Peradaban Islam telah melalui fase pertumbuhan, puncak kejayaan, dan kemunduran. Masa kejayaan terjadi pada era Dinasti Abbasiyah di Baghdad dan Dinasti Umayyah II di Andalusia. Pada masa keemasan ini, para ilmuwan Muslim menghasilkan karya-karya yang menginspirasi generasi berikutnya, termasuk ilmuwan Barat. Namun, peradaban Islam kemudian mengalami kemunduran yang memengaruhi kehidupan politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan kebudayaan.
Revolusi industri di Inggris dan pencerahan di Eropa mengantarkan Barat pada kemajuan teknologi, sementara umat Islam mengalami kemunduran. Pada abad ke-20, pemikir Muslim menyadari bahwa ilmu pengetahuan modern, yang dipengaruhi oleh sekularisme, materialisme, dan humanisme, telah kehilangan nilai-nilai transendental. Di sisi lain, keilmuan Islam cenderung fokus pada spiritualitas tanpa memperhatikan ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler, menciptakan dikotomi dalam pemikiran umat Islam (Kartanegara, 2005: 20-21).
Upaya untuk mengatasi dikotomi ini muncul melalui konsep Islamisasi ilmu atau integrasi ilmu, meskipun konsep ini menuai pro dan kontra. Kedua konsep ini bertujuan untuk mengembalikan kejayaan peradaban Islam, di mana ilmu pengetahuan dikembangkan dengan semangat spiritual yang tinggi. Tauhid menjadi fondasi pemersatu integrasi ilmu, sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Ismail al-Faruqi sebagai esensi peradaban Islam. Tanpa tauhid, kesatuan peradaban Islam tidak akan tercapai, demikian pula integrasi keilmuan akan sulit terlaksana (Kartanegara, 2005: 31).
Muhammad Iqbal juga menekankan pentingnya mempelajari alam semesta sebagai cara untuk mengenal Tuhan, berbeda dengan pendekatan Barat yang terpisah dari nilai-nilai ilahi (Kartanegara, 2005: 21). Pada konferensi Islam sedunia tahun 1977 di Makkah, Syed M. Naquib al-Attas mengusulkan gagasan tentang Islamisasi pendidikan dan ilmu pengetahuan, yang mendapatkan beragam tanggapan.
Di Indonesia, fisikawan Achmad Baiquni pada tahun 1980-1990an juga menekankan pentingnya hubungan antara al-Qur’an dan sains. Hingga tahun 2000an, pemikir Muslim Indonesia terus mengembangkan konsep integrasi ilmu, dengan berbagai istilah seperti “wahyu memandu ilmu.”
Pemikiran Nidhal Guessoum
Dalam tulisan yang singkat ini, akan sedikit kami coba ulas, salah satu pemikir sekaligus ilmuwan muslim, seorang guru besar fisika dan astronomi yang bernama Nidhal Guessoum. Pemikirannya tentang integrasi ilmu terekam dalam bukunya, Islam’s Quantum Question Reconciling Muslim Tradition and Modern Science atau dalam versi terjemah Islam Dan Sains Modern.
Nidhal Guessoum lahir pada tanggal 6 September 1960 di Algeria atau Aljazair, di wilayah Afrika utara. Menurut pengakuannya, dia merasa sangat beruntung lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang luar biasa. Kedua orang tuanya adalah para akademisi yang hebat.
Pendidikan dasar dan menengah Nidhal di tempuh di negeri asalnya yaitu Aljazair, pada jenjang tersebut pembelajaran diberikan dengan bahasa arab dan bahasa prancis sebagai bahasa pengantarnya. Setelah itu, Nidhal melanjutkan studi jenjang Sarjananya (B.Sc) pada program Fisika Teoritis di Universitas Sains dan Teknologi Algeria, Aljazair, dengan predikat lulusan terbaik.
Selanjutnya Nidhal memang menempuh program Master dan Doktornya di Universitas California. Nidhal menyelesaikan pendidikan tingkat Master (M.Sc) dalam bidang Fisika di Universitas California, tahun 1984. Empat tahun kemudian, tahun 1988, Nidhal merampungkan Pendidikan tingkat Doktornya di Universitas yang sama dengan disertasi berjudul Thermonuclear Reactions of Light Nuclei in Astrophysical Plasmas. Mengenai profil keluarga dan Pendidikan sedikit dijelaskan dalam berita yang dilansir media IBTimes (Nidhal Guessoum, “Titisan Ibnu Rusyd di Dunia Kontemporer”, IBTimes.ID).
