Secara bahasa, al-‘izzah (العِزَّة) bermakna kemuliaan, kehormatan, atau keagungan. Kata ini sering digunakan dalam konteks kekuatan moral, spiritual, atau martabat yang tinggi. Al-‘izzah (العِزَّة) merujuk pada kebesaran yang berasal dari Allah dan menunjukkan kemuliaan yang diberikan kepada seseorang atau suatu umat yang berpegang teguh pada nilai-nilai keimanan.
Menurut Dr. Saepul Anwar, kata al-‘Izzah telah menjadi salah satu istilah yang kaya akan makna dan sering muncul dalam konteks sejarah dan teks agama Islam. Menurutnya al-‘Izzah memiliki makna yang variatif dan berkembang seiring waktu. Dalam penelusuran sejarahnya, al-‘Izzah memiliki arti pertama sebagai “kemuliaan,” yang merupakan lawan dari kata al-dzillah, yang berarti hina atau rendah. Al-‘Izzah dalam konteks ini mengacu pada ketinggian derajat, kehormatan, atau kemuliaan seseorang atau sesuatu.
Lebih jauh, Dr. Saepul Anwar menjelaskan bahwa ketika kata al-‘Izzah dipasangkan dengan kata al-nafs, seperti dalam istilah “izzah al-nafsi”, maknanya berubah menjadi kebanggaan diri seseorang. Ini menunjukkan bagaimana bahasa Arab, melalui akar kata yang sama, dapat mencerminkan nuansa yang berbeda tergantung pada penggunaannya dalam konteks tertentu.
Tidak hanya itu, al-‘Izzah juga digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memiliki tempat spesial dalam hati. Dr. Saepul menyoroti bahwa ada hubungan erat antara sesuatu yang dihargai secara emosional dan dihormati, yang membuat al-‘Izzah sebagai kata yang kaya makna.
Salah satu aspek menarik yang diungkapkan oleh Dr. Saepul adalah bagaimana bentuk kata kerja dari al-‘Izzah, yaitu azza-yaizzu, memiliki dua makna utama: menjadi mulia dan menjadi sedikit. “Sesuatu itu menjadi berharga, karena jumlahnya tidak banyak, atau karena ia langka,” jelasnya. Inilah sebabnya mengapa kemuliaan sering diasosiasikan dengan kelangkaan, menegaskan bahwa kehormatan dan kemuliaan tidak selalu mudah ditemukan.
Selain itu, Dr. Saepul menambahkan bahwa dalam konteks penggunaan kata al-‘Izzah pada masa Islam, terutama dalam teks al-Qur’an dan hadis, al-‘Izzah umumnya bermakna kemuliaan yang fondasinya adalah kekuatan (dalam pengertian yang luas). “Hal ini terlihat jelas dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadis yang menggunakan akar kata yang sama dengan al-‘Izzah,” katanya.
Sebagai contoh, Dr. Saepul mengutip salah satu firman Allah dalam surat al-Munafiqun ayat 8 yang berbicara tentang kemuliaan yang disandarkan pada kekuatan.
يَقُوْلُوْنَ لَىِٕنْ رَّجَعْنَآ اِلَى الْمَدِيْنَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْاَعَزُّ مِنْهَا الْاَذَلَّ ۗوَلِلّٰهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهٖ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلٰكِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ࣖ
Mereka berkata, “Sungguh, jika kita kembali ke Madinah (dari perang Bani Mustaliq), pastilah orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari sana,” padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin. Akan tetapi, orang-orang munafik itu tidak mengetahui. (Al-Munāfiqūn [63]:8)
Begitu pula, dalam salah satu hadis Nabi Muhammad saw. terdapat doa agar Islam dimuliakan melalui salah satu dari dua sosok penting pada masa itu, yaitu Amr bin Hisyam (yang kemudian dikenal sebagai Abu Jahl karena mengingkari Nabi) atau Umar bin Khattab. Dalam doa tersebut, Nabi saw. memohon kepada Allah:
اللهم أعز الإسلام بأحب هذين الرجلين إليك: أبي جهل أو بعمر بن الخطاب قال وكان أحبهما عمر….
Yang artinya, “Ya Allah, muliakan Islam dengan salah satu dari dua orang yang paling Engkau cintai: Abu Jahl atau Umar bin Khattab.” Ternyata, Umar bin Khattab yang kemudian dipilih oleh Allah, menjadi salah satu tokoh yang memperkuat posisi Islam di masa awal.
Pemahaman mengenai al-‘Izzah tidak hanya sebatas kemuliaan, tetapi juga melibatkan kekuatan, kelangkaan, dan penghargaan yang mendalam terhadap sesuatu. Dr. Saepul menekankan bahwa kata ini memiliki resonansi kuat dalam ajaran Islam dan terus relevan hingga kini sebagai simbol kekuatan intelektual, moral, dan spiritual.