Mencintai al-Quran

Mencintai al-Qur’an merupakan bukti dari cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Implementasinya adalah membaca, memahami, dan mengamalkan al-Qur’an. Al-Qur’an pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari sehingga tidak terlepas dari hidayah dan rahmat Allah Swt.

Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi, dalam al-Tibyan fi al-Adabi Hamalati al-Qur’an, Allah Swt. pasti akan melipatgandakan pahala bagi orang-orang yang membaca Al-Qur’an dan pada waktu yang sama memerintahkan kita memperhatikan, mengamalkannya, mematuhi adab serta mencurahkan segenap tenaga untuk memuliakannya.

Mencintai dan mengikuti al-Qur’an berarti mengikuti petunjuk Allah Swt. sehingga dengan mengikutinya akan berada di jalan yang benar dan mendapatkan kebaikan serta petunjuk dari Allah Swt. Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang berisi perintah dan larangan yang harus ditaati dengan ikhlas dan menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa–yaitu mereka yang melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Karena itulah disebutkan oleh al-Qur’an bahwa kitab suci ini adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa:

ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَۛ فِيْهِ  هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa” (Al-Baqarah [2]: 2)

Bagaimana mencintai al-Qur’an? Dimulai dengan membaca al-Qur’an. Kita di pondok pesantren ini bersyukur sedikit demi sedikit kita belajar, bukan hanya membaca al-Qur’an, tapi juga mempelajari tafsir al-Qur’an dan memahami maknanya. Inilah mengapa ketika membaca al-Qur’an kita menangis, karena kita mengetahui maknanya.

Jadi, mencintai al-Qur’an bukan hanya dengan membaca, tetapi juga memahaminya sehingga kandungan ayat-ayatnya meresap ke dalam jiwa. Lalu kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari yang menjelma dalam setiap ucapan dan perbuatan. Jika demikian maka dapat diharapkan al-Qur’an akan menjadi syafaat di hari akhir nanti, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

   اقْرَؤُا القُرْآنَ فإِنَّهُ يَأْتي يَوْم القيامةِ شَفِيعاً لأصْحابِهِ

“Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan menjadi syafaat bagi para pembacanya di hari kiamat.” (HR. Muslim).

Karena itulah maka kita dianjurkan untuk membaca al-Qur’an dengan baik dan tartil,  agar nilai pahalanya makin besar dan makna al-Qur’an dapat meresap ke dalam hati. Tidak tergesa-gesa atau terburu-buru yang akan merusak bacaan dan maknanya. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt.:

وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ

“Bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan” (Al-Muzzammil [73]:4).

Beruntunglah kita di pondok pesantren ini guru-guru mengajar dan mendampingi santri-santri membaca al-Qur’an, karena disebutkan oleh Rasulullah Saw. sebagai golongan manusia terbaik:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ اْلقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

 “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Tirmidzi).

Begitu besarnya keutamaan al-Qur’an sampai-sampai kita pun dianjurkan untuk mendengar dan menyimak pembacaan al-Qur’an. Syekh al-‘Izz bin Abdus Salam dalam Syajaratu al-Ma’arif mengatakan, mendengarkan al-Qur’an merupakan adab, yang buahnya adalah memahami maknanya dan mengamalkan tuntutannya.

Jika al-Qur’an telah menyentuh relung hati yang terdalam, kita pun akan menangis. Hati serasa bergetar, tersentuh, terharu, dan seterusnya. Allah Swt. berfirman:

وَاِذَا سَمِعُوْا مَآ اُنْزِلَ اِلَى الرَّسُوْلِ تَرٰٓى اَعْيُنَهُمْ تَفِيْضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوْا مِنَ الْحَقِّۚ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اٰمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشّٰهِدِيْنَ

“Apabila mereka mendengar sesuatu (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul (Nabi Muhammad), engkau melihat mata mereka bercucuran air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri). Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah beriman. Maka, catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan kenabian Muhammad)” (Al-Mā’idah [5]:83).

Kata Syekh al-‘Izz bin Abdus Salam, sebab-sebab yang membuat tangis muncul adalah rasa takut, sedih, cinta, sungkan, gembira dan rindu yang meluap dan lainnya sesuai dengan kondisi orang yang menangis.

Jadi, tangisan kita ketika membaca al-Qur’an merupakan efek sentuhan hati karena cinta atau takut kepada Allah Swt. Hal ini sebagaimana disebutkan al-Qur’an:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah mereka yang jika disebut nama Allah, gemetar hatinya dan jika dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal” (Al-Anfāl [8]:2)

Bersyukur kita di pondok pesantren ini masih menjaga adab dan nilai-nilai al-Qur’an dengan membaca, memahami, dan mengamalkannya, karena di luar banyak generasi muda yang larut dengan media digitalnya. Maka dari itulah kita jaga kebiasaan baik di pondok pesantren ini. Demikian pula dengan orang tua di rumah, ikut menjaga kebiasaan baik selama di pondok pesantren. Karena pendidikan itu holistik, tidak bisa setelah dari pesantren, santri dilepaskan begitu saja tanpa pengawasan orang tua.

Kebiasaan itu awalnya memang harus dipaksa, sampai kemudian menjadi terbiasa. Awalnya membaca al-Qur’an karena diperintah, tapi kemudian seiring berjalannya proses pendidikan yang menanamkan nilai-nilai, maka akan tumbuh rasa cinta. Prosesnya mulai dari membaca, memahami, dan mengamalkan al-Qur’an.

Semoga kita menjadi generasi yang mencintai al-Qur’an sehingga Allah Swt. menurunkan rahmat-Nya kepada kita semua dan mengangkat kemuliaan umat atau generasi ini dengan al-Qur’an. Amin.