Prof. Fazlur Rahman: Di Titik Perjumpaan Ilmu dan Moral
Fazlur Rahman Guru Besar Pemikiran Islam di University of Chicago. Foto: photoarchive.lib.uchicago.edu.


Perpaduan yang seimbang antara ilmu dan moral merupakan fondasi yang tak tergantikan untuk mencapai kemajuan dan kemaslahatan umat. Ilmu, dengan segala potensi dan inovasinya, mampu mengungkapkan kebenaran dan menciptakan kemudahan bagi peradaban. Namun, tanpa bimbingan moral, ilmu berisiko disalahgunakan dan berubah menjadi alat yang merugikan, bahkan merusak—seperti perang dengan senjata pemusnah massal, pengembangbiakan virus mematikan, eksploitasi alam yang tak terkendali, dan sebagainya.

Lentera Kemanusiaan
Di sinilah peran integritas moral sangat penting, sebagaimana diungkap oleh Fazlur Rahman, Guru Besar Pemikiran Islam University of Chicago, kelahiran Punjab pada 1919 dan wafat pada 26 Juli 1988 di Chicago. Menurut Rahman, ilmu (‘ilm) bersifat netral yang dapat digunakan tanpa batasan, sehingga harus dipandu oleh prinsip moral yang kuat. Hal ini diungkapkan dalam artikelnya Islamization of Knowledge: A Response. Sebenarnya artikel ini membahas tentang pendapat Fazlur Rahman terkait Islamisasi ilmu, namun dibahas pula tentang makna ilmu dan pentingnya prinsip moral. Baginya, ilmu pada dasarnya baik, tergantung moral penggunanya.

Manusia diberi aql (akal, nalar) oleh Allah sebagai anugerah yang tak terhingga, yang memungkinkannya menemukan dan menggali pengetahuan terus-menerus. Dengan kemampuan ini, manusia dapat mengembangkan berbagai macam ilmu. Karena aql yang telah dianugerahkan kepada manusia, kata Rahman, manusia dapat menemukan pengetahuan dan terus menggali pengetahuan, sebagaimana yang telah ia lakukan sepanjang zaman. Dan apa pun yang membuka sesuatu yang baru bagi akal disebut sebagai ‘ilm.

Dalam pandangan Rahman, ilmu pada dirinya sendiri selalu baik—masalahnya terletak pada penyalahgunaan atau penyimpangan dalam penggunaannya. Seperti yang ia tegaskan, “Bukan ‘ilm-nya yang buruk, melainkan penyalahgunaan atau penggunaan yang tidak tepat dari pengetahuan tersebutlah yang buruk.”

Jadi, menurut Fazlur Rahman, ‘ilm pada dirinya sendiri adalah baik. Penyalahgunaan atau penyimpangannya lah yang membuatnya menjadi buruk. Namun, keputusan untuk menyalahgunakannya tidak bergantung pada pengetahuan itu sendiri, melainkan pada prioritas moral. Tentu saja, keputusan moral menghasilkan prioritas. Jika seseorang memiliki kekuatan atom, ia seharusnya menggunakannya untuk menghasilkan listrik atau isotop demi kebaikan umat manusia. Namun, jika ia malah membuat bom atom, itu adalah keputusannya—untuk menyalahgunakan pengetahuan tersebut.

Ini berarti prinsip moral memiliki peran yang sangat menentukan terhadap pemanfaatan ilmu. Prinsip moral menjadi fondasi yang menentukan bagaimana ilmu digunakan dan untuk tujuan apa. Tanpa landasan moral yang kokoh, ilmu bisa disalahgunakan, menjadi senjata dalam konflik, alat penindasan yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, hingga eksploitasi alam secara besar-besaran. Sebaliknya, ketika pemanfaatan ilmu didasarkan pada prinsip moral yang kuat, ia dapat mengarahkan umat manusia menuju kemajuan yang berkeadilan dan bermartabat. Prinsip-prinsip inilah yang mengendalikan bagaimana ilmu disalurkan, apakah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama atau sebaliknya.

Anak Kecil Menggunakan Pedang

Karena itu, selain dianugerahi kemampuan ilmu, menurut Rahman, manusia juga dibekali oleh tanggung jawab. Hal ini ia ilustrasikan dengan sangat tajam: “Jika kita memberikan pedang kepada seorang anak, ia mungkin akan melukai dirinya sendiri kecuali ia memiliki rasa tanggung jawab yang menyertai kepemilikan alat tersebut.” Tanpa tanggung jawab moral yang memadai, pengetahuan yang besar hanya menjadi alat yang rentan disalahgunakan, berpotensi membawa bencana bagi manusia itu sendiri.

Dalam pandangan Rahman, al-Qur’an secara eksplisit menyatakan bahwa manusia, meskipun memiliki kapasitas kognitif yang besar, sering kali gagal dalam hal tanggung jawab moral. “Al-Qur’an berulang kali menyatakan bahwa manusia belum mengembangkan rasa tanggung jawab yang sepenuhnya memadai. Kemampuan kognitifnya besar, tetapi kemampuan untuk merasakan tanggung jawab moral sering kali gagal,” kata penulis buku Major Themes of the Qur’an ini.

