Mengenal Puasa Para Ahli Makrifat

Sebagai seorang muslim dan mukmin, kita tentunya mengetahui bahwa dalam perputaran waktu, terdapat waktu-waktu yang Allah berikan keistimewaan. Misalnya, dalam sehari semalam, Allah berikan kemuliaan di sepertiga malam terakhir. Dalam satu pekan, Allah istimewakan hari Jumat. Dalam setahun, Allah muliakan dengan keberadaan bulan Ramadhan di dalamnya. Bulan Ramadhan mengajarkan banyak hal kepada kita semua. Bulan di mana kita dilatih langsung oleh Allah melalui tuntunan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. melalui sunnah-sunnahnya. Bulan yang mengajarkan dan melatih kita tidak hanya pada aspek lahiriahnya saja, namun juga memerhatikan aspek-aspek batiniahnya. Dua aspek yang harus diperjuangkan agar bisa berjalan seimbang. Pada bulan Ramadhan semua umat Islam berlomba-lomba untuk berjuang dalam mendapatkan predikat orang yang bertakwa.

Sebagai orang awam kita sering kali mendengar penjelasan dari guru-guru kita bahwa puasa adalah menahan makan dan minum serta segala hal-hal yang membatalkannya sejak fajar hingga terbenam matahari. Mengutip penjelasan Dr. Hasan Hitou, salah satu ulama kontemporer saat ini dalam Fiqhus Shiyam (terjemah). Dijelaskan bahwa Puasa secara bahasa adalah menahan, dan kata menahan ini digunakan untuk segala sesuatu. Adapun arti puasa secara syara’ adalah menahan diri secara khusus, dari sesuatu yang khusus, pada waktu khusus, oleh orang yang khusus. Waktu khusus adalah hari berpuasa, dari terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari. Segala tata-aturan pelaksanaan dijelaskan dengan gamblang dalam kajian fikih.

Namun demikian, bagaimana ibadah puasa jika dilihat, dipahami, dijalani oleh para ulama ahli makrifat. Berikut beberapa penjelasan puasa dalam perspektif para ulama ahli makrifat dari beberapa kitab turats.

Abu Naṣr al-Sarraj al-Ṭusi (Wafat 377 H /988 M)

Menurut syekh Abu Naṣr al-Sarraj dalam karyanya al-Luma’(terjemah) pada bab adab berpuasa, beliau menyebutkan hadist qudsi yang berbunyi: “Puasa adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang akan mengganjarnya”. (HR. Bukhari-Musim). Dijelaskan olehnya bahwa puasa memiliki kekhususan dari ibadah-ibadah fardu yang lain. Sebab ibadah-ibadah fardu yang lain merupakan gerakan anggota badan, Dimana orang lain (makhluq) bisa melihat apa yang ia lakukan. Sedangkan puasa tidaklah demikian, karena puasa bukanlah ibadah gerakan badan saja.

Sedangkan ungkapan “untuk-Ku” dalam hadist qudsi di atas dijelaskan oleh Abu Naṣr bahwa kalimah tersebut bermakna ash-shamadiyyah” (keagungan dan keabadian) dan itu hanya milik Allah SWT. Sebab kata “ash-shamad” adalah Dzat yang tidak memiliki rongga perut dan tidak butuh makan dan minum. Disebutkan kembali oleh Abu Naṣr sebuah hadist qudsi yang artinya: “Maka barang siapa yang berperilaku dengan akhlak-Ku, maka Aku-lah yang bakal membalasnya dengan balasan yang tidak pernah terbesit dalam benak manusia”. Allah telah menjanjikan pahala untuk setiap perbuatan baik dengan jumlah satu hingga sepuluh kali lipatnya, dan dari sepuluh hingga tujuh ratus kali lipatnya, kecuali bagi orang-orang yang berpuasa, di mana mereka adalah yang masuk dalam kriteria orang-orang yang sabar. Maka ibadah puasa dikecualikan dari ibadah-ibadah yang lain yang memiliki ganjaran terbatas dan tertentu. Karena puasa adalah kesabaran jiwa untuk tidak melakukan apa yang menjadi kebiasaannya, mengekang anggota badan dari seluruh kesenangannya. Maka orang-orang yang berpuasa merupakan orang-orang yang sabar. Rasulullah pernah bersabda: “Jika engkau berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, lisan dan tanganmu juga ikut berpuasa.” (Hr. Bukhari-Muslim).

