Mislakhudin Hanafi, S.Pd
Sebagai khalifah fil ard, kita berusaha untuk senantiasa menjaga keberlangsungan hidup di dunia dengan beragam upaya, salah satunya dengan bekerja atau mencari penghidupan. Dengan bekerja seseorang akan mendapatkan penghasilan untuk memenuhi segala hajatnya dan mempertahankan eksistensinya. Dalam Islam masalah bekerja telah dijelaskan secara gamblang di dalam al-Qur’an dan hadis Rasul. Keduanya memberikan penjelasan dan panduan bagi kita dalam bekerja dan mencari ma’isyah /penghidupan.
Terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang masalah bekerja. Berikut di antara ayat-ayat al-Qur’an membahas tentang bekerja.
وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ لِبَاسًا وَّالنَّوْمَ سُبَاتًا وَّجَعَلَ النَّهَارَ نُشُوْرًا
“Dialah yang menjadikan malam untukmu (sebagai) pakaian dan tidur untuk istirahat. Dia menjadikan siang untuk bangkit berusaha” (Q.S. al-Furqan: 47).
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung” (Q.S. al-Jumu’ah : 10)
وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ .
dan Katakanlah:, “Bekerjalah kamu, Maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga rasul-Nya dan orang-orang mukmin dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. at-Taubah : 105)
Ayat di atas menjelaskan kepada kita, perintah di dalam bekerja, dan semua yang dilakukan berada dalam pengawasan serta segalanya akan dipertanggungjawabkan. Ayat di atas juga menyiratkan pesan kepada kita agar bekerja dengan sebaik-baiknya, maksimal, dan penuh totalitas.
Di dalam beragam riwayat juga diterangkan bahwa Rasulullah memberikan tuntunan di dalam mencari penghidupan. Berikut di antara sabda Rasulullah:
مَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا حَلاَلاً اِسْتِعْفَافًا عَنِ الْمَسْأَلَةِ وَسَعْيًا عَلَى أَهْلِهِ وَتَعَطُّفًا عَلَى جَارِهِ لَقِيَ اللهُ وَوَجْهُهُ كَالْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ.
“Barang siapa mencari (kenikmatan) dunia secara halal untuk menjaga diri dari meminta-minta; untuk memenuhi kebutuhan keluarganya; dan untuk bederma kepada tetangganya maka di hari kiamat ia akan bertemu Allah sedang wajahnya bersinar terang laksana bulan purnama.”. (H.R al-Baihaqy dalam Syu’abul iman, juz 13, no. hadist 9890).
Dari sabda Rasul di atas ada beberapa hal yang dapat kita jadikan pijakan dalam hidup. Pertama, tuntunan untuk mencari sumber penghasilan yang halal. Halal objeknya, serta halal dalam proses mendapatkannya. Kedua, tuntunan untuk menjauhkan diri kita dari sikap meminta-minta atau membebani orang lain. Ketiga, tuntunan mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan kita dan keluarga. Keempat, tuntunan untuk saling membantu kepada tetangga dan lingkungan sekitar kita yang membutuhkan bantuan atau uluran tangan kita. Ajaran luhur dari Rasulullah ini sangat penting dalam kehidupan kita, khususnya dalam upaya menjaga keberlangsungan kehidupan kita di dunia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud as. memakan makanan dari hasil usahanya sendiri” (HR. Bukhari, no 1966).
Selain hadis di atas, ada banyak hadis yang juga menjelaskan keutamakan dalam bekerja serta memberikan motivasi dalam bekerja. Islam begitu lengkap dalam memberikan panduan bekerja, memberikan petunjuk kepada kita agar bekerja dengan sungguh-sungguh, totalitas, bertanggung jawab dan tidak bermalas-malasan.
Dalam kehidupan sehari-hari, tentunya kita sering mendengarkan beberapa istilah yang begitu familiar di telinga kita. Seperti kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, kerja ikhlas, profesional dan profesionalisme. secara sederhana kita bisa memahami bahwa kerja keras, adalah sikap atau perilaku yang menunjukkan kesungguhan dan dedikasi yang tinggi dalam upaya mencapai tujuan yang diinginkan. Ini melibatkan pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyelesaikan suatu tugas dengan sebaik-baiknya, meskipun menghadapi tantangan dan kesulitan. Dia akan mengerahkan segala tenaga dalam mencapai apa yang diharapkan, tenaga (fisik) cukup mendominasi dalam hal ini.
