
Pengantar Redaksi
Ketika berbicara mengenai makna khairu ummah, yang telah mengakar dalam tradisi Islam, sering kali muncul pertanyaan mendasar: apa sebenarnya yang dimaksud dengan umat terbaik, dan bagaimana ciri-ciri yang melekat pada mereka? Dalam wawancara khusus ini, Senin (7/10/2024) Ustaz Yunal Isra akan mengupas lebih dalam tentang makna teologis dan historis dari istilah tersebut. Berlandaskan pada tafsir-tafsir klasik dan riwayat para ulama, wawancara ini akan menggali bagaimana karakter umat terbaik di era Rasulullah Saw dapat menjadi pedoman hidup bagi umat Islam masa kini. Lebih dari itu, Ustaz Yunal juga menyoroti peran penting pesantren dalam membentuk generasi khairu ummah yang mampu menjaga nilai-nilai amar ma’ruf nahi munkar, serta meneguhkan keimanan dalam kehidupan modern yang penuh tantangan.
Bisa dijelaskan Ustaz, makna “khairu ummah” secara bahasa?
Ungkapan “khairu ummah” terdapat dalam Surah Ali Imran ayat ke-110. Secara lengkap bunyi ayat tersebut adalah, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah Swt. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” Secara bahasa ungkapan tersebut bermakna “umat terbaik”, artinya “kamu adalah umat terbaik.” Namun pertanyaannya sekarang adalah, siapa yang dimaksud dengan “kamu” dan apa pula yang dimaksud dengan “umat terbaik” pada ayat tersebut.?
Merujuk kepada kitab tafsir al-Khazen karya Imam ‘Ala’uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim atau yang masyhur dengan julukan Imam al-Khazen menyebutkan bahwa ayat tersebut turun dilatarbelakangi oleh perkataan dua orang Yahudi yang bernama Malik bin al-Shayf dan Wahb bin Yahuda kepada Abdullah bin Mas’ud, Muadz bin Jabal dan Salim Maula Hudzaifah, “Kami lebih baik dari kalian dan agama kami (juga) lebih baik dari agama kalian di mana kalian mendakwahi kami agar memeluk agama tersebut”. Lalu Allah Swt-pun menurunkan ayat tersebut sebagai respon terhadap pernyataan mereka. Saydina Ibnu Abbas berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “kamu” pada ayat tersebut adalah orang-orang yang berhijrah bersama Nabi Saw dari Mekah ke Madinah.
Senada dengan itu, Imam al-Dhohhak menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “kamu” adalah para sahabat Nabi Saw di mana Allah Swt memerintahkan seluruh umat Islam untuk mengikuti mereka. Sementara itu, Imam Ibnu Jarir al-Thabari meriwayatkan sebuah hadis yang bersumber dari Saydina Umar bin al-Khatthab di mana beliau pernah berkata, “Yang dimaksud dengan kamu pada ayat tersebut adalah kita semua, khususnya para sahabat Baginda Rasulullah Saw dan setiap orang yang berkarakter seperti karakter mereka.” Namun lebih detail dari itu semua, sebuah riwayat yang bersumber dari Abdullah bin Mas’ud menyatakan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang hidup semasa denganku (sahabat), lalu generasi setelahnya (tabi’in) dan generasi setelahnya (tabi’ tabi’in).”
Di antara sekian banyak riwayat terkait maksud “kamu” pada ayat tersebut maka definisi Saydina Umarlah yang lebih relevan dan membuka “kran” lebih besar untuk menjadi umat terbaik, yaitu setiap orang yang berkarakter seperti karakter sahabat Nabi Saw. Hal ini tentu saja menjadi kabar gembira untuk kita semua, karena julukan “khaira ummah” ternyata bisa juga kita warisi asalkan semua sifat-sifat kebaikan yang dipraktikkan oleh para sahabat Nabi Saw tersebut dapat kita teladani dan terapkan juga dalam kehidupan sehari-hari. Namun pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah apa saja karakter para sahabat tersebut yang dengan mengikutinya kita akan mendapatkan julukan sebagai umat terbaik?
Seperti apa ciri “khaira ummah”?
Imam Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib menjelaskan bahwa illat (alasan) penyematan istilah “khaira ummah” kepada sahabat Nabi Saw (atau umat Nabi Muhammad Saw secara umum) disebutkan pada bagian kedua dari ayat tersebut (Ali Imran ayat ke-110). Setidaknya ada tiga karakter umat terbaik di sana, yaitu pertama, senantiasa menyeru kepada kebaikan. Kedua, konsisten dalam mencegah kemungkaran. Ketiga, istikamah dalam keimanan kepada Allah Swt. Ketiga karakter tersebut merupakan syarat mutlak untuk menjadi umat terbaik, karena semua sahabat Nabi Saw memiliki ketiga sifat tersebut. Sebut saja misalnya Saydina Abu Bakr al-Shiddiq, salah seorang sahabat utama yang dengan kelembutannya senantiasa menjadi mentor kebaikan bagi sahabat-sahabat lain, termasuk Saydina Umar bin al-Khatthab.