Menurut Abu Naṣr sahnya puasa dan baiknya adab seseorang dalam berpuasa sangat bergantung pada sah (benar) nya tujuan seseorang, menghindari kesenangan hawa nafsu, menjaga anggota badan, bersih makanannya, menjaga hatinya, selalu mengingat Allah, tidak memikirkan rezeki yang telah dijamin Allah Swt, tidak melihat puasa yang dilakukan, takut atas tindakannya yang ceroboh dan memohon bantuan kepada Allah untuk bisa menuaikan puasa. Demikianlah adab orang yang berpuasa. Dijelaskan dalam kitab al-Luma’ bahwa puasa merupakan benteng dari api neraka kelak di akhirat. Karena puasa, bagi orang yang berpuasa sewaktu di dunia merupakan benteng dari anak panah musuh-musuh manusia yang mengajaknya ke neraka. Mereka adalah setan, hawa nafsu dunia dan syahwat.

Menurut Abu Naṣr bahwa orang yang tidak suka berpuasa ia akan tetap tidak suka, sebab nafsu akan suka kepada kebiasaannya. Jika ia telah terbiasa dengan sesuatu, maka ia akan rela melakukannya karena kesukaannya, serta bukan karena memenuhi kewajiban. Maka adab dalam hal ini, hendaknya tidak digabungkan antara kewajiban yang harus dipenuhi dengan kebiasaannya, meskipun itu ibadah atau ketaatan. Sebab hawa nafsu selalu cenderung pada kesukaan dan tidak mampu memenuhi kewajibannya, Dimana ia diciptakan secara kodratinya menghindar dari ketaatan-ketaatan. Maka ketika ia telah terbiasa dengan suatu bagian ibadah, ia mengiranya orang yang paling tahu tentang ibadah dan orang yang memiliki pengetahuan tentang ibadah dan tipu dayanya.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani (470–561 H/1077–1166 M)

Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab Sirrul Asrar (terjemah) dijelaskan dalam bab khusus bahwa puasa terbagi menjadi 2 kategori yaitu puasa syariat dan puasa tarekat. Dijelaskan bahwa puasa syariat adalah menahan diri dari makan, minum dan berhubungan badan pada siang hari. Sedangkan puasa tarekat adalah menahan seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan yang diharamkan, yang dilarang dan sifat-sifat tercela seperti ujub, sombong, bakhil dan lainnya-lahir batin siang dan malam. Semua itu jika di langar akan membatalkan puasa tarekat. Dijelaskan oleh Syekh Abdul Qadir bahwa puasa syariat terbatas waktu, sedang puasa tarekat dilakukan selamanya, sepanjang Allah berikan kehidupan (umur).

Di dalam kitab Sirrul Asrar, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda:

رُبَّ صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش

Yang artinya : “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa, selain lapar dan dahaga.”

Ungkapan yang senada:

كم من صائم مفطر وكم من مفطر صائم

Yang artinya : “Banyak orang yang berpuasa tetapi batal puasanya. Banyak orang yang tidak berpuasa tetapi hakikatnya berpuasa (karena menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan terlarang dan menyakiti orang lain dengan anggota tubuhnya).”

Syekh Abdul Qadir juga mengutip dalam hadist Qudsi yang berbunyi:

ان الصَّوم لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ 

Yang artinya : “Puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.”

يَصيْرُ لِلْصائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ الْإِفْطَارِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ رُؤْيَةِ جَمَالِي

Yang artinya :“Ada dua kebahagiaan bagi orang yang berpuasa: pertama, ketika berbuka, dan kedua ketika melihat Ke-Maha Indah-an Allah.”

