Kearifan bukan semata-mata lahir dari lembaran buku atau deretan kata yang kita baca, melainkan dari perjalanan hidup yang kita tempuh, dari manis getirnya kehidupan. Bacaan memang membuka cakrawala, memberi kita peta untuk memahami dunia, tetapi pengalamanlah yang menggoreskan makna dalam diri kita. Ada pelajaran yang tak dapat ditemukan dalam teori, hanya hadir melalui langkah kaki, keputusan yang kita buat, dan kesalahan yang kita akui. Kearifan, pada akhirnya, adalah perpaduan halus antara apa yang kita pelajari dengan apa yang kita alami dalam kehidupan, sebuah refleksi dari bagaimana kita memaknai eksistensi.
Tidak mengherankan jika para penuntut ilmu terbiasa melakukan rihlah ilmiah, berjalan dari satu kota ke kota lainnya, bukan hanya untuk berguru pada banyak ulama, tetapi demi merasakan pengalaman kehidupan. Mereka menjejakkan kaki di jalanan yang tak selalu ramah, melintasi gurun, dan pegunungan. Setiap perjalanan adalah ruang terbuka bagi pengetahuan, bukan hanya dari pengajaran para ulama, tetapi juga dari debu yang menyapu wajah, perut yang merintih kelaparan, hingga tubuh yang kelelahan; dari senyuman hingga cacian orang lain di sepanjang perjalanan.
Di situ, mereka belajar bahwa hikmah tidak sekadar tersembunyi di balik teks-teks suci, tetapi juga di sela-sela percakapan dengan orang lain, dalam senyapnya masjid-masjid tua yang berdiri di pedesaan. Setiap langkah menjadi pertemuan dengan realitas yang sering kali tak terjangkau oleh nalar, tetapi mengalir langsung ke jiwa, membentuk kearifan yang tak dapat dipinjam dari buku atau guru mana pun. Inilah esensi rihlah, perjalanan yang tak hanya menempuh jarak, tetapi juga menempuh makna.
Imam Syafi’i, Imam al-Ghazali, Ibn Khaldun—mereka adalah nama-nama besar yang cahayanya menerangi peradaban, dan setiap dari mereka pernah meninggalkan kenyamanan kampung halaman demi meraih pengetahuan. Mereka berlayar, menapakkan kaki di antara kota-kota, melewati batas-batas geografis dan kultural, dengan tekad yang tak tergoyahkan. Bagi mereka, menuntut ilmu adalah panggilan jiwa, sebuah perjalanan tanpa henti yang lebih dari sekadar akumulasi pengetahuan.
Setiap tempat yang mereka singgahi memberi mereka ilmu dan kebijaksanaan hidup. Dari para guru mereka belajar, juga dari jalan-jalan dan perjumpaan yang asing. Mereka mencoba memahami hakikat manusia, sejarah, dan waktu. Mereka tak hanya membangun fondasi keilmuan, tetapi juga merajut benang-benang peradaban yang kita warisi hingga hari ini, meninggalkan jejak yang dalam di setiap tanah yang mereka tapaki, dan menciptakan pusaka kearifan yang melampaui zamannya.
Bahkan, inilah yang memberikan kekuatan dan ruh pada karya-karya mereka—pengalaman yang mengakar dalam perjalanan hidup, bukan sekadar dari tumpukan teori yang kering. Ruh yang mereka sisipkan dalam tulisan, gagasan, dan pemikiran mereka lahir dari pengembaraan yang tak hanya menyusuri ilmu, tetapi juga manusia, kehidupan, dan alam semesta. Itulah sebabnya, pengaruh mereka melintasi zaman, menjangkau generasi demi generasi, seolah setiap kata yang mereka tulis masih berdenyut dengan kehidupan.
Dari Imam Syafi’i dengan kecemerlangan pemikirannya tentang hukum, Imam al-Ghazali dengan kedalaman tasawufnya, hingga Ibn Khaldun yang menulis tentang siklus sejarah manusia dengan imajinasi yang langka, mereka menghadirkan pandangan yang segar dan mendalam karena lahir dari persentuhan langsung dengan realitas. Karya-karya mereka bukan hanya teks mati; ia hidup, berbicara, dan terus menginspirasi. Mereka menulis dengan tangan yang telah disentuh oleh perjalanan, oleh perjumpaan dengan dunia yang luas. Itulah yang membuat warisan mereka tak pernah usang—selalu menemukan relevansinya, bahkan di dunia yang terus berubah seperti sekarang.
Mereka “ngopinya jauh”—begitu istilah yang muncul dalam diskusi tim redaksi, menggambarkan bagaimana pengalaman yang luas membuat jiwa ikut meluas. Bukan hanya soal berpindah tempat fisik, tetapi menembus batas-batas pemikiran yang sempit. Mereka yang berkelana jauh, bertemu dengan banyak wajah, budaya, dan cerita kehidupan, akan menemukan bahwa dunia ini lebih dari sekadar sudut pandang tunggal. Dengan setiap perjalanan, batas-batas ego mereka melonggar, hati menjadi lebih terbuka, dan jiwa menemukan ruang-ruang baru untuk merenung dan memahami.
Perjalanan yang jauh bukan sekadar soal geografis, tetapi tentang memperluas cakrawala batin, membebaskan diri dari kejumudan, dan menyerap kebijaksanaan dari setiap persinggungan dengan kehidupan. “Ngopinya jauh” menjadi metafora bagi kedalaman pengalaman yang melahirkan keluasan pandangan—sesuatu yang tak bisa didapat dari duduk diam di satu tempat. Mereka yang telah melampaui batas-batas dirinya sendiri, karya-karyanya pun berbicara dengan kekayaan yang sama, memberi ruang bagi banyak jiwa lain untuk ikut merenungi dunia dan kehidupan, sembari menyadari betapa sedikitnya ilmu yang dimiliki.