
Di atas tandu, di tengah hutan, tubuh Jenderal Soedirman tampak rapuh. Paru-parunya berpenyakit, membuat setiap napasnya berat, seperti memikul beban yang tak tertanggungkan. Tapi dalam kelemahan fisik itu, tersembunyi kekuatan yang tak tertundukkan oleh rasa sakit, oleh ketakutan, atau oleh pengkhianatan. Di sinilah, di antara pepohonan yang sunyi, dalam gerak langkah gerilya yang panjang dan melelahkan, Jenderal Soedirman menunjukkan tanggung jawabnya dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Perang gerilya bukan sekadar taktik militer, ia adalah perlawanan batin. Di medan ini, musuh bukan hanya Belanda yang datang dengan senapan dan strategi, tetapi juga rasa lelah, lapar, dan ragu. Dan Soedirman dengan tubuh yang kian melemah, memimpin pasukannya melalui hutan-hutan di Jawa—mempertahankan harapan di antara daun-daun pohon dan kegelapan malam yang pekat. Tak jarang ia salat dengan embun dari daun pepohonan.
Ketika dunia luar bergemuruh bahwa Indonesia tak punya harapan, Soedirman dan tentaranya menolak mendengarnya, tapi memperjuangkannya dan membuktikan bahwa Republik Indonesia masih ada. Mereka tahu, kemerdekaan bukan hanya tentang mengibarkan bendera, tetapi tentang mempertahankan martabat. Dan martabat itu, bagi Soedirman, adalah sesuatu yang lebih besar dari sekadar kemenangan di atas kertas. Martabat itu adalah perlawanan yang gigih, meski tubuhnya perlahan-lahan rapuh di balik batuk yang menggema di setiap malamnya.
Soedirman tidak memimpin dari kenyamanan ruang rapat yang hangat. Ia memilih berada di garis depan, di tempat di mana setiap pilihan bisa berarti hidup atau mati. Ia telah meninggalkan Yogyakarta pada 19 Desember 1948 demi memenuhi tanggung jawab mempertahankan Republik Indonesia, ketika pimpinan pemerintahan ditawan oleh Belanda.
Meskipun ini adalah perang yang tak seimbang antara negara yang baru merdeka dengan segala kelemahannya, melawan pejajah yang unggul dalam persenjataan militer modern. Mereka yang bergerilya di hutan-hutan pun mengetahui, bahwa panglima besar mereka, dalam keadaan sakit dan seharusnya beristirahat, namun semangat dan tanggung jawabnya mengalahkan kelemahan fisiknya.

Saya akan Meneruskan Perjuangan
Sebelumnya, pada 19 Desember 1948 ketika pasukan Belanda menyerang, Soedirman yang dalam keadaan sakit, dengan paru-paru yang rapuh, menghadap Presiden Soekarno. Ia melaporkan bahwa pasuka TNI sudah siap melaksanakan rencananya. Akan tetapi Pak Dirman terkejut menerima perintah dari presiden agar beliau tetap tinggal di kota untuk dirawat sakitnya.
Soedirman pun menjawab tawaran presiden dengan kata-kata yang terkenal, ”Tempat saya yang terbaik adalah ditengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan. Mert of zonder pemerintah TNI akan berjuang terus.”
Ia pun memimpin perang gerilya melawan Belanda pada Agresi Militer II 1948. Di tengah kondisi fisik yang sangat lemah akibat penyakitnya, Soedirman tetap bersikeras untuk memimpin pasukannya secara langsung. Para dokter dan rekan-rekannya telah berulang kali meminta agar ia tinggal di Yogyakarta untuk beristirahat, namun ia menolak. Soedirman bersikukuh bahwa seorang pemimpin harus berada di tengah-tengah pasukannya, bukan di belakang meja komando. Dengan tubuh yang lemah dan duduk di atas tandu, Soedirman bergerak dari satu hutan ke hutan lainnya, memimpin perang gerilya yang berlangsung selama tujuh bulan.
Di akhir hidupnya, tokoh kelahiran 24 Januari 1916 ini, sudah tahu bahwa tubuhnya tidak akan bertahan lama. Tetapi, ia telah menanamkan sesuatu yang lebih kuat dari tubuh fisiknya: semangat yang tidak bisa dihancurkan oleh penyakit atau peluru. Seperti pohon yang tetap tegak meski badai datang, Soedirman menjadi simbol dari keikhlasan dan ketabahan.
Selama bangsa ini masih menghormati nilai-nilai perjuangan, keikhlasan, dan pengorbanan, nama Panglima Besar Jenderal Soedirman akan selalu hidup, melampaui batas waktu dan sejarah.

Panglima Besar Pertama dan Terakhir
Sungguh mengharukan ketika Jenderal Soedirman bertemu dengan Presiden Soekarno setelah berakhirnya perang gerilya. Pertemuan itu terjadi pada tahun 1949 setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar. Pada saat itu, Soedirman yang masih dalam kondisi fisik sangat lemah, kembali ke Yogyakarta.
Ketika bertemu Soekarno, suasana dipenuhi rasa haru. Soedirman, yang masih mengenakan pakaian khasnya dan terlihat sangat kurus serta lemah, tetap berdiri tegar di hadapan Presiden. Soekarno, yang mengetahui betapa berat perjuangan Soedirman, menatapnya dengan kekaguman dan rasa hormat yang mendalam.
Pada tanggal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman wafat dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Untuk mengenang dan menghargai jasanya, pemerintah memberikan penghargaan tertinggi berupa gelar Pahlawan Nasional pada 20 Mei 1970. Menjelang peringatan Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ke-52, pemerintah menganugerahi pangkat kehormatan Jenderal Besar TNI atau Jenderal Bintang Lima kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44/ABRI/1997.
Jabatan Panglima Besar tetap dipegang Soedirman hingga wafat, satu bulan dua hari setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Sejak itu, jabatan Panglima Besar tidak pernah ada lagi, dan tampaknya ada kesepakatan untuk tidak mengadakannya kembali dalam dunia militer Indonesia. Dengan demikian, Soedirman adalah tokoh pertama dan terakhir, satu-satunya yang pernah memegang jabatan Panglima Besar.
Sumber : Senakatha, 100 Tahun Soedirman Bapak TNI, Oktober 2016, No.42.