Selanjutnya di dalam kitab Sirrul Asrar, dijelaskan bahwa menurut ulama syariat yang dimaksud dengan berbuka adalah makan saat matahari terbenam, dan maksud dari ru’yah adalah melihat hilal akan jatuhnya awal Idul Fitri atau awal bulan Syawal. Sedangkan menurut ulama ahli tarekat bahwa yang dimaksud dengan  buka puasa adalah ketika masuk surga dengan menikmati segala kenikmatan yang ada di dalamnya. Sedangkan yang dimaksud ru’yah adalah melihat Allah SWT pada hari kiamat dengan pandangan sirri secara nyata. Sedangkan puasa hakikat adalah menjaga hati dari mencintai selain Allah dan menjaga rasa (sirri) agar tidak mencintai penyaksian kepada selain Allah SWT. Beliau mengutip hadits qudsi yang berbunyi:

الإنسان سري وأنا سره

Yang artinya : “Manusia itu rahasia-Ku dan Aku rahasianya.”

Dijelaskan bahwa sirri itu adalah berasal dari cahaya Allah SWT. Sehingga tidak mungkin condong kepada selain Allah SWT. Bagi orang yang berpuasa tarekat, di dunia ini maupun di akhirat tidak ada yang dicintai, diingini, dicari selain Allah SWT. Jika hati dan sirri terjatuh untuk mencintai selain Allah SWT, maka batalah puasa tarekatnya, dan ia harus melakukan qadha dengan kembali mencintai Allah SWT dan menemuinya. Ganjaran dari puasa tarekat adalah bertemu dengan Allah SWT sebagaimana dalam sebuah hadis Qudsi dijelaskan bahwa: puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.”

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i (450-505 H/1058-1111 M)

Dijelaskan oleh Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin (terjemah) dalam rahasia diseputar puasa bahwasanya puasa merupakan “seperempat iman”, seperti yang disabdakan Nabi Saw: “Puasa adalah setengah dari sabar.” Beliau juga pernah bersabda: “Sabar adalah setengah dari iman.” Selain itu, puasa memiliki keistimewaan di antara rukun-rukun Islam lainnya, disebabkan kekhususan penisbatannya kepada Allah Swt, Sebagaimana yang jelaskan dalam sebuah Hadits Qudsi: “Setiap perbuatan baik, memperoleh pahala sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali, kecuali puasa: Ia adalah milik-Ku, dan Aku-lah yang menentukan besar pahalanya.”

Cukup kiranya dalam mengetahui keutamaannya, melalui sabda Nabi Saw berikut: “Demi Allah yang diriku berada di tangan-Nya, bau mulut seorang yang sedang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada harumnya misik. Allah telah berfirman mengenai orang yang berpuasa: “Dia meninggalkan syahwatnya, makannya, dan minumnya demi Aku. Maka, puasa adalah milik-Ku, dan Aku sendiri yang akan memberinya pahala”

Selain itu, bagi seorang yang berpuasa dijanjikan kepadanya kegembiraan perjumpaan dengan Allah Swt sebagai pahala puasanya, sebagaimana dalam sabda Nabi Saw: “Seorang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan: Sekali pada saat berbuka, dan sekali lagi ketika berjumpa dengan Tuhannya, kelak.”

Yang  demikian itu cukup pantas bagi orang yang berpuasa, mengingat bahwa ibadah puasa telah memperoleh kemuliaan tak terhingga dengan dinisbatkannya kepada Dzat Allah Swt. Meskipun dapat dikatakan pula bahwa, pada hakikatnya semua ibadah lainnya juga milik Allah, akan tetapi hal ini sama seperti Allah Swt telah memuliakan Ka‘bah dengan menyebutnya sebagai “rumah-Nya”, walaupun bumi seluruhnya, pada hakikatnya, adalah milik-Nya juga.

Selanjutnya di dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin, al-Ghazali menjelaskan bahwa tingkatan puasa terbagi menjadi tiga macam yaitu: puasanya orang awam, puasanya hamba yang khusus dan hamba yang spesial.

Dijelaskan bahwa, puasa orang awam adalah puasa pada umumnya, yaitu menahan diri dari makan dan minum, serta mencegah dari berhubungan suami-istri dari subuh hingga tiba maghrib. Inilah tingkatan puasa terendah menurut al-Ghazali. Selanjutnya tingkatan puasa hamba yang khusus (khawwash) puasa yang tidak sekedar menahan diri dari memenuhi keinginan perut, serta berhubungan suami-istri, akan tetapi juga menjaga pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan semua anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan maupun kemaksiatan. Dan yang terakhir adalah tingkatan tertinggi puasa, bagi hamba-hamba yang spesial (khawwash al-khawwash). Yaitu tingkatan puasa bagi para hamba yang telah mampu mengendalikan qalbu dari dorongan nafsu dan pikiran duniawi, qalbu dan pikirannya hanya tertuju kepada Allah Swt. Sedangkan pandangannya kepada dunia tidak lebih hanya sekedar tempat beramal shalih, sebagai bekal dan persiapan bagi kehidupan di negeri akhirat yang lebih kekal. Tingkatan puasa tertinggi semacam ini hanya dimiliki para Rasul, Nabi, Shiddiqun, dan Muqarrabin. Mereka Ikhlas mengorbankan seluruh jiwa raga serta harta hanya untuk mencari keridhaan Allah SWt, mereka menghadapkan pikirannya sepenuhnya kepada Allah Swt.

