Rajin Mengingat Allah

Ada sebuah kisah penuh hikmah dan pelajaran bagi kita semua tentang keutamaan amal ibadah seorang hamba yang senantiasa mengingat Allah Swt. sehingga mendapatkan rida dan rahmat-Nya. Kisah Muawiyah ibn Muawiyah al-Muzani salah seorang sahabat Rasulullah saw. yang tidak ikut berjihad bersama beliau di perang Tabuk karena uzur sakit. Hingga usai perang Tabuk, Muawiyah wafat dan Allah Swt. menyingkapkan kemuliaan dirinya. Kisah ini menjadi pelajaran betapa pentingnya senantiasa mengingat Allah Swt. sehingga Allah Swt. akan mengangkat derajat seseorang pada kemuliaan.

Sahabat yang Disalatkan Tujuh Puluh Ribu Malaikat

Suatu ketika Rasulullah saw. bersama kaum Muslimin akan melakukan perjalanan menuju Tabuk untuk bertempur melawan tentara Romawi. Peristiwa ini terjadi di Bulan Rajab tahun ke-9 H (630 M) dan menjadi pertempuran terakhir Rasulullah saw. Ada salah seorang sahabat bernama Muawiyah ibn Muawiyah al-Muzani hendak ikut serta dalam perang Tabuk, yang juga disebut ghazwah al-usrah (perang kesulitan), yaitu perang yang terjadi di masa sulit, karena saat itu tengah terjadi musim paceklik. Namun Muawiyah al-Muzani dalam keadaan sakit sehingga Rasulullah saw. memintanya untuk tetap di rumahnya.

“Tinggallah wahai Muawiyah dan janganlah berangkat menuju perang ini,” kata Rasulullah saw.

Muawiyah pun mematuhi perintah Rasulullah saw. dan tetap di Madinah. Lalu dengan perbekalan yang terbatas Rasulullah saw. dan kaum muslimin pun berangkat menuju Tabuk tempat yang terletak antara Wadil Qura dan Syam. Atas seizin Allah Swt., Rasulullah saw. dan kaum muslimin berhasil meraih kemenangan melawan tentara Romawi. Ketika dalam perjalanan pulang menuju Madinah Rasulullah saw. mendapat kabar bahwa Muawiyah telah meninggal dunia.

Imam Baihaqi dalam kitab Sunan dan Imam ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Musnad mencatat peristiwa ini, yang bersumber dari Anas ibn Malik. Anas bercerita: “Kami sedang bersama Rasulullah saw. dalam perang Tabuk, dan terbitlah matahari dengan sinar dan pancaran cahaya yang belum pernah saya lihat di hari-hari sebelumnya. Lalu datanglah Jibril kepada Rasulullah saw.”

Rasulullah Saw. bertanya, “Wahai JiIbril, mengapa saya melihat matahari terbit dengan sinar dan pancaran serta cahaya yang belum pernah saya lihat di hari-hari sebelumnya?”

Jibril menjawab, “Itu disebabkan oleh Muawiyah ibn Muawiyah yang meninggal dunia hari ini di Madinah, lalu Allah mengutus untuknya tujuh puluh ribu Malaikat untuk mensalatkannya”.

Nabi pun bertanya kembali, “Bagaimana keutamaan itu diperolehnya?”

Jibril menjawab, “Dengan banyaknya dia membaca surat al-Ikhlas siang dan malam, dalam keadaan berjalan, berdiri dan duduknya. Adakah keinginanmu wahai Rasulullah untuk kulapangkan tanah supaya engkau bisa salat di atasnya”,

Nabi menjawab, “iya.”

Anas bin Malik berkata, “Maka Nabi pun mensalatkannya, kemudian pulang ke Madinah.”

Imam Nawawi dalam al-Adzkar pada Bab “Zikir Ketika di Jalan” juga mencatat peristiwa ini yang bersumber dari Kitab Ibn Sinni dan kitab Dalail al-Nubuwwah karya al-Baihaqi dari Abu Umamah Al-Bahili. Ia bercerita bahwa Jibril mendatangi Rasulullah saw. ketika beliau di Tabuk.

Jibril berkata, “Wahai Muhammad, saksikanlah salat jenazah Muawiyah ibn Muawiyah Al-Muzani (di Madinah).”

Rasulullah saw. keluar (dari Tabuk). Sementara Jibril turun bersama 70.000 malaikat. Jibril menurunkan sayap kanan di atas bukit hingga merendah. Ia juga meletakkan sayap kirinya di atas tanah sampai merendah hingga ia dapat melihat Kota Mekkah dan Madinah. Rasulullah saw. bersama Jibril dan ribuan malaikat kemudian mensalatkan jenazah Muawiyah.