Pemikiran Integrasi Ilmu
Prinsip pertama dari kerja integrasi yang ditawarkan Nidhal adalah prinsip bahwa agama, filsafat dan sains tidak akan pernah bisa bertentangan satu sama lainnya karena ketiganya adalah “saudara sepersusuan” (bosom sisters), ketiganya menggungkapkan kebenaran yang sama dengan cara yang berbeda (Guessoum, 2014: 126).
Prinsip ini didasarkan atas pandangan Ibn Rusyd (1126-1198 M) bahwa ajaran agama, filsafat dan sains adalah berasal dari sumber yang satu dan sama, yaitu Allah SWT. Agama berasal dari wahyu dan wahyu adalah firman Allah yang dikenal dengan istlah ayat-ayat qauliyah, sains berasal dari semesta dan jagat raya adalah ciptaan Allah yang dikenal dengan istilah ayat-ayat kauniyah, sedang filsafat berasal dari akal dan akal adalah karunia Allah.
Ketiganya berasal dari Allah dan segala sesuatu yang berasal dari sumber yang sama dan satu tidak mungkin saling bertentangan. Karena itu, hukum wahyu, hukum alam dan prinsip akal pasti akan selaras, tidak akan bertentangan. Meski demikian, menurut Nidhal, kita harus bisa membedakan: antara wahyu dengan pemahaman atas wahyu, antara hukum alam (sunnatullah) dengan hasil analisis terhadap alam dan antara prinsip akal dan hasil penalaran.
Wahyu adalah firman Tuhan sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci yang terjaga dari salah dan tidak ada keraguan didalamnya (Q.S. 2: 2), sedang pemahaman atas wahyu adalah hasil interpretasi manusia terhadap wahyu yang tidak lepas dari penggunaan metode tertentu, sudut pandang yang dipilih, adanya pengaruh nafsu, ambisi, ideologi atau hal-hal yang lain, sehingga hasilnya belum tentu benar.
Hasil pemahaman terhadap wahyu ini disebut sebagai ilmu agama yang merupakan hasil ijtihad seseorang, yang secara fiqh kualifikasi hasilnya adalah zhani (masih bisa didiskusikan). Begitu juga terkait dengan hasil analisis terhadap alam yang disebut sebagai sains, dan hasil penerungan akal yang disebut filsafat. (Soleh, 2020:124). Nidhal juga mendasarkan diri pada aspek lain dari prinsip-prinsip Ibn Rusyd yaitu:
Kesamaan tujuan
Menurut Ibn Rusyd, meski bahasa yang digunakan oleh agama, filsafat dan sains berbeda, wilayah kajian ketiganya juga bisa tidak sama, tetapi tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing mengarah pada titik yang sama. Yaitu, bahwa masing-masing ingin mencapai kebenaran puncak, kebenaran tertinggi (ma’rifatullah). (Soleh, 2020:125). Dari penjelasan tersebut dapat diuraikan masing-masing tujuan akhirnya: a) Dalam agama, tujuan akhirnya adalah mengabdi kepada Allah SWT.Dalam filsafat, tujuan akhirnya adalah memahami Sang Realitas Sejati, yaitu Allah SWT; b) Dalam sains tujuan akhirnya adalah adalah menemukan kekuatan agung yang telah menciptakan dan memelihara alam semesta, Allah SWT.
Aspek metode
Menurut Ibn Rusyd terdapat empat jenis metode yang dikenal dalam syariat: pertama, metode yang konsepsi dan pembuktiannya bersifat niscaya meski penalarannya bisa dalam bentuk retorik atau dialektik.
Kedua, metode yang menghasilkan kesimpulan bersifat niscaya tetapi premis-premisnya hanya bersifat masyhur atau dugaan (zhanni). Metode ini didasarkan atas perumpamaan bagi objek-objek yang menjadi tujuannya. Di sini terbuka untuk dilakukan takwil.