Al-Qur’an, dalam Surat Al-Ahzab, melukiskan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang berani memikul amanat yang ditolak oleh langit, bumi, dan gunung-gunung karena beratnya tanggung jawab tersebut. Firman Allah: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir terhadapnya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh” (Al-Ahzab: 72).

Ayat ini, bagi Fazlur Rahman, menunjukkan betapa meskipun manusia memiliki ‘ilm, namun ia sering kali gagal dalam menghadapi ujian tanggung jawab. Dalam sejarah, manusia telah berkali-kali gagal memikul amanat ini ketika berhadapan dengan keputusan-keputusan moral yang menentukan arah ilmu tersebut. Tanggung jawab moral inilah yang menurut Rahman sering diabaikan, yang kemudian mengarah pada penyalahgunaan ilmu.

“Kita melihat bahwa meskipun ‘ilm ada, rasa tanggung jawab sering kali gagal. Kebanyakan pengalaman sejarah, ketika menghadapi ujian yang krusial, manusia tidak mampu menunaikan amanat ini. Kemudian, dalam surah sebelumnya dalam al-Qur’an, dikatakan: Sekali-kali tidak! Manusia belum memenuhi apa yang telah Allah perintahkan kepadanya sejak awal (Qs. Abasa: 23),” catat penulis buku Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition ini.

Peringatan ini menunjukkan bahwa kendati manusia terus menggali ilmu, ia masih harus membuktikan dirinya dalam hal tanggung jawab moral. Dalam konteks ini, menurut Rahman, moralitas adalah kebutuhan mendesak yang harus diperhatikan oleh setiap pencari ilmu. Tanpa moral, ilmu hanya akan menjadi alat yang rawan disalahgunakan dan dapat membawa kehancuran ketimbang kemaslahatan. “Karena adanya ketidaksesuaian antara kekuatan pengetahuan yang dimiliki manusia dan kegagalannya untuk memenuhi tanggung jawab moral yang muncul dari pengetahuan itu, masalah ini perlu ditangani,” tegasnya.

Sebagai contoh yang gamblang, Rahman menyebutkan kekuatan atom. “Jika seseorang memiliki kekuatan atom, ia seharusnya menggunakannya untuk menghasilkan listrik atau isotop demi kebaikan umat manusia. Namun, jika ia malah membuat bom atom, itu adalah keputusannya—untuk menyalahgunakan pengetahuan tersebut,” ungkap penulis buku Islamic Methodology in History ini.

Dalam hal ini, Rahman menegaskan bahwa keputusan untuk menyalahgunakan ilmu bukan terletak pada ilmu itu sendiri, melainkan pada keputusan moral manusia. Oleh karena itu, ilmu tidak cukup hanya dengan pengetahuan; ilmu butuh bimbingan moral agar tidak membawa kehancuran.

Ilmu dan Pendidikan Moral
Pemikiran Fazlur Rahman menunjukkan bahwa ilmu dan moral merupakan dua elemen yang tidak dapat dipisahkan dan saling membutuhkan. Dalam pandangannya, ilmu bukanlah nilai yang berdiri sendiri dan tidak netral dalam penggunaannya. Ilmu memberikan manusia alat dan instrumen untuk mengungkap kebenaran dan memberikan kemudahan, tetapi moralitas yang menentukan apakah ilmu tersebut akan digunakan untuk kebaikan atau malah untuk keburukan. Prinsip moral ini menjadi penuntun, memastikan agar ilmu membawa manfaat dan menghindari kerusakan.

Pendidikan menjadi krusial—tidak hanya untuk membekali pengetahuan, tetapi juga untuk menanamkan nilai-nilai moral yang mampu mengarahkan ilmu tersebut ke arah yang konstruktif dan maslahat. Pendidikan yang efektif harus mampu memadukan ilmu pengetahuan dan moralitas, sehingga lahir generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak dalam bertindak, sesuai dengan prinsip keseimbangan dan tanggung jawab.

Dalam konteks pendidikan Islam, penting untuk menciptakan keseimbangan antara pendidikan ilmu dan pembinaan moral. Pendidikan Islam bukan hanya bertujuan untuk menumbuhkan kecakapan intelektual, tetapi juga membentuk jiwa yang kuat dalam nilai-nilai moral. Hanya dengan kedua elemen ini—ilmu yang memadai dan moral yang kukuh—manusia dapat menjalankan amanatnya di bumi dengan sebaik-baiknya. Inilah hakikat yang ingin disampaikan Fazlur Rahman: bahwa ilmu sejatinya harus dilandasi oleh moral yang kokoh. Hanya melalui kesadaran moral, ilmu dapat membawa cahaya bagi umat manusia; tanpa moral, ilmu menjadi bayang-bayang menyesatkan yang menggiring pada jurang kehancuran.

Sumber
Fazlur Rahman. 1988. Islamization of Knowledge: A Response. The American Journal of Islamic Social Science Vol. 5, No. 1.

Skip to content