Begitu derasnya aliran informasi di dunia maya, seakan menenggelamkan kita dalam riuhnya opini dan data yang datang silih berganti. Di tengah hiruk-pikuk arus informasi ini pesan mendalam dari Ustaz M. Quraish Shihab dalam Tafsîr al-Mishbâh mengundang perenungan. Menafsirkan surat al-Isra ayat 36, beliau menyentuh persoalan esensial tentang tanggung jawab personal dalam merawat perangkat-perangkat pengetahuan: pendengaran, penglihatan, dan hati, yaitu dengan berbicara dan bertindak berdasarkan ilmu, serta jangan mengikuti sesuatu tanpa ilmu.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (Al-Isrā’ [17]:36).
“Jangan berucap apa yang engkau tidak ketahui, jangan mengaku tahu apa yang engkau tak tahu atau mengaku mendengar apa yang tidak engkau dengar,” demikian Ustaz Quraish Shihab (2012: 86) menyuarakan kembali makna ayat yang memberi peringatan keras bagi siapa pun yang gegabah berbicara tanpa dasar pengetahuan yang kokoh.
Lebih lanjut, Ustaz Quraish Shihab menekankan bahwa Allah telah menyediakan manusia alat-alat untuk meraih kebenaran dan ilmu pengetahuan—pendengaran, penglihatan, dan hati. Namun, ada harga yang harus dibayar atas pemakaian ketiga instrumen ini. “Pendengaran, penglihatan, dan hati merupakan alat-alat pengetahuan, dan semua akan ditanyai tentang bagaimana pemiliknya menggunakannya,” katanya. Penekanan ini membangkitkan kesadaran bahwa kita bukan sekadar konsumen informasi, tetapi juga bertanggung jawab atas setiap kata yang kita lontarkan dan setiap kesaksian yang kita hadirkan.
Lebih jauh lagi, penjelasan Ustaz Quraish Shihab ini menawarkan dua sisi hikmah: pertama, sebagai panduan untuk menjauhkan diri dari keburukan, termasuk tuduhan palsu, prasangka, kebohongan, dan kesaksian yang tak benar. Di sisi lain, ia menyerukan agar kita memanfaatkan potensi pendengaran, penglihatan, dan hati untuk menjemput ilmu dan kebenaran. Dengan kata lain, ayat ini mengingatkan bahwa setiap klaim, argumentasi, atau opini yang dilontarkan perlu berpijak pada keabsahan dan kekokohan, bukan asal bicara atau sekadar dugaan.
Seruan ini sungguh relevan di tengah arus informasi yang sering meresahkan. Penggunaan media sosial dan teknologi komunikasi telah melipatgandakan kesempatan untuk berpendapat, namun di sisi lain, juga membuka pintu selebar-lebarnya bagi penyebaran informasi yang tidak benar. Dari perspektif ini, Ustaz Quraish Shihab menggarisbawahi urgensi untuk menjaga integritas dalam menggunakan perangkat pengetahuan kita, agar tak terperangkap dalam jebakan “klaim kebenaran yang palsu,” atau “berbicara tanpa dasar.”
Lebih lanjut Ustaz Quraish Shihab menjelaskan, kehati-hatian dan upaya pembuktian terhadap semua berita, semua fenomena, semua gerak–sebelum memutuskan–itulah ajakan al-Qur’an serta metode yang sangat teliti dari ajaran Islam. Apabila akal dan hati telah konsisten menerapkan metode ini, tidak akan ada lagi tempat bagi waham dan khurafat dalam akidah, tidak ada juga wadah bagi dugaan dan perkiraan dalam bidang ketetapan hukum dan interaksi, tidak juga hipotes atau perkiraan yang rapuh dalam bidang penelitian, eksperimen, dan ilmu pengetahuan (2012: 87).
Di tengah kecenderungan sebagian orang yang gemar berkomentar atau bahkan memberikan kesaksian palsu demi kepentingan sesaat, peringatan dalam ayat ini menemukan tempatnya. Dengan menghindari klaim-klaim tanpa dasar, kita sebenarnya bukan hanya menjaga diri dari kerusakan personal, tetapi juga turut menjaga masyarakat dari bahaya disinformasi, fitnah, dan hoaks. Tafsir Quraish Shihab ini menjadi undangan terbuka bagi kita untuk merefleksikan kembali bagaimana kita merawat alat-alat pengetahuan yang telah dipercayakan kepada kita, dengan berpegang pada ilmu yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Sumber
M. Quraish Shihab. 2012. Tafsîr al-Mishbâh. Jakarta: Lentera Hati. vol.7