
Dalam Islam, menyeru manusia ke jalan Allah adalah kewajiban yang luhur. Terdapat hadis yang menyatakan, “Katakan yang benar meskipun pahit,” mengisyaratkan pentingnya menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut. Namun, Islam tidak menganjurkan cara yang kaku atau fanatik. Sebaliknya, seruan ini harus dilakukan dengan keindahan dan kelembutan, melalui pendekatan yang bijak. Al-Qur’an menuntun kita untuk berdakwah dengan hikmah, nasihat yang baik, atau debat yang beradab, agar kebenaran tersampaikan secara utuh tanpa menimbulkan permusuhan.
Hal ini tercermin dalam firman Allah pada Surah An-Nahl ayat 125:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah424) dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.
(An-Naḥl [16]:125)
Konteks Ayat
Dalam memahami suatu ayat Al-Qur’an, penting untuk memperhatikan ayat sebelum (sibaq) dan sesudahnya (lihaq) agar pemahaman yang diperoleh tidak terpotong. Sibaq dari ayat ini berbicara mengenai umat Yahudi yang melanggar perintah Allah untuk beribadah pada hari Sabat. Sebaliknya, mereka memancing ikan pada hari yang dikhususkan untuk ibadah, seperti yang dikisahkan dalam Al-A’raf ayat 163. Akibatnya, mereka dikutuk menjadi kera yang hina (Al-Baqarah ayat 65). Karena itu, menurut At-Tabari, Surah An-Nahl ayat 125 diarahkan khusus untuk mendakwahi kaum Yahudi yang menyimpang dan secara umum untuk siapa saja yang mencari kebenaran. Dalam ayat ini, Al-Qur’an menawarkan tiga metode dakwah: pertama, dengan hikmah; kedua, dengan mauidzah hasanah; ketiga, dengan mujadalah.
Makna Hikmah
Tafsir mengenai makna “hikmah” dalam ayat ini cukup beragam. Ibn Katsir, mengutip tafsir At-Tabari, menafsirkannya sebagai wahyu dalam Al-Qur’an atau hadits. Sementara itu, As-Sa’di memaknai hikmah sebagai pendekatan yang mempertimbangkan kondisi, pemahaman, dan gaya bahasa orang yang dihadapi. Dari kedua tafsir ini, hikmah dapat dipahami sebagai buah dari perenungan terhadap nilai-nilai Al-Qur’an yang luhur. Dengan memahami esensi ayat, seseorang akan lebih mudah menyampaikan dakwah secara bijak, sesuai keadaan objek dakwahnya.
Begitu pula seorang guru ketika mengajar di kelas. Ia tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga mendakwahkan ilmu, yang pada dasarnya adalah kebenaran. Karena itu, seorang guru sebaiknya menyesuaikan materi, metode, dan gaya bahasa dengan usia muridnya. Memahami usia dan tingkat pemahaman murid mempengaruhi kemampuan mereka mencerna kebenaran yang disampaikan. Ini adalah bentuk hikmah dalam mengajar, lebih baik daripada menyampaikan ilmu yang luas dengan retorika yang sulit dipahami.
Makna Mauizhah Hasanah
Al-Baghawi dalam tafsirnya menafsirkan mauizhah hasanah sebagai doa, motivasi untuk beramal saleh, dan pengingat akan ancaman Tuhan bagi yang berbuat dosa. Beliau juga menambahkan bahwa mauizhah hasanah berarti ucapan yang lembut, bukan keras atau kasar. Hal ini selaras dengan titah Allah kepada Musa dan Harun dalam Surah Taha ayat 44 ketika keduanya hendak mendakwahi Firaun. Allah mengajarkan mereka untuk berdakwah dengan ucapan yang lembut, meski yang dihadapi adalah Firaun, sosok yang telah sampai pada kesempurnaan dalam kesyirikan hingga mengaku sebagai tuhan tertinggi.
Begitu juga seharusnya seorang guru. Saat menemukan murid melanggar disiplin, sebaiknya menasihati dengan kelembutan. Murid-murid bukanlah Firaun, dan kita bukan nabi yang mendapat wahyu. Sering kali, dalam menyampaikan kebenaran, kita terhalang oleh tirai kesombongan, merasa lebih benar dari yang lain.
Makna Berdebat yang Baik
Ibnu ‘Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir menjelaskan bahwa meski mujadalah atau debat dalam dakwah adalah perintah, di ayat lain ada pula larangan berdebat. Keduanya sama-sama disyaratkan untuk dilakukan billati hiya ahsan—dengan cara yang terbaik. Dalam bahasa Arab, kata أحسن (ahsan) adalah bentuk superlatif yang berarti “lebih baik.” Debat dalam dakwah harus dilakukan sebaik mungkin, bukan sekadar baik (hasan), karena debat sering kali menimbulkan perpecahan. Allah menekankan agar debat dijalankan dalam kedamaian, sebab tujuan debat bukan untuk menang, tetapi untuk mengungkap dan menyerukan kebenaran.