Makna Ikhlas Menurut Para Ulama

Mislakhudin Hanafi, S.Pd

Ikhlas adalah kata yang sering terdengar dalam kehidupan sehari-hari, sering terdengar di ceramah-ceramah para da’i, juga pengajian-pengajian para asatidz atau Kiai. Kata ini singkat dalam pelafalannya, namun penuh makna dan penuh misteri. Lantas apa sebenarnya makna kata tersebut, nilai apa yang bisa dipetik dari kata tersebut, sudahkah kita menjalankannya, mempraktikkannya atau mengamalkannya? Jika telah mengamalkannya, apa yang dirasakan?

Kata ikhlas biasanya sering kita gunakan untuk menjelaskan tindakan-tindakan yang tidak berorientasi materiil, tanpa pamrih dan tulus. Ternyata ikhlas bukan sembarang “kata”, makna ikhlas bagaikan sebuah mantra yang mampu memberikan keajaiban dalam kehidupan manusia. Karena manusia-manusia yang ikhlas, memiliki keistimewaan-keistimewaan tersendiri dalam hidupnya.

“Ikhlas” secara etimologi berasal dari bahasa Arab. Isim masdar dari “akhlasha—yukhlishu—ikhlashun” yang artinya murni, tidak tercampur, bersih, dan jernih dari sesuatu yang sebelumnya sudah pernah terkontaminasi. Awalnya mungkin kita melakukan sesuatu itu berangkat dari niat yang masih terkontaminasi dengan berbagai motif, namun pada akhirnya motif-motif itu hilang dan yang tersisa hanyalah kemurnian niat kepada Yang Maha Kasih.

Saat masih bersekolah atau ketika mengikuti pengajian di surau-surau, mushalla-mushalla atau di masjid para dai, kiai, ulama selalu mengingatkan kepada kita umat yang beriman kepada Allah dan mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. bahwa segala sesuatu yang kita lalukan bergantung kepada niatnya.

Dari Umar ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadis).

Hadis di atas sangat dikenal oleh mayoritas umat Islam karena sering kali disampaikan oleh para ulama dan para dai. Mengutip keterangan yang termaktub dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, karya Imam Nawawi bahwasanya hadis tersebut memiliki nilai tersendiri. Para ulama bersepakat bahwa hadis di atas merupakan hadis sahih dan salah satu prinsip keimanan. Merupakan perangkat awal pilar-pilar sekaligus penegas rukun-rukun. Dijelaskan pula bahwa menurut Imam Syafi’i hadis di atas adalah sepertiganya ilmu. Sehingga banyak ulama-ulama yang menyatakan bahwa ia merupakan salah satu hadis yang menjadi dasar Islam dibangun.

Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa para ulama salaf gemar menempatkan hadis tersebut di awal atau pembukaan kitab-kitab mereka. Hal tersebut dilakukan sebagai peringatan betapa urgennya dalam menjaga niat sekaligus berharap ridha Allah Swt. Dalam segenap perbuatan yang dilakukan, baik yang tampak secara zahir maupun secara batin.
Masih berkenaan dengan niat, mengutip apa yang dijelaskan dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Thariqatu al-Ta’lim, karya Syekh al-Zarnuji, bahwasanya Rasulullah bersabda : “Banyak perbuatan atau amal yang tampak dalam bentuk amalan keduniaan, tapi karena didasari niat yang baik (ikhlas) maka menjadi atau tergolong amal-amal akhirat. Sebaliknya banyak amalan yang sepertinya tergolong amal akhirat, kemudian menjadi amal dunia, karena didasari niat yang buruk (tidak ikhlas)”.

Untuk menambah pemahaman kita tentang makna Ikhlas, berikut penjelasan makna Ikhlas dari para ulama dan orang-orang bijak (al-‘ârifin) yang termaktub dalam beberapa kitab.

  1. Dalam kitab Risalatul Qusyairiyah Fi ’ilmi al-Tashawwuf (Terjemahan), karya Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi (376 H – 465 H)
    Dalam kitabnya al-Qusyairi menyebutkan pendapatnya dan mengutip beberapa pendapat ulama salaf mengenai Ikhlas.

Di dalam suatu riwayat diungkapkan bahwa Rasulullah Saw. saat ditanya berkenaan dengan Ikhlas beliau menjawab:

سألت جبريل عليه السلا م عن الاخلإص , ما هو؟ , قال سألت رب العزة عن الإخلاص ، ما هو؟، قال : سر من سري او دعته قلب من احببته من عبادى.