Setelah selesai, Rasulullah saw. bertanya, “Wahai Jibril, dengan amalan apa Muawiyah mendapatkan derajat begitu tinggi ini?”

Jibril menjawab, “Muawiyah lazim membaca Surat Al-Ikhlas saat berdiri, berkendaraan, dan berjalan kaki.”

Uzlah dan Mengingat Allah Swt.

Dalam setiap aktivitas kita hendaklah selalu mengingat Allah Swt., salah satunya dengan membaca surat al-Ikhlas. Mau mengajar, masuk kelas, ke masjid, dalam setiap langkah tidak lepas dari membaca surat al-ikhlas. Dibaca secara istikamah sampai menyatu dalam diri hingga bisa berzikir di hati, bahkan secara bersamaan dalam melakukan aktivitas sehari-sehari.

Dalam hal ini penting bagi kita untuk memperkuatnya dengan uzlah, menyendiri, merenung, dan mengingat Allah Swt. Ibn Athaillah dalam kitab al-Hikam menyebutkam tentang uzlah, menyendiri, menyepi, tapi bukan melamun, melainkan bertafakur, mengingat Allah Swt. , mengevaluasi, dan memperbaiki diri.

مَا نَـفَعَ الْقَلْبَ مِثْلَ عُزْلَةٍ يَدْخُلُ بِهَا مِيْدَانَ فِكْرَةٍ

“Tidak ada sesuatu pun yang lebih membawa manfaat bagi hati sebagaimana uzlah, yang dengan (uzlah) itu masuk ke medan tafakur.”

Melalui bulan suci Ramadhan Allah Swt. memberikan kesempatan kepada kita untuk kembali kepada fitrah (kesucian). Hal itu berlaku kalau kita mengisi bulan suci Ramadan dengan benar. Maka betul akan kembali kepada kesucian. Renungkan hal ini untuk tetap menjaga fitrah atau kesucian.

Maka ber-uzlah kita, bertafakur. Gunakan kesempatan libur untuk ber-uzlah, betafakur, dan merenungkan apa yang sudah kita lakukan. Jika bulan suci Ramadan merupakan waktu kita membersihkan diri, maka tingkatanlah keimanan kepada Allah Swt. dan jangan mengulangi kesalahan yang pernah kita lakukan.

Cobalah kita ber-uzlah dan merenung. Selama liburan kita lebih banyak bertafakur, menyiapkan diri kita ke depan agar lebih baik lagi. Memantapkan diri dan hati kita agar lebih dekat kepada Allah Swt.

Tidak mungkin kita hidup dengan tenang kalau hati kita masih terbelenggu oleh hawa nafsu. Maka dalam al-Hikam bagian selanjutnya mengingatkan kita bahwa ketika hati kita masih terbelenggu oleh hawa nafsu, maka tidak akan mencapai kedamaian dan kenikmatan. Karena yang dikejar adalah hawa nafsu. Merasa kurang dengan apa yang didapatkan. Akhirnya, hawa nafsu yang tumbuh, bukan nilai ikhlas, bukan nilai kebermanfaatan kita kepada orang banyak. Dalam al-Hikam diingatkan:

كَيْفَ يَشْرُقُ قَلْبٌ صُوَرُ اْلأَكْوَانِ مـُــنْطَبِعَةٌ فيِ مِرْآتِهِ، أَمْ كَيْفَ يَرْحَلُ إِلىَ اللَّهِ وَهُوَ مُكَبَّلٌ بشِهَوَاتِهِ، أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللَّهِ وَهُوَ لَمْ يَـتَطَهَّرْ مِنْ جَنَابَةِ غَفَلاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَرْجُوْ أَنْ يَفْهَمَ دَقَائِقَ اْلأَسْرَارِ وَهُوَ لَمْ يَـتـُبْ مِنْ هَفَوَاتِهِ

“Bagaimana mungkin hati akan bersinar, sedangkan bayang-bayang dunia masih terpampang di cerminnya? Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih terbelenggu nafsunya? Bagaimana mungkin akan bertamu ke hadirat-Nya, sedangkan ia belum bersuci dari kotoran kelalaiannya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertobat dari kekeliruannya.”

Siapa yang bisa membebaskan kita dari belenggu hawa nafsu? Diri kita sendiri,  bukan orang lain, dengan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Swt.

Jangan sampai kita menghadap Allah dan kiblatnya Ka’bah, tapi perilaku hidupnya materialis, berwujud materi. Allah Swt. yang kita sembah bukan materi. Karena itu, kalau tujuan hidup kita hanya mengejar materi, apa bedanya kita dengan penyembah berhala?

Mari kita bersama-sama memperbaiki diri dan saling menasihati, tawa shaubil haq wa tawa shaubi shabr. Marilah saling mengingatkan satu sama lain agar kita selamat di dunia dan akhirat. Amin.