Kerja cerdas, bisa kita pahami sebagai cara bekerja yang lebih efisien dan efektif, dengan memanfaatkan keterampilan, teknologi, dan waktu secara optimal. Kerja cerdas tidak hanya mengandalkan tenaga dan usaha yang keras, tetapi juga menggunakan otak untuk berpikir secara strategis dan kreatif.
Kerja tuntas bisa pahami sebagai sikap atau perilaku yang menunjukkan kesungguhan dan dedikasi untuk menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan dengan sebaik-baiknya, tidak setengah-setengah, tidak asal-asalan dan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Kerja tuntas tidak hanya mengandalkan tenaga dan usaha yang keras, tetapi juga menggunakan pikiran dan keterampilan secara optimal.
Adapun kerja ikhlas bisa pahami sebagai mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan dengan tulus dan tanpa pamrih, murni karena niat untuk kebaikan atau pengabdian. Ini bukan tentang mengharapkan imbalan atau pengakuan, melainkan tentang kepuasan batin dan rasa syukur atas kesempatan untuk berkarya serta berharap mendapatkan ridha Allah Swt. sebagai tujuan yang dikehendakinya.
Adapun profesional secara umum adalah seseorang yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan pengalaman yang tinggi dalam suatu bidang tertentu, dan menawarkan jasa atau layanannya dengan standar yang tinggi. Sedangkan profesionalisme dapat kita pahami sebagai sikap atau perilaku yang menunjukkan keahlian dan keterampilan dalam suatu bidang tertentu. Bisa pula diartikan sebagai suatu standar atau kualitas yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam menjalankan profesinya.
Dalam hal kaitan profesional dan profesionalisme ini pun Islam telah memberikan pijakan dan panduan.
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِۦ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا
Katakanlah (Muhammad): “Setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (Q.S. al-Isra : 84)
Ayat di atas tersirat akan potensi dan keunikan profesi manusia yang beragam, berdasarkan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman dari masing-masing.
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إن اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ
Dari Aisyah R.A, bersabda Rasulullah SAW: “Sesunggunya Allah ʽazza wa jalla menyukai jika salah seorang di antara kalian melakukan suatu amal secara itqan.” (H.R. At-Tabrani)
Dalam kajian Islam bekerja secara profesional harus dilandasi dengan sikap-sikap yang dimiliki dan diteladankan oleh Rasulullah. Sikap itu meliputi sidq amanah, fathonah dan tabligh. Cak Nur (Nurcholish Madjid) dalam karyanya Islam Doktrin dan Peradaban, turut memberikan pemikirannya terkait masalah etos kerja, profesional dan profesionalisme seorang muslim. Menurut Cak Nur pembahasan mengenai pandangan Islam tentang etos kerja ini barangkali dapat dimulai dengan usaha menangkap makna sedalam-dalamnya terhadap sabda Nabi yang amat terkenal bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya. Jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridla Allah) maka ia akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti, misalnya, hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat tujuan itu pulalah nilai kerjanya yang didapatkannya.
Sabda Nabi SAW. itu menegaskan bahwa nilai kerja manusia tergantung kepada komitmen yang mendasari kerja tersebut. Tinggi-rendah nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan tinggi-rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Dan komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai yang dianut dan diyakininya.
Oleh karena itu, komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, atau jika ia mengerjakannya, untuk mengerjakannya dengan tingkat kesungguhan yang maksimal. Dalam sabda Nabi saw. itu juga diisyaratkan bahwa seorang Muslim harus bekerja dengan niat memperoleh ridla Allah. yang sudah tentu hal ini amat standar dalam agama Islam. Jadi kerja tanpa tujuan luhur itu mengalami kemuspraan, tidak bernilai, dan tidak memberi kebahagiaan atau rasa makna kepada pelakunya.
Mengerjakan sesuatu “demi ridla Allah” dengan sendirinya berimplikasi bahwa kita tidak boleh melakukannya dengan “sembrono”, semaunya, seenaknya, dan acuh-tak-acuh. Sebab hal itu akan membuat niat kita menjadi absurd, karena tanpa kesejatian dan ketulusan (ikhlas). Bisa juga dipandang sebagai sikap merendahkan makna “demi ridla Allah” itu, atau secara tidak langsung merendahkan Tuhan.