Saya bertanya Jibril A.S tentang ikhlas, apa itu? kemudian dia bertanya, “saya bertanya Tuhan tentang ikhlas, apa itu? dan Tuhan pun menjawab: Yaitu, rahasia dari rahasia-Ku yang Aku titipkan pada hati orang yang Aku cintai di antara hamba-hamba-Ku”. (H.R Muslim)

  • Imam Qusyairi berkata: “Ikhlas adalah penunggalan al-Haqq dalam mengarahkan semua orientasi ketaatan dia dengan ketaatan dimaksudkan untuk bertaqarrub kepada Allah semata. Tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat tanpa ditunjukkan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau makna-makna yang lain. selain pendekatan diri kepada Allah Swt” .
  • Bisa juga diartikan Ikhlas adalah penjernihan perbuatan dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi.

Syekh Abu Ali ad-Daqaq berkata : Ikhlas adalah keterpeliharaan diri dari keikut sertaan semu makhluk. shidiq (kebenaran) adalah kebersihan dari penampakan-penampakan diri. beliau mengatakan bahwa orang Ikhlas tidak memiliki riya’ dan orang yang shidiq atau benar tidak akan kagum pada dirinya sendiri.

  • Dzun Nun al-Mishri berkata: “Ikhlas tidak akan sempurna kecuali dengan kebenaran dan sabar di dalam Ikhlas. shiddiq tidak akan sempurna kecuali dengan Ikhlas dan terus menerus di dalam Ikhlas.”
  • Al-Junaid mengatakan: ”Ikhlas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya tidak ada malaikat yang mengetahui dan mencatatnya. Tidak ada setan yang mengetahui dan merusaknya. Dan tidak ada hawa nafsu yang mengetahui lalu mencondongkannya.”
  • Siri as-Saqathi mengatakan: “Barang siapa menghiasi dirinya untuk manusia dengan sesuatu yang tidak ada pada manusia maka dia gugur dari pandangan Allah.”
  1. Dalam kitab Syajarah Ma’ârif Wal Ahwâl Wa Shâlihil Aqwâl Wal-A’mal (Terjemahan), Karya Syekh Izzudin bin Abdussalam (577 H- 660 H)

Mengenai ikhlas, di dalam kitabnya dijelaskan bahwa ikhlas adalah di saat engkau berbuat taat hanya untuk Allah yang disertai dengan rasa takut, harap, cinta, malu atau mengagungkan dan gentar sesuai dengan kadar kedudukan umat manusia.

  1. Dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin (terjemahan), Karya Imam al-Ghazali (450 H-505 H)
    Di dalam kitab ihya, pada bagian ketiga puluh tujuh tentang niat ikhlas dan kebenaran disebutkan sebuah ungkapan

الناس كلهم هلكى إلا العالمون، والعالمون كلهم هلكى إلا العاملون، والعاملون كلهم هلكى إلا المخلصون، والمخلصون على خطر عظيم.

Manusia semua akan binasa kecuali orang yang berilmu (‘alim), orang-orang yang berilmu semua akan binasa kecuali orang yang mengamalkan, dan semua orang-orang yang mengamalkan ilmunya semua akan binasa kecuali orang-orang yang berbuat dengan Ikhlas. Dan semua orang-orang yang Ikhlas berada dalam bahaya yang besar.”

Imam Ghazali di dalam kitabnya mengajak kita untuk melakukan atas apa yang terjadi dalam kehidupan manusia, khususnya di saat melakukan sesuatu. betapa penting nilai keikhlasan di dalam suatu amal perbuatan.

Di dalam pembahasan bab tersebut juga disebutkan beberapa definisi ikhlas menurut beberapa ulama, berikut penjelasan beberapa ulama :

  • Imam as-Susi berkata : “Ikhlas adalah tidak melihat Ikhlas. Sesungguhnya orang yang menyaksikan dalam keikhlasannya akan ikhlas, maka keikhlasannya memerlukan pada keikhlasan yang lain.”
  • Al-Muhasibi berkata : ”Ikhlas adalah mengeluarkan makhluk dari pada hubungan dengan Allah Swt.”
  • Sahl al-Tustari berkata : “ikhlas adalah gerakan-gerakannya karena Allah Swt.”
  • Ibrahim bin Adham berkata : “kebenaran niat beserta Allah Swt.”

Setelah imam al-Ghazali menjelaskan perihal pengertian Ikhlas menurut para ulama sebelumnya, kemudian ia menjelaskan bahwa: “kamu tidak menyembuhkan hawa nafsumu dari dirimu dan kamu tidak menyembuhkan kecuali Rabb-mu, dan kamu beristiqomah dalam beribadah kepadanya sebagaimana kamu diperintah. Semua itu memberi isyarat kepada memutus sesuatu selain Allah dari berlakunya pandangan. Itulah Ikhlas yang sebenarnya”