Ketika Rasulullah Saw wafat pada tahun ke-11 hijriah, Saydina Umar sempat tidak percaya dengan kejadian itu. Beliau bahkan marah kepada siapapun yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah tiada. Namun setelah diingatkan secara lembut oleh Saydina Abu Bakr akan makna ayat ke-144 dari Surah Ali Imran, beliaupun akhirnya menerima dan “legowo” dengan musibah yang menimpa kaum muslimin ketika itu. Kemudian kita juga menyaksikan betapa konsistennya para sahabat dalam mencegah kemungkaran. Saydina Umar adalah contoh kongkrit akan ketegasan dalam persoalan ini, beliau pernah minta izin kepada Nabi Muhammad Saw untuk melarang langsung salah seorang sahabat yang masih suka mabuk-mabukkan untuk berhenti dari kebiasaannya.
Adalah Nu’aiman, salah seorang sahabat Nabi Saw yang sangat cinta kepada beliau masih sulit meninggalkan kebiasakan buruknya sebelum masuk Islam. Dia berulang kali dihukum oleh Nabi Saw karena ketahuan masih suka meminum khamar. Hingga karena terlalu sering melanggar, sampai-sampai Saydina Umar geram melihatnya dan meminta izin kepada Nabi Saw untuk menjatuhkan hukuman bunuh kepadanya. Namun Rasulullah Saw dengan kelembutan beliau melarang Saydina Umar untuk melakukan hal itu karena Rasulullah Saw tahu persis bahwa Nu’aiman sangat mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya. Ia terjebak dalam kemaksiatan karena belum mampu saja melawan kebiasaannya sebelum masuk Islam, akhirnya Saydina Umarpun mengurungkan niatnya.
Begitu juga dalam hal iman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, tidak akan ada di antara kita yang mampu mengalahkan kokoknya iman Saydina Bilal bin al-Rabbah. Beliau rela menahan rasa sakit disiksa dengan cara ditindih dengan menggunakan batu besar sambil dijemur di bawah terik panas matahari padang pasir. Tidak hanya itu, beliau juga diseret dalam kondisi tidak berpakaian oleh seekor kuda yang berlari kencang di tengah padang pasir yang tandus oleh majikannya, Umayyah bin Khalaf. Namun apa yang keluar dari mulut beliau.? Tidak lain dan tidak bukan hanyalah kalimat “Ahad, Ahad, Ahad” yang merupakan nama lain dari Allah Swt. Beliau tidak takut mati demi mempertahankan keimanannya kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Sampai akhirnya beliau ditebus dan dimerdekakan oleh Saydina Abu Bakr al-Shiddiq.
Dengan ciri-ciri seperti itu, maka wajarlah kiranya Allah Swt menyebut para sahabat sebagai umat terbaik karena begitu kerasnya perjuangan mereka dalam mengikuti ajaran-ajaran Allah Swt dan Rasul-Nya. Namun seperti yang sudah dibahas pada poin sebelumnya, predikat umat terbaik tetap bisa kita warisi selama prinsip-prinsip mereka dan juga konsistensi mereka dalam menjalankan perintah-perintah agama -sebagaimana yang sudah dijelaskan- kita ikuti dan teladani dalam kehidupan kita sehari-hari. Selama kita mampu menjaga keistikamahan dalam ber-amar ma’ruf, ber-nahi mungkar, serta beriman kepada Allah Swt dengan segala tantangannya, maka insyaAllah kita juga akan digolongkan Allah Swt sebagai “khaira ummah”.
Bagaimana peran pendidikan pesantren dalam membentuk generasi “khairu ummah”
Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada poin sebelumnya, maka pesantren sebenarnya merupakan garda terdepan dalam mencetak generasi “khaira ummah”. Bagaimana tidak, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang konsisten mengajarkan akidah tauhid kepada anak didiknya. Tauhid dalam artian hanya memurnikan keyakinan kepada Allah Swt sebagai satu-satunya Zat yang berhak disembah dan dimintai pertolongan. Keyakinan yang kokoh yang tentunya tidak akan goyah sekalipun digoda dengan berbagai hal yang dapat menggoyangkan keimanan. Tentunya keyakinan yang disertai dengan rasa toleransi yang tinggi kepada mereka yang berbeda dalam proses pengamalan agamanya. Tidak cepat emosi ataupun marah ketika melihat orang lain memilih untuk berbeda dengan pendapat pribadinya, baik dengan mereka yang seagama ataupun yang berbeda.
Di samping itu, pondok pesantren juga mengajarkan bagaimana agar seorang santri tumbuh menjadi pribadi yang sangat loyal terhadap agama. Mereka mampu untuk berdakwah dengan cara-cara yang santun kepada umat. Ber-amar ma’ruf dan ber-nahi mungkar yang bijak dan sesuai dengan situasi dan kondisi di mana mereka tinggal. Tidak ifrath (ekstrim kanan) dan juga tafrith (ekstrim kiri) dalam mempraktekkan konsep tersebut. Pendeknya pesantren adalah lembaga terdepan yang diharapkan mampu membentuk karakter dan jiwa-jiwa moderat dari santri-santrinya. Karena sejatinya metode dakwah santun itu merupakan inti dari ajaran Nabi Saw dan para sahabat, di mana karena hal itulah Allah Swt menobatkan mereka sebagai “khaira ummah”. Allahu A’lam