Menjaga Akhlak Di Manapun Berada

Dalam suatu kesempatan K.H. Ahmad Syahiduddin (المغفورله) pernah mengatakan, bahwa pesantren itu bukan sekolah, meskipun di dalam pesantren ada sekolah. Di pesantren itu diajarkan segala aspek, diajarkan secara detail tentang kehidupan yang bersumber dari al-Quran dan hadits. Tidak hanya ilmu pengetahuan tetapi bagaimana implementasinya dalam keseharian. Tidak hanya dipelajari tetapi diamalkan. Antara ilmu dan amal menjadi satu kesatuan.

Di pesantren ada sekolah, tetapi pesantren bukan sekolah. Karena konotasi sekolah di sini adalah sekadar belajar ilmu pengetahuan, bukan bagaimana kita membiasakan diri untuk mengamalkan ilmu yang dipelajari. Tetapi kalau pendidikan pesantren itu tinggal di pesantren dan tidak pulang-pergi ke rumah, maka apa yang di pelajari di kelas langsung diamalkan dalam kehidupan sehari-hari selama 24 jam. Karena itu penanaman nilai-nilai di pondok pesantren penting dan utama, karena pesantren bukan sekolah. Memang di pelajari ilmu pengetahuan umum, dan ilmu agama diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya ilmu-ilmu yang terkandung dalam kitab-kitab salaf tetapi juga ilmu dunia, ilmu pengetahuan alam, sosial, dsb. Ilmu agama menyelimuti kedua ilmu itu (alam dan sosial) sehingga sesuai dengan doa kita:

وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ

 “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari azab neraka.” (Al-Baqarah [2]:201)

Nah, itu esensi dari belajar di pondok pesantren. Pondok pesantren modern memang ada sekolah. Namun di sini tidak hanya batinnya yang dididik, tetapi juga pikirannya dididik. Batin dan pikiran bersatu padu lalu kemudian menjadi pengamalan. Karena itu jangan salah kalau yang nyantri cuma mengisi otak, itu sama saja tidak nyantri. Apa bedanya dengan sekolah di luar? Karena yang diisi hanya otak, tetapi batinnya tidak diisi.

Guru-guru di pesantren pun sejalan dengan hal ini, bahwa dia mengajar di pesantren. Bukan mengajar di sekolah. Masuk ke pesantren, mengajar, dan mendidik sesuai dengan nilai-nilai pesantren, bukan nilai-nilai sekolah.

Jadi, kita harus mendidik berdasarkan nilai-nilai kepesantrenan. Di situ ada ilmu, adab, akhlak, dan lainnya. Sekecil apa pun kesalahan anak tidak boleh dibiarkan. Ini yang harus kita pahami nilai-nilai keseharian dalam kehidupan pesantren. Nilai-nilai ini harus tetap dijaga dan diamalkan di mana pun berada.

Guru sebagai pendidik harus memiliki kesiapan yang memadai, baik ilmu, adab, dan akhlaknya. Kalau seorang pendidik belum selesai ruhaninya misalnya, maka harus terus berupaya secara maksimal. Itulah kenapa kalau di pesantren salaf berhasil mendidik nilai ruhaninya karena tidak terlalu beragam latar belakangnya—berakar pada satu tradisi yang sama. Tapi kalau pesantren modern, pengajarnya juga ada yang datang dari luar untuk mengabdi di pesantren.

Terhadap anak-anak kita, harus ditanamkan bahwa mereka belajar itu bukan tugas atau perintah orang tua, tapi perintah Allah. Hal ini telah jelas dalam surat al-Mujadalah ayat 11:

 يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ

Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. (Al-Mujādalah [58]:11)

Kalau hanya tugas maka dia hanya dapat ilmu di dunia tetapi tidak dapat pahala di akhirat. Dan dia hanya akan mendapatkan ilmu tapi belum tentu diangkat derajatnya. Dia mendapatkan ilmu, namun tidak mendapatkan manfaatnya, selain mendapatkan ijazah. Jika sudah begitu, maka dalam kehidupan masyarakat dia tidak akan memiliki peranan. Fenomena banyaknya sarjana yang menganggur, antara lain karena sebab itu; niat menuntut ilmu demi ijazah saja.

Nilai pendidikan Ruhani yang paling mendasar terdapat dalam Panca Jiwa Pondok, yaitu keikhlasan. Apa pun yang dilakukan semata-mata karena Allah. Metodenya pun berbeda dengan apa yang disebut transfer of knowledge, tapi transfer of values, yaitu keteladanan. Metode yang paling mujarab dalam menanamkan nilai-nilai adalah keteladanan, menjadi contoh dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya bicara.

Saya dididik oleh KH. Ahmad Syahiduddin (alm.) dan KH. Ahmad Rifa’i Arief (alm.). Semenjak kecil saya sering sama beliau, sering memperhatikan tingkah laku beliau. Nah, hal itu adalah pendidikan. Begitu pula bagi santri, melihat kita sudah pendidikan. Misalnya kita mengambil sampah dan membuang pada tempatnya, atau misalkan kita berbicara kepada teman, dengan sesama asatiz, itu dilihat dan ditiru. Bagaimana kita menyapa, memberi salam terlebih dahulu kepada orang lain, itu dilihat dan ditiru.