  1. Kitab Adab al-Alim Wa al-Muta’allim Wa Adab al-Mufti wa al-Mustafti (Terjemahan), Karya Imam Nawawi (631 H – 676 H)
    Imam Nawawi menjelaskan beberapa pengertian Ikhlas atas penjelasan para ulama salaf.
  • Abul Abbas Abdullah bin Abbas Ra berkata : “Seseorang akan mendapatkan balasan dari perbuatannya sesuai dengan kadar keikhlasan niatnya.”
  • Abu Muhammad Sahl bin Abdullah berkata : “Orang-orang yang baik pemahaman dan perbuatannya, senantiasa mampu menafsirkan keikhlasan. Jika mereka tidak mendapati selain hanya keikhlasan ini, maka gerak dan diamnya dapat benar-benar hanya karena Allah Swt. Tidak ada satu pun yang dapat membuatnya berpaling, tidak karena dirinya sendiri, tidak karena hawa nafsunya, bahkan tidak juga karena dunia sekalipun.”
  • Abu Ali ad-Daqaq menjelaskan : “Keikhlasan adalah tentang menjauhi pengakuan manusia dan kejujuran adalah tentang pemurnian keangguhan jiwa.”
  • Abu Ya’kub as-Susi berkata : “Kapan pun mereka menyaksikan keikhlasan, (ketahuilah) bahwa keikhlasan mereka akan senantiasa berhubungan dengan keikhlasan-keikhlasan lainnya.”
  • Dzun Nun berkata : “keikhlasan itu memiliki tiga tanda, tetap moderat terhadap pujian dan cercaan masyarakat, tidak memperlihatkan satu perbuatan dengan perbuatan yang lainnya, dan hanya tulus terhadap Ridha Allah Swt.”
  • Abu Ustman menyatakan : “keikhlasan adalah tentang melupakan diri dari penglihatan (penilaian) manusia dengan senantiasa menyerahkannya kepada Sang Kuasa.”
  • Hudzaifah juga pernah berkata : “Keikhlasan adalah berlaku adil terhadap perbuatan manusia lahir dan bathin.”
  • Abu Ali al-Fadhail bin ‘Iyad menjelaskan : “Meninggalkan perbuatan karena manusia adalah riya’, melakukan perbuaan karena manusia adalah syirik, sebab keikhlasan adalah tentang penjagaan tuhan terhadapmu dari keduanya.”
  • Ruwaim juga berkata :”Keikhlasan bukan tentang keinginan mendapatkan balasan di dunia dan akhirat, bukan juga untuk mendapatkan keuntungan dari dua malaikat.”
  • Yusuf bin al-Husain berkata : “seagung-agungnya hal di dunia ini adalah keikhlasan.”
  • Abu Ustman berkata : ”Ikhlasnya orang awam adalah ketiadaan keuntungan bagi diri mereka, sedangkan ikhlasnya orang-orang khusus adalah tentang apa yang wajib bagi mereka. Maka ketaatan akan tampak pada diri mereka. Mereka akan menemukan tempat yang sunyi dalam diri mereka yang tidak akan tersentuh sifat riya’ dan berbangga diri.
  1. Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad (Terjemahan), karya Syekh Nawawi al-Bantani (1230 H-1314 H)
    Menurut Syekh Nawawi Ikhlas terbagi dalam tiga kriteria. Adapun kriteia yang dimaksud adalah sebagai berikut :
  • Tingkatan tertinggi, yakni membersihkan atau menyembunyikan amal dari perhatian orang lain. Dalam beribadah tak ada tujuan lain kecuali melaksanakan perintah Allah dan menunaikan hak-hak ‘Ubudiyyah, bukan ditujukan untuk meraih simpati orang lain supaya mendapat kasih sayang, pujian, harta, atau sesuatu lainnya dari mereka.
  • Tingkatan menengah, yakni beramal semata-mata karena Allah dengan tujuan agar Allah membagikan balasan ukhrawi, seperti dijauhkan dari siksa neraka, dimasukkan ke surga, dan diberi berbagai kenikmatan surga.
  • Tingkat terendah, yakni beramal karena Allah semata dengan berharap supaya Allah membagikan balasan di dunia, seperti diluaskan rezekinya dan dihindarkan dari hal-hal yang tak disukainya

Dari beragam penjelasan mengenai ikhlas dari para ulama-ulama dapatlah kita tahu betapa pentingnya ikhlas. Ikhlas tak ubahnya seperti fondasi sebuah bangunan. Bangunan akan kokoh jika fondasinya pun kokoh. Sebaliknya tanpa adanya fondasi maka bangunan tersebut pasti akan roboh. Ikhlas adalah sumber energi positif yang akan terus melimpah. Ikhlas juga ibarat ruh dalam sebuah jasad. Tanpa ruh jasad tersebut tidak akan bernilai dan tidak akan bisa memberikan manfaat. Karena itu sifat ini harus terus dilatih sejak dini agar terinternalisasi dalam diri setiap individu.

Wallahu A’lam Bishawab