tanamkan dan perjuangkan. Sebagaimana diakui oleh Hart dan sejarah, Rasulullah saw. adalah teladan sempurna dalam meraih kemuliaan dunia dan akhirat.

Kemuliaan yang dicontohkan Rasulullah saw. berakar pada tiga pilar utama: iman, ilmu, dan akhlak. Iman menjadi landasan paling dasar, di mana segala perbuatan hanya bernilai jika dilandasi keimanan kepada Allah Swt. Kemuliaan bukan diukur dari harta atau kedudukan, melainkan dari keteguhan iman yang membuat seseorang mampu menjalani kehidupan dengan baik.

Ilmu, sebagai sarana menyempurnakan iman, sangat dihargai oleh Nabi Muhammad saw. Beliau mendorong umatnya untuk terus belajar dan memanfaatkan ilmu demi kemaslahatan umat. Dengan ilmu, seseorang dapat memahami kebenaran dan menjadikan dunia sebagai jembatan menuju akhirat.

Akhlak, sebagai puncak dari iman dan ilmu, menjadi keindahan bagi seorang Muslim. Rasulullah saw. menjadi teladan sempurna dengan akhlaknya yang mulia, di mana kasih sayang, keadilan, dan kesantunan memancar dalam setiap tindakannya.

Ketiga pilar ini—iman, ilmu, dan akhlak—merupakan jalan yang ditunjukkan Rasulullah saw. untuk meraih kemuliaan sejati. Di dunia yang semakin materialistis, teladan ini menjadi semakin relevan, mengingatkan kita bahwa kemuliaan tidak terletak pada hal-hal lahiriah, tetapi pada keluhuran jiwa dan akhlak.

Semua nilai yang dicontohkan Rasulullah saw. selaras dengan prinsip ahl al-‘izzah yang mencakup tiga aspek utama: ahl al-ziyâdah (memiliki keistimewaan), ahl al-qiyâdah (memiliki jiwa kepemimpinan), dan ahl al-riyâdah (memiliki jiwa pelopor).

Dalam setiap tindakannya, Rasulullah saw. selalu menunjukkan semangat untuk meningkatkan kualitas diri, baik dalam ilmu maupun akhlak. Inilah esensi ahl al-ziyâdah, yang berarti kita harus selalu berusaha lebih baik dari hari ke hari, tidak stagnan serta selalu memperdalam ilmu dan menyempurnakan akhlak (menjadi mutakhalliq, muta’allim, dan mutamaddin).

Sebagai ahl al-qiyâdah, Rasulullah saw. memimpin umat dengan kebijaksanaan, keadilan, dan kasih sayang. Kepemimpinan beliau menjadi teladan yang tak hanya memerintah, tetapi juga mengayomi. Beliau menjadi pengingat dan pemimpin umat yang bijaksana (mundzir wa qa’id al-qaum).

Sementara itu, ahl al-riyâdah menjadi pelopor dan perubahan kebaikan di tengah umat (muslih al-qaum). Rasulullah saw. berjuang tak kenal lelah menegakkan kebaikan di tengah-tengah umat betapapun kerasnya tantangan yang dihadapi. Hal itulah yang kemudian membawa perubahan ke arah yang jauh lebih baik, membawa umat dari kegelapan menuju cahaya (min al-zhulumàti ila al-nûr). Ketiga nilai ini—ahl al-ziyâdah, ahl al-qiyâdah, dan ahl al-riyâdah—merupakan pijakan dalam meraih kemuliaan sejati, sebagaimana yang telah diteladankan oleh Rasulullah saw.