Berkenaan dengan masalah itu, erat sekali kaitan antara usaha optimalisasi nilai dan hasil kerja dengan ajaran tentang ihsan. Makna ihsan itu luas sekali. Antara lain, yang langsung relevan dengan persoalan kita tentang etos kerja ini, ihsan ialah perbuatan baik, dalam pengertian sebaik mungkin atau secara ideal atau melakukannya dengan penuh totalitas. Dan semua yang dilalukan berada dalam pengawasan Tuhan. Sebagai seorang muslim kita dituntun bahwa setiap melakukan segala sesuatu harus dilandasi dengan niat ikhlas. Bagi seorang muslim ikhlas adalah ruh bagi setiap tindakan yang dilakukan.
Syekh Mustafa al-Ghalayain dalam kitabnya Izatun Nasyi’in mengungkapkan bahwa :
العمل جسم روحه الإخلاص
“amal perbuatan ibarat jasad, sedangkan ruhnya adalah sikap ikhlas”.
Beliau menjelaskan bahwa sebuah jasad tatkala terpisah dari ruh yang menjadikan bisa beraktivitas dan hidup akan mati. Tidak dapat bergerak dan tidak bisa lagi memiliki dan memberikan manfaat yang bisa diharapkan. Begitu pula dengan amal perbuatan tatkala terpisah dengan keikhlasan. Didalam kitab-kitab turats yang lain juga begitu banyak yang turut mengulas akan pentingnya niat ikhlas.
Bagi sebagian dari kita, atau bahkan kita sendiri mungkin mempertanyakan bisakah keikhlasan disandingkan dengan profesional dan profesionalisme. Secara sederhana ikhlas berarti berbuat tanpa pamrih sedangkan profesional adalah berbuat karena berharap adanya timbal balik/pamrih. Keikhlasan mengacu pada lurusnya niat dan harapan untuk mendapatkan ridha Allah. Sedangkan Profesional berharap adanya penghargaan yang diterima. Ikhlas dan profesional itu dua hal yang berbeda. Seseorang bisa saja tidak ikhlas, tapi tetap profesional dalam bekerja, atau sebaliknya ikhlas tapi tidak profesional dalam bekerja. Namun yang paling ideal adalah ikhlas dan profesional.
Ikhlas adalah sebuah pernyataan hati (state of mind) sedangkan profesional disebut pernyataan aksi (state of action) tindakan yang dilakukan berdasarkan keahlian, kemahiran, atau kecakapan dan terukur. Sikap Profesionalisme mengacu pada ketinggian standar dalam pelaksanaan suatu pekerjaan yang dikerjakan. Bersatunya ikhlas dan profesional juga profesionalisme adalah identitas bagi para profesional muslim yang harus kita manifestasikan dalam segala aktivitas dan karya yang dihasilkan. Konsep ikhlas dan profesional bertemu dalam diri seorang beriman.
Ada sebuah nasihat yang penuh makna dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Toriqotu al-Ta’lim, karya Syekh al-Zarnuji, bahwasanya Rasulullah bersabda : “Banyak perbuatan atau amal yang tampak dalam bentuk amalan keduniaan, tapi karena didasari niat yang baik (ikhlas) maka menjadi atau tergolong amal-amal akhirat. Sebaliknya banyak amalan yang sepertinya tergolong amal akhirat, kemudian menjadi amal dunia, karena didasari niat yang buruk (tidak ikhlas)”.
Untuk itu sikap yang luhur ini harus benar-benar dijaga dan dipelihara. Menghadirkan selalu aspek spiritual dalam setiap tarikan nafas dan derap langkah kita dalam upaya menjaga keberlangsungan hidup dan eksistensi kita sebagai khalifah fil ardh serta sebagai upaya dalam mendapatkan keberkahan hidup. Agar sikap ini tetap terjaga dengan murni perlu adanya sikap saling memahami, saling mengapresiasi, mengingatkan dan menasihati dalam kebaikan dan kemaslahatan bersama. Semuanya ini dilakukan dengan niat yang baik dan cara yang baik pula.
Wallahu a’lam bis shawab.