Tiga Nasihat Kiai Syahid Tentang Kehidupan

Tiada nasihat yang lebih berharga selain nasihat tentang kehidupan, terlebih jika itu datang dari seorang ulama. Nasihat yang berlandaskan al-Qur’an dan sunnah, diperkuat dengan pengalaman hidup yang mendalam, menjadi bekal yang tak ternilai untuk menghadapi perjalanan hidup yang penuh dengan tantangan dan ujian. Dalam hidup, pasti ada saat-saat di mana kita lalai, merasa lemah, terpuruk, bahkan terjatuh. Di saat-saat itulah, nasihat seorang ulama ibarat cahaya yang menyinari kegelapan, menyemangati kita untuk bangkit dan melangkah kembali.

K.H. Ahmad Syahiduddin (alm.) adalah salah seorang ulama yang telah banyak memberikan nasihat-nasihat berharga kepada kita semua. Beliau, yang senantiasa berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah, serta telah melewati pahit manisnya kehidupan, mengajarkan kita agar tidak salah dalam melangkah. Wejangan beliau adalah panduan agar kita mampu menjalani hidup ini dengan penuh kebijaksanaan dan kebaikan.

Beliau pernah mengingatkan,

“Hidup kita ini sering kali karena gaya, bukan karena memahami hakikat hidup.”

Oleh sebab itulah Kiai Syahid tidak pernah bosan-bosannya menasihati kita semua dengan segala nilai-nilai kehidupan yang bermanfaat. Apalagi, beliau telah mencontohkannya secara langsung.

Beliau mengatakan:

“Bagi saya kehidupan ini adalah amal ibadah dan kebaktian saya kepada Allah Swt., dengan mengamalkan kebaikan-kebaikan dalam hidup ini, sehingga nanti orang akan tahu ketika saya sudah wafat. Semoga Allah Swt. senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua. Amin.”

Tentu, banyak sekali nasihat yang telah beliau sampaikan, dan tidak mungkin semuanya dapat diuraikan dalam tulisan ini. Namun, setidaknya ada tiga nasihat utama Kiai Syahid tentang kehidupan yang patut kita renungkan dan amalkan.

Pertama, apa pun yang kita cari dalam hidup ini, takwa puncaknya

Dalam menjalani kehidupan, kita tidak bisa lepas dari kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Namun, terkadang kita terlena dan menjadikannya ambisi yang berlebihan, seolah-olah semua itu adalah tujuan hidup yang utama. Padahal, semua yang bersifat duniawi hanyalah sementara, fana, dan suatu hari akan kita tinggalkan.

Kiai Syahid selalu mengingatkan bahwa agar hidup ini memiliki tujuan, dan takwa harus menjadi bingkai dalam setiap langkah kita. Dengan takwa, apa pun yang kita lakukan, termasuk aktivitas duniawi, akan bernilai ibadah.

Kiai Syahid mengatakan, bahwa hidup ini adalah sebuah pekerjaan yang mesti ada tujuan akhirnya. Tujuan akhir hidup adalah kehidupan yang lebih baik di akhirat nanti. Tujuan hidup bukan mati, karena kematian bukanlah akhir, tapi kehidupan yang berikutnya setelah kematian.

Kiai Syahid pun mengatakan:

“Mana mungkin dalam kehidupan nanti menjadi baik, kalau dalam kehidupan pertama ini tidak baik. Mana mungkin kita mengucap la ilaha illallah di saat menghembuskan nafas terakhir bila dalam kehidupan ini tidak mengenal la ilaha illallah.”

Beliau pun menyebutkan firman Allah Swt.:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah [2]:21)

Selanjutnya Kiai Syahid memberikan penjelasan:

“Dalam ayat sebelumnya, al-Qur’an membagi golongan manusia kepada mukmin, kafir, dan munafik, lalu dalam ayat ini Allah Swt. menyeru dengan ungkapan ya ayyuhan-nas, wahai manusia, baik mukmin, kafir, atau munafik. Semua dipanggil oleh Allah Swt. untuk beribadah kepada-Nya. Siapa Tuhanmu? Dialah yang menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. Inilah tujuan dari ibadah, yaitu untuk meningkatkan kualitas takwa kepada Allah Swt.”

Kiai Syahid juga menjelaskan, bahwa segala yang kita lakukan adalah untuk Allah Swt., bukan untuk kekayaan, jabatan, popularitas, dan sebagainya. Ketika mati tidak akan menyertai kita, selain amal karena Allah Swt. Maka mari dari sekarang jadikan takwa sebagai bekal kita.

 ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ

Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa (Qs. al-Baqarah [2]: 197).

Kedua, raihlah keberkahan hidup dengan bakti kepada orang tua dan guru

Kita semua mendambakan kesuksesan, baik dalam karier, pendidikan, maupun dalam meraih cita-cita lainnya. Banyak orang rela menghabiskan waktu, tenaga, dan uang untuk mengikuti pelatihan atau seminar demi meraih kesuksesan. Tidak salah, karena itu adalah bagian dari ilmu. Namun, Kiai Syahid selalu mengingatkan kita bahwa ada kunci kesuksesan yang sering kali terlupakan, yaitu bakti kepada kedua orang tua dan guru. Dari rida mereka, keberkahan hidup akan datang, dan dari keberkahan itu, kesuksesan yang hakiki bisa kita raih.

Kiai Syahid mengatakan:

“Karena itu pesan saya, jangan sampai tidak taat kepada orang tua, sebab akan merugi. Saya sudah merasakan betapa indahnya taat kepada orang tua. Jangan sampai melawan orang tua, karena akan merugi. Sehebat apa pun kita, tanpa orang tua kita tidak mampu apa-apa.
Jadi, kalau mau sukses carilah keridaan orang tua. Carilah keridaan guru. Itulah jalan menuju kesuksesan. Sambil tetap mengikuti sunnâtullah dengan terus berjuang, mujahadah. Man jadda wajada.”

Ketiga, bermanfaatlah bagi orang lain

Kiai Syahid juga selalu menekankan pentingnya menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Hidup yang paling baik adalah hidup yang memberi manfaat, baik kepada keluarga, tetangga, maupun masyarakat luas.

Kita diajarkan untuk tidak hidup hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk menjadi cahaya bagi orang lain, sekecil apa pun peran yang bisa kita mainkan. Tidak harus dengan tindakan besar-besar–jika memang bisa tidak apa–tapi dengan apa pun yang kita bisa, sekecil apa pun yang kita mampu. Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi sesamanya.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:

خير الناس أحسنهم خلقا وأنفعهم للناس

“Sebaik-baik manusia adalah yang terbaik budi pekertinya dan yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Kiai Syahid mengatakan:

“Manusia yang hanya memikirkan pribadinya, golongan dan kelompoknya, tidak memberikan manfaat, karena kata Nabi linnas, bukan li nafsihi. Karena itu ada kewajiban zakat, sedekah, dan kepedulian-kepedulian lainnya.”

Kiai Syahid pun mengingatkan:

“Di mana pun kita berada, kita harus mendatangkan manfaat. Jangan sampai di mana kita berada, di situ kita membuat mudarat. Jangan sampai keberadaan kita seakan tidak ada, karena tidak memiliki manfaat.”

Selanjutnya Kiai Syahid juga mengatakan:

“Santri harus terus mengembangkan kemampuan. Manfaatkan itu semua untuk mendatangkan manfaat bukan hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi orang lain.”

Demikianlah, nasihat-nasihat Kiai Syahid yang merupakan pancaran cinta, kasih sayang dan perhatian seorang ulama kepada umatnya, seorang guru kepada muridnya, orang tua kepada anak-anaknya (fililmi). Setiap petuah beliau adalah lentera yang menuntun kita melewati gelapnya kehidupan, mengingatkan kita bahwa hidup ini adalah perjalanan menuju akhirat, dan takwa adalah kompasnya.

Betapa beruntungnya kita yang masih sempat mendengar, merenungkan, dan mengamalkan wejangan dari beliau. Semoga setiap langkah kita, setiap keputusan yang kita ambil, selalu terbingkai dalam takwa, disertai bakti kepada orang tua, istikamah dalam kebaikan, dan semangat untuk terus bermanfaat bagi sesama. Karena pada akhirnya, apa yang kita kejar di dunia ini akan sirna, namun kebaikan yang kita tanam akan kekal, mengantarkan kita pada rahmat dan rida-Nya. Semoga nasihat-nasihat Kiai Syahid senantiasa menjadi bekal yang menuntun kita menuju jalan-Nya yang lurus.

Sumber:

Tim Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza. 2024. Menjaga Amanah Menata Langkah. Jakarta: Quanta-Elex Media-Gramedia.

Skip to content