Ali bin Utsman bin Ali al-Ghaznawi al-Jullabi al-Hujwiri (409-410 H dan wafat sekitar tahun 465-469 H bertepatan pada tahun 465 H/1073 M atau 469 H/1077 M)

Dijelaskan oleh al-Hujwiri dalam Kasyful Mahjub (terjemah) pada bab menyingkap tabir puasa. Bahwa ibadah puasa adalah suatu misteri yang tidak berkaitan dengan sesuatu yang lahiriah, suatu misteri yang tidak ada sesuatu pun yang memahami selain Sang Khaliq, serta ganjaran yang Allah anugerah kan tidak terbatas. Dijelaskan oleh al-Hujwiri bahwa puasa pada hakikatnya adalah keberpantangan dan memuat seluruh metode tasawuf (thariqat). Derajat terendah puasa adalah lapar dan merupakan makanan Tuhan di bumi, dan secara universal terpuji dalam pandangan hukum dan akal.

Puasa sebulan penuh wajib bagi setiap muslim yang telah mencapai dewasa. Puasa dimulai pada bulan Ramadhan dan berlanjut hingga tampak bulan Syawal dan untuk setiap hari dibutuhkan niat yang ikhlas dalam penunaian kewajiban tersebut. Keberpantangan melibatkan banyak kewajiban. Seperti menjaga perut tanpa makanan dan minuman, menjaga mata dari pandangan-pandangan birahi, menjaga telinga dari mendengarkan ucapan-ucapan buruk mengenai manusia, menjaga lidah dari kata-kata yang sia-sia atau yang kotor, serta menjaga jasad dari menuruti hal-hal duniawi dan ketidaktaatan kepada yang Sang Khaliq. Orang yang melakukan hal tersebut adalah mereka yang menjaga puasanya. Dijelaskan pula oleh al-Hujwiri bahwa Rasul pernah mengatakan kepada seseorang: “Apabila engkau berpuasa, biarlah telingamu berpuasa, juga matamu, lidahmu, tanganmu dan semua anggota tubuhmu”. Rasul juga bersabda: “Banyak orang yang tidak memperoleh kebaikan dari puasa kecuali lapar dan haus.”

Diceritakan dalam mimpi al-Hujwiri bahwa Rasulullah memberikan nasehat berharga kepadanya: “Tahanlah lidahmu dan indra-indramu.” Menahan indra-indra adalah mujahadat yang sempurna karena semua macam pengetahuan diperoleh melalui pancaindra yaitu: penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan. Dikatakan bahwa segala sesuatu yang diketahui manusia melalui lima pintu tersebut. Kecuali pengetahuan intuitif dan ilham Tuhan. Dan pada masing-masing indra terdapat kesucian dan ketidaksucian. Karena sebagaimana mereka terbuka bagi pengetahuan, akal dan ruh. Juga terbuka bagi imajinasi dan hawa nafsu yang berperan pada ketaatan dan dosa serta kebahagiaan dan penderitaan. Karena itu perlu perlunya puasa untuk memenjarakan pancaindra tersebut agar mereka bisa berpaling dari ketidaktaatan kepada ketaatan.

