Kasih Tanpa Nama

Di satu sudut kota Madinah, seorang lelaki tua duduk setiap hari. Badannya ringkih, matanya buta. Setiap pagi ia datang, duduk di tempat yang sama, dengan kebencian yang tertanam begitu dalam. Di sela helaan nafas yang kian rapuh, ia melontarkan umpatan pada seorang lelaki yang tidak pernah ia temui, tidak pernah ia lihat—tetapi telah ia benci seolah-olah sejak lama.

“Jangan percayai Muhammad!” teriaknya, “Ia hanya akan menyesatkan kalian!” Begitu berulang-ulang, serupa angin yang menggores, menyentuh siapa saja yang lewat di sekitarnya. Dan meski suara kebencian itu samar, seseorang selalu mendengarnya, mendengarnya tanpa balasan marah, tanpa sedikit pun penolakan.

Orang yang setiap pagi datang kepadanya bukan lain adalah Muhammad sendiri. Rasulullah Saw., dalam kebisuan yang lembut, mendekati lelaki tua itu dengan sabar. Duduk di sampingnya, beliau menyuapkan makanan, perlahan, penuh kasih. Tidak ada perkataan yang mencoba menghalangi kata-kata kasar yang terlontar dari bibir lelaki itu, tidak ada teguran atau amarah yang disimpan. Rasulullah hanya duduk, dengan telaten, membantu lelaki itu makan hingga kenyang, menghangatkan tubuhnya dengan senyum yang tidak bisa dilihat oleh mata yang telah kehilangan terang.

Setiap pagi begitu. Tiap hari, Muhammad datang tanpa suara, tanpa memperkenalkan diri, hanya membawa sebongkah kasih sayang dalam diam. Bagi beliau, menyuapi lelaki tua itu adalah panggilan kasih sayang, bukan semata-mata untuk membalas kebencian dengan kebaikan—melainkan untuk menghapus luka yang barangkali tak pernah disadari lelaki tua itu sendiri.

Namun, tiba-tiba Madinah diliputi duka. Berita wafatnya Rasulullah merayap cepat ke setiap penjuru, menembus hati yang merasa kehilangan. Rasulullah telah tiada. Cahaya yang selama ini memeluk Madinah al-Munawwarah perlahan pudar.

Di tengah-tengah dukacita itu, lelaki tua buta itu masih saja duduk di tempatnya. Hari-hari berlalu, dan ia menanti—menunggu kehadiran seseorang yang tiap hari mendekatinya, menyuapinya, menemaninya makan. Namun hari demi hari berlalu, dan tiada satu pun yang datang. Tiada lagi tangan lembut yang menyuapkan makanan, tiada lagi kehangatan yang diam-diam ia rindukan.

Hingga suatu hari, Abu Bakr, sahabat terdekat Nabi, datang dan duduk di samping lelaki tua itu. Mengingat kebiasaan Nabi yang begitu halus dan kasih, ia mencoba melanjutkan apa yang pernah dilakukan Rasulullah: mendekat, mengambil makanan, lalu menyuapinya perlahan. Namun seketika, lelaki tua itu tersentak.

“Siapa engkau?” tanyanya curiga, dengan nada marah dan getir. “Engkau bukan orang yang biasa menyuapiku!”

Abu Bakr terdiam, dan dengan hati yang sesak oleh kenangan, ia pun menjawab, “Yang biasa menyuapimu telah pergi. Ia telah wafat.” Hening sejenak menyelimuti. Dengan suara yang bergetar, Abu Bakr menambahkan, “Dialah Muhammad, orang yang setiap hari engkau maki.”

Di saat itu, hati lelaki tua itu serasa hancur. Tangan yang selama ini menyuapinya, tangan yang lembut, penuh kasih, yang memberinya makan tanpa pernah membalas kebencian, ternyata adalah tangan dari orang yang ia benci.

Air mata mulai menetes di pipinya yang tua dan berkerut. Sebuah kesadaran datang terlambat, serupa penyesalan yang tak mungkin tertebus. Kebenciannya tiba-tiba larut dalam kepahitan yang tidak terucapkan. Dalam benaknya, hadir bayangan lelaki yang selama ini sabar duduk di sisinya, menyuapinya dengan tangan sendiri, menelan setiap makian tanpa satu pun kata yang membalas.

Ia terisak, menahan kepedihan yang merayap dalam batinnya. “Mengapa…” suaranya pecah di udara, “mengapa ia tidak pernah berkata siapa dirinya?” Di sela-sela isak, ia merasa beban yang amat berat, seolah-olah menanggung seluruh kebencian yang pernah ia lontarkan, berbalik menghujam hatinya sendiri.

Abu Bakr, dengan tenang dan lemah lembut, menjawab, “Itulah Muhammad. Ia tidak pernah mencari penghargaan atas kebaikannya, ia hanya memberi tanpa pamrih, ia hanya ingin melihat kebaikan yang tersebar.”

Dalam keheningan yang penuh kesedihan, lelaki tua itu akhirnya mengerti. Bahwa orang yang selama ini ia cerca dengan kebencian adalah seseorang yang memberinya kasih sayang, seseorang yang bahkan tak pernah ia tahu wajahnya, tetapi telah ia rasakan sentuhan kasih sayangnya.