Kisah Perselisihan Hajar Aswad: Rasulullah Saw. Menyelamatkan Kaumnya dari Pertikaian

Rasulullah saw. dikenal sebagai pribadi yang memancarkan nilai-nilai kejujuran dan terpercaya jauh sebelum beliau diangkat sebagai Rasul. Dalam sejarah hidupnya, ada kisah yang menggambarkan hal ini dengan jelas, yaitu peristiwa pemugaran Ka’bah.

Pada masa itu, Mekkah menghadapi situasi genting. Sebuah banjir besar merusak Ka’bah, bangunan suci bagi masyarakat Quraisy. Semua suku sepakat untuk memugar kembali bangunan tersebut. Rasulullah saw. sendiri ikut serta membantu proses pemugaran. “Rasulullah saw. sebelum diangkat menjadi Rasul pernah ikut serta dalam pembangunan Ka’bah dan pemugarannya. Beliau ikut serta secara aktif mengusung batu di atas pundaknya,” kata Dr. Said Ramadhan al-Buthy dalam Sirah Nabawiyah-nya.

Namun, ketika tiba saatnya menempatkan Hajar Aswad di posisinya, perselisihan tajam muncul. Setiap suku merasa berhak atas kehormatan tersebut, dan ketegangan hampir memicu perpecahan besar di Mekkah.

Dalam situasi inilah, Rasulullah saw. tampil sebagai penengah yang terpercaya. Beliau saat itu belum menerima wahyu, tetapi sudah diakui oleh masyarakatnya sebagai al-Amin, sang terpercaya. Dalam usia 35 tahun, beliau menunjukkan kedewasaan dan kebijaksanaan luar biasa. Ketika perselisihan hampir memuncak, Rasulullah saw. menawarkan solusi yang sangat sederhana namun brilian: Hajar Aswad diletakkan di atas sehelai kain, dan semua pemimpin suku secara bersama-sama mengangkatnya menuju tempatnya. Dengan solusi ini, semua pihak terlibat, dan konflik pun terselesaikan dengan damai.

“Nabi saw memiliki pengaruh besar dalam menyelesaikan kemelut yang timbul akibat perselisihan dalam menyelesaikan tentang siapa yang berhak mendapatkan kehormatan meletakkan hajar aswad di tempatnya. Semua pihak tunduk kepada usulan yang diajukan Nabi saw, karena mereka semua mengenalnya sebagai al-amin (terpercaya) dan mencintainya,” kata al-Buthy.

Kisah ini mencerminkan kebesaran akhlak Rasulullah saw. dengan sifat jujur, adil, dan tanpa memihak. Beliau menunjukkan bahwa kejujuran, kepercayaan, dan keadilan adalah fondasi penting dalam kepemimpinan, terutama di tengah masyarakat yang berpotensi terpecah oleh ego dan kepentingan.

Peristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi kita hari ini, bahwa dalam menghadapi perbedaan dan perselisihan, hanya kejujuran dan kebijaksanaan yang menjadi jalan terbaik untuk mencapai perdamaian dan keharmonisan. Jika ego pribadi terus dipertahankan, bukan solusi yang ditemukan, melainkan potensi perpecahan yang semakin besar, yang akhirnya mengancam kesatuan dan persatuan bersama.