Ketiga, metode kebalikan dari yang kedua, yaitu metode yang kesimpulannya adalah berupa objek objek yang hendak disimpulkan itu sendiri dan premis-premisnya bersifat masyhur atau dugaan (zhanni) tanpa ada kemungkinan mencapai tingkat niscaya. Kesimpulan kategori ini tidak membutuhkan takwil meski sering terjadi takwil pada premis-premisnya.
Keempat, metode yang premis-premisnya bersifat masyhur atau dugaan dan tidak mencapai tingkat niscaya. Kesimpulan-kesimpulannya berupa perumpamaan-perumpamaan bagi objek-objek yang dituju. Bagi kalangan orang tertentu, metode ini harus ditakwil sedang kebanyakan orang harus diartikan menurut makna tekstualitasnya. (Soleh, 2020:127).
Selanjutnya apa yang diutarakan Nidhal Guessoum menyatakan bahwa agama dan sains, juga filsafat, ketiganya adalah tidak bertentangan melainkan selaras dan saling menguatkan, karena ketiganya pada dasarnya berasal dari sumber yang sama dan satu, tujuan akhirnya yang saling bersinggungan, metode yang bisa saling mengisi dan konten ajaran yang saling memerintahkan dan mendukung.
Penafsiran al-Qur’an Secara Berlapis
Nidhal Guessoum meyakini bahwa teks al-Qur’an bersifat sakral dan terjaga dari semua bentuk perubahan, mulai sejak awal turunnya pada zaman Rasulullah sampai akhir zaman kelak. Akan tetapi, pemahaman manusia terhadap makna al-Qur’an bisa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan waktu dan konteksnya yang tidak sama.
Lebih dari itu, untuk dapat menyinergikan antara agama, filsafat dan sains, menurut Nidhal kita justru harus membaca dan memahami teks al-Qur’an dari berbagai sudut pandang dan metode. Tidak boleh dan tidak bisa memahami teks al-Qur’an hanya dari satu sudut pandangan dan satu metode tertentu. Menurut Nidhal, keharusan membaca teks al-Qur’an dari berbagai sudut pandang dan beragam metode tersebut, apalagi dalam rangka untuk menyinergikan agama, filsafat dan sains, berdasarkan beberapa alasan.
Ada beberapa alasan yang mengharuskan kita untuk membaca wahyu dalam beragam sudut pandang dan metode yaitu:
Menurut historis
Sebagaimana pendapat Sachiko Murata dan William Chittick, munculnya keragaman makna dan pemahaman atas ayat al-Qur’an inilah ternyata justru yang telah menjadi sumber kekayaan intelektual dalam sejarah keemasan Islam. Masa keemasan Islam terjadi justru adalah karena munculnya keragaman penafsiran dan pemahaman yang diberikan oleh para akademisi muslim saat itu.
Seperti yang dicatat oleh Husein al-Dzahabi dalam karyanya berjudul Tafsir wa al- Mufassirun, pada masa itu muncul banyak sekali kajian terkait dengan al-Qur’an, mulai yang tekstual sampai yang sangat rasional, mulai dari yang empiric sampai mistik. Bahkan setiap mazhab pemikiran dalam Islam mempunyai metode tersendiri
Kekayaan kosa kata al-Qur’an
Keragaman makna kata bisa mencapai lima kali dari bahasa Arab biasa. Ada satu kata yang mengandung dua makna, tiga makna bahkan lebih. Al-Qur’an juga mempunyai kekhasan dalam nada dan irama, yang efektif bagi orang awam dan elite, serta cocok untuk semua orang di semua usia dan zaman, mempunyai keseimbangan dalam menyentuh hati dan pikiran dengan menggunakan gaya sastra dan ilmiah sekaligus. Mempunyai tingkat keringkasan dalam ekspresi tetapi sarat arti; mempunyai keluasan dalam penggunaan imajinasi dan metafora.
Oleh karena itu al-Qur’an tidak dapat dimonopoli dengan satu pendekatan, satu pemahaman dan satu arti. Karena itu juga, terjemahan al-Qur’an tidak sama dengan teks asli al-Qur’an, keduanya jauh berbeda. Hanya teks al-Qur’an yang berbahasa Arablah yang disebut sebagai al-Qur’an, sedang versi terjemahan hanya interpretasi. (Nidhal Guessoum, 2014: 104-107).