Al-Hujwiri mengungkapkan bahwa lapar mampu mempertajam kecerdasan dan meningkatkan pikiran dan kesehatan. Rasul bersabda: “Buatlah perut-perutmu lapar dan hati-hatimu haus dan badan-badanmu telanjang, mudah-mudahan hati kalian bisa melihat Allah di dunia ini”. Meskipun rasa lapar adalah penderitaan bagi badan, ia mampu menyinari hati dan membersihkan jiwa serta mengantarkan ruh kepada Tuhan. Sedangkan, Makan sekekenyang-kenyangnya merupakan suatu perbuatan yang hanya pantas dilakukan oleh binatang. Orang yang membina alam rohaninya dengan lapar yang bertujuan dalam upaya mengabdikan diri sepenuhnya kepada Sang Khaliq serta melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan dunia, maka derajatnya tidak akan sama dengan mereka yang membina badannya dengan cara makan sekenyang-kenyangnya serta menghamba pada hawa nafsunya. Ditegaskan oleh al-Hujwiri bahwa generasi terdahulu makan untuk hidup, bukan sebaliknya hidup untuk makan. Dijelaskan olehnya bahwa Nabiyullah Adam-pun jatuh dari surga karena secuil makanan dan akhirnya dibuang jauh dari kedekatan Allah SWT.

Al-Hujwiri menjelaskan kembali bahwa rasa lapar yang terpaksa bukanlah lapar yang sebenarnya, karena orang yang ingin makan setelah Tuhan menetapkan sebaliknya adalah sebenar-benarnya makan. Faedah lapar itu dimiliki oleh orang yang berpantang dari makan, bukan yang dicegah dari makan.  Rasa lapar hanya membantu menjaganya untuk tetap hidup, dan semua rasa lapar selain itu adalah naluri alamiah dan alamiah dan kesia-siaan. Ketahuilah bahwa semua pembuluh darah dalam tubuh ahli makrifat adalah bukti-bukti rahasia Ilahi, dan kalbu-kalbu mereka ditempati oleh penglihatan-penglihatan Yang Maha Tinggi. Kalbu-kalbu mereka adalah pintu-pintu yang terbuka dalam dada mereka dan pintu-pintu inilah berada akal dan hawa nafsu. Akal didukung oleh ruh dan hawa nafsu oleh jiwa rendah. Semakin indra-indra alamiah dimanjakan dengan makanan maka bertambahlah kuat jiwa rendah sehingga semakin kuat hawa nafsu menguasai  anggota-anggota tubuh. Tetapi sebaliknya, bilamana makanan dicegah dari jiwa rendah, maka ia akan lemah dan akal akan mendapatkan kekuatan dan misteri-misteri serta bukti-bukti Ilahi menjadi lebih tampak, hingga bilamana jiwa rendah tidak mampu bekerja dan hawa nafsunya akan lenyap, setiap keinginan akan sia-sia, serta terhapus dalam manifestasi kebenaran.

Al-Hujwiri kembali menegaskan bahwa buah lapar adalah kontemplasi tentang Tuhan (musyahadat), sedangkan perintisnya adalah penundukan hawa nafsu (mujahadat). Kenyang yang dipadu dengan musyahadat, lebih baik dari pada lapar yang berpadu dengan mujahadat. Karena musyahadat adalah medan perang, sementara mujahadat adalah tempat bermain anak-anak.

Demikian beberapa penjelasan singkat dari para ulama ahli makrifat mengenai ibadah puasa yang terangkum dari beberapa kitab turats. Bagi para ulama ahli makrifat, ibadah puasa memiliki kedudukan tersendiri di antara ibadah mahdhah yang lain. selanjutnya, sebagai orang yang awam tentunya kita semua selalu berupaya dengan sekuat tenaga, jasmani dan rohani dalam menjalankan ibadah puasa, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para generasi-generasi salaf. Diawali dengan niat yang benar dan dengan kaifiyat (tata-cara) yang dituntunkan. Semua kita lakukan dengan harapan mendapatkan Ridha dari Allah Swt.

Salah satu upaya yang cara bisa kita lakukan agar ibadah puasa yang kita jalankan dengan maksimal yaitu dengan menganggap puasa yang kita lakukan saat ini adalah puasa yang terakhir kalinya dan esok kita akan dipanggil oleh Sang Khaliq melalui malaikat Izrail. Dengan demikian, sebelum kita menemui Sang Khaliq, maka perlu kiranya menyiapkan bekal yang sebanyak-banyaknya. Semoga kita di saat benar-benar dijemput oleh malaikat Izrail untuk menghadap Sang Khaliq, berada dalam keadaan muslim, mukmin dan tergolong muttaqin.

Wallahu a’lam bishawab.