Jadi, guru di pesantren itu harus bisa menjadikan dirinya sebagai teladan sebelum mengajarkan kepada anak didiknya. Karena dia tidak hanya sebagai guru di dalam kelas, tapi dalam seluruh aktivitasnya, di mana pun berada. Bahkan ketika menyapu di rumahnya, sosok dia adalah seorang guru. Karena dia dilihat oleh anak didiknya.  Kemudian, dalam mendidik jangan pernah bosan untuk mengingatkan, seperti kata Pak Kiai, walaupun membicarakan hal yang sama. Boleh jadi masih ada anak yang belum paham.

Pendidikan di pondok pesantren ini sangat mementingkan kualitas. Untuk mencapai kualitas yang baik, membutuhkan proses yang panjang, bahkan secara terus-menerus. Saya teringat dengan sebuah pernyataan quality is a continuous journey. Quality is not a destination.

Karena itu dalam proses pendidikan, kita jangan merasa puas atau merasa gagal dalam mendidik, karena mendidik manusia tidak seperti membuat bangunan. Mendidik manusia adalah proses yang berkesinambungan, tidak bisa sekali jadi. Kita wajib berusaha, tidak boleh putus asa dalam mendidik anak mencapai target maksimum.

Jadi, pendidikan itu tidak hanya diajarkan tetapi juga diamalkan. Dan itu membutuhkan contoh dari pendidik. Hasilnya mungkin berbeda-beda, tapi yang penting kita berusaha. Kita menggaungkan untuk kembali kepada khittah untuk itu, kembali kepada al-Qur’an, sunnah, dan tradisi ulama salaf.

Menjaga Sisi Batiniah

Jika guru di sekolah umum sudah memadai dengan latar belakang pendidikan formalnya sebagai syarat untuk mengajar, maka guru di pesantren tentu lebih dari itu kualitas yang harus dimilikinya. Karena dia bukan hanya mengajar, tetapi memberikan teladan moral dan spiritual. Nah, untuk mencapai hal tersebut adalah dengan terus memberikan ilmu tentang batiniah. Artinya mengaji tetap berjalan, mengikuti kajian-kajian, diskusi, dan lainnya. Maka betul slogan yang tertulis di ruang guru itu, “Guru berhenti belajar, berhenti mengajar.” Belajar di sini tidak hanya buka buku, tapi juga batiniahnya. Menghadapi masalah, lalu introspeksi diri, melakukan pendekatan spiritual dengan salat, doa, dan zikir, nanti permasalahan akan ketemu jawabannya.

Pendidikan ruhani berakar dari al-Qur’an, Sunnah dan kitab salaf salih (kitab kuning).  Dalam pesantren modern hal ini terintegrasi dengan materi pendidikan umum. Agar kedua hal ini terintegrasi dengan baik—sehingga antara aspek ruhani dengan intelektualitas bisa tercapai secara seimbang—maka dibutuhkan peran kreativitas guru. Setiap pelajaran harus ada values (nilai-nilai) yang tersampaikan. Apa itu? Kita kan punya Panca Jiwa dan Moto Pondok. Banyak caranya. Masalahnya kita sering bingung mencari korelasinya.

Pernah suatu ketika K.H. Ahmad Syahiduddin berbicara kepada sang kakak, K.H. Ahmad Rifai Arief, “Kak, kalau gedung udah bagus semua, gedung ngga pakai kayu, lantai ngga tanah lagi, ngga becek lagi, enak ya kak pesantren ini.” Kiai Rifai diam tidak menjawab. Dijawabnya dalam satu pertemuan di hadapan para santri. “Kalau pondok ini sudah tidak bocor lagi, dindingnya sudah beton semua, lantai sudah tidak becek, apakah santri masih bisa ikhlas? Apakah santri bisa sederhana?”

Ini menunjukkan esensi dari pendidikan pesantren yang menjadi perhatian utama Kiai Rifai. Sisi batiniah itulah yang begitu beliau perhatikan sehingga beliau mengkhawatirkan terjadinya kemunduran ketika sisi materialnya mengalami kemajuan. Pesantren tidak menolak kemajuan, tapi sisi batiniah harus selalu dikedepankan. Wajar kita ingin naik, dalam rangka fastabiqul khairat, bersaing dengan sekolah-sekolah non-muslim yang sudah mewah. Apakah tidak terhina kita orang Muslim yang memerdekakan bangsa kita sendiri di Indonesia ini, tapi sekolah Islam dinilai buruk dan kotor?

Sewaktu Dinas Kesehatan datang ke sini—ketika pandemik Covid-19—mereka terkejut karena membayangkan pesantren sebagaimana persepsi negatif itu. Ketika di sini mereka antusias, percaya dengan kondisi kebersihan dan kesehatan di sini. Jadi, konotasinya pesantren itu kumuh, jelek, kecil dan tidak profesional.  Daar el-Qolam, khususnya Daar el-Qolam 3, mengubah mindset masyarakat, mindset buruk terhadap pesantren. Bahwa pesantren itu pendidikan yang berkualitas, tapi tidak mahal. Karena pendidikan berkualitas tidak mesti mahal. Karena pesantren tidak mencari untung. Maka tugas kita guru-guru, ketika gedungnya sudah bagus semua, tidak becek lagi, perkataan dari Kiai Rifai  harus direnungkan, “Apakah kita masih bisa ikhlas dan sederhana?