Ragam pemahaman dan makna pada teks
Pernyataan al-Qur’an sendiri yang menunjukkan adanya ragam pemahaman dan pemaknaan atas sebuah teks, dan perlunya melakukan itu demi memberikan pemahaman kepada masyarakat yang berbeda (QS. Ali Imran: 7). Menurut, M Asad (1900-1992 M), seorang mufassir Barat yang dikenal lewat karya tafsirnya yang berjudul The Message of the Qur’an, menyatakan bahwa ayat Ali Imran: 7, tersebut menunjukkan adanya banyak bagian dan ekspresi dalam al-Qur’an yang tidak dapat dipahami secara tekstual melainkan harus dalam arti alegoris atau kiasan, agar dapat dipahami oleh lapisan masyarakat yang berbeda. (Soleh, 2020:131)
Setia ayat al-Qur’an mengandung tujuh arti
Pendapat-pendapat Sachiko Murata dan William Chittick yang mengutip sabda Rasul bahwa setia ayat al-Qur’an mengandung tujuh arti, mulai makna tekstual atau literal sampai makna ketujuh, makna terdalam yang hanya diketahui oleh Allah SWT sendiri. (Guessoum, 2014: 108-109)
Tingkat nalar manusia
Pemikiran Ibn Rusyd (1126-1198 M), tokoh klasik yang sangat dikagumi Nidhal, terkait dengan tingkat nalar manusia. Menurut Ibn Rusyd, tingkat berpikir masyarakat dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat awam, tingkat menengah dan tingkat elit terpelajar. (Soleh, 2020:132). Tingkatan nalar manusia:
Masyarakat awam. Bagian dari mayoritas masyarakat. Mereka ini hanya mampu berpikir secara tektualis-retoris dan sama sekali tidak mampu nalar rasional. Mereka memahami makna dan ajaran wahyu melulu berdasarkan makna tersurat secara zhahir.
Masyarakat menengah. Kalangan yang telah menggunakan nalar rasional tetapi belum mampu pada tingkat kritis filosofis. Penalaran mereka biasanya menggunakan metode dialektis (jadâlî).
Masyarakat atas (filosof). Masyarakat yang mampu berpikir secara kritis filosofis, tidak sekedar rasional dialekis. Cara berpikir mereka menggunakan metode demonstratif (burhânî), sebuah metode berpikir yang dinilai lebih bagus dan lebih valid dibanding metode dialaktis.
Ketiga tingkat berpikir tersebut harus disesuaikan dengan porsi penalaran masing-masing, dan al-Qur’an berbicara kepada masyarakat sesuai tingkat pemahaman mereka. Meskipun metode yang sering digunakan oleh al-Qur’an adalah tekstual-retoris untuk menjangkau mayoritas, al-Qur’an tetap memberi ruang bagi pemikiran rasional-filosofis, yang bisa dimaknai secara takwil.
Islam mencapai kejayaan peradaban ketika agama ini terbuka terhadap sains dan filsafat, serta mendukung para pemikir untuk mengeksplorasi gagasan baru tanpa rasa takut. Para pemikir, baik yang sekuler maupun religius, menjalankan ajaran Nabi: “Siapa yang berijtihad dan benar, mendapat dua pahala; yang berijtihad tapi salah, tetap mendapat satu pahala.”
Kita berharap, peradaban Islam yang hilang bisa kembali dan membawa manfaat bagi umat manusia dengan ajarannya yang rahmatan lil ‘alamin.
Sumber bacaan
Guessoum, Nidhal, Islam dan sains Modern, Bandung: Mizan Pustaka, 2014.
Guessoum, Nidhal, Memahami Sains Modern (Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim), Jakarta: Qaf Media, 2020
Iqbal, Muhammad, Rekonstuksi Pemikiran Religius Dalam Islam. Bandung: Mizan, 2021
Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu (Sebuah Rekonstruksi Holistik), Bandung: Arasy Mizan, 2005.
Soleh, Achmad Khudori. Integrasi Quantum Agama dan Sains. Malang: UIN Maliki Press, 2021.