Amaliyah Tadris merupakan kegiatan praktik mengajar bagi santri kelas akhir dan menjadi salah satu syarat kelulusan. Kegiatan ini merepresentasikan tingkat kemampuan dan perkembangan santri dari sisi keilmuan, akhlak, leadership, komunikasi, dan lain-lain. Hal ini juga menjadi bekal pengalaman berharga bagi santri yang memperkuat pendidikan karakter mereka.
“Anak-anak santri di sini pernah menguji, mengawas, dan mengajar. Meskipun tujuannya bukan untuk mengarahkan mereka menjadi guru, namun mereka dibekali dengan kemampuan-kemampuam tersebut. Ini telah menjadi tradisi yang tetap dijaga sejak awal Madrasatul Mu’allimin al-Islamiyah,” kata Ustaz Suganda, S.Pd.I selaku Kabag Pengajaran Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza saat diwawancara pada Rabu (24/1/2024).
Ustaz Suganda mengungkapkan bahwa dalam kegiatan Amaliyah Tadris banyak pengalaman yang berharga. Santri dilatih mental, public speaking, bagaimana menyampaikan materi dengan bahasa Arab atau Inggris. Mereka berjuang dari mulai membaca, mencari referensi, menulis, membuat i’dad (lesson plan), dan berusaha mendapat arahan guru pembimbing.
“Amaliyah Tadris butuh perjuangan. Itu berlaku untuk masing-masing individu, bukan kelompok,” ujar Ustaz Suganda.
“Penilaian untuk mereka dilakukan sejak awal, mulai dari pembuatan i’dad, bagaimana kesungguhannya, bagaimana mereka berkonsultasi dengan guru pembimbing, proses revisi. Kemudian ketika pelaksanaanya, bagaimana cara penyampaiannya, materi dan metodenya, sikap dan penampilannya,” jelas ustaz Suganda.
Dalam pelaksanaannya, santri akan dinilai oleh teman kelompok atau seangkatannya. Kemudian dinilai oleh Musyrif ‘Am. Menurut Ustaz Suganda, santri yang mendapatkan nilai baik, nanti akan dipilih menjadi pengajar idhafi. Mereka mengajar di kelas pada jam formal sebagaimana guru, namun tetap berada dalam pendampingan guru.
Dengan kegiatan Amaliyah Tadris, Ustaz Suganda berharap para santri mendapatkan pelajaran, bahwa dalam melakukan segala sesuatu harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Persiapan harus dilakukan sedini mungkin, bukan saat kelas akhir, khususnya penguasaan bahasa. Sebab dalam Amaliyah Tadris bahasa yang digunakan adalah Arab atau Inggris. Karena ada penekanan terhadap aspek bahasa, maka dikenal sebutan, “Bahasa adalah mahkota pondok.”
Kemudian, lanjut Ustaz Suganda, Amaliyah Tadris diharapkan memperkuat karakter kepemimpinan (leadership). Dalam kepengurusan, santri terbiasa berbicara di hadapan anggota. Lalu ketika praktik mengajar sudah tidak grogi lagi karena telah terbiasa sebelumnya.
Terakhir, kata Ustaz Suganda, ini adalah pengalaman berharga, meskipun dia tidak bercita-cita untuk mengajar atau menjadi guru. Namun di sinilah mental santri teruji, siap berkiprah di masyarakat.
“Karena itu pengalaman ini berharga,” pungkasnya.