<em>Istiqâmah</em> Membawa Berkah

Mislakhudin Hanafi, S.Pd

Sejarah menceritakan dan mengajarkan kepada kita bagaimana generasi salaf bersikap istikamah (istiqamah). Buah dari keistikamahan yang mereka lakukan, serta kesungguhan, totalitas dan dedikasi yang telah mereka ikhtiarkan adalah mengalirnya berbagai keutamaan. Segala mujahadah yang telah mereka lakukan berbuah kebahagiaan, kedamaian, dan  keberkahan.

Lantas apa yang bisa kita lakukan di dalam menjalankan peran kehidupan dengan baik dan istikamah? Mulai dari peran yang sederhana hingga peran yang begitu kompleks. Bagaimana kita memaknai istikamah yang benar serta apa yang perlu dilakukan? Tentu ini menjadi renungan bagi jiwa yang ingin meraih kebahagiaan dan keberkahan dunia dan akhirat.

Dalam karya Imam Sibawaih el-Hasani yang berjudul Keajaiban Istikamah Terus di Jalan Lurus, dijelaskan bahwa hampir sebagian orang sering memahami istikamah sebagai suatu perbuatan dan perilaku tertentu yang dilakukan secara terus-menerus atau konsisten dengan penuh kesadaran diri, komitmen, dan segala konsekuensinya. Sehingga, sering kali justru terkesan bahwa orang yang istikamah, semakna dengan orang yang berhenti pada titik tertentu pada suatu amal perbuatan. Orang yang membaca al-Qur’an menjelang tidur secara konsisten atau yang melafalkan amalan-amalan tertentu pada waktu tertentu secara ajeg, dan hal-hal lain semisal, adalah gambaran kebanyakan orang berkaitan dengan contoh dari laku istikamah.

Istikamah diartikan dengan adanya konsistensi atau keajegan pada satu jenis perbuatan dalam waktu yang panjang, akan mengesankan jika orang yang istikamah itu tidak dinamis, berputar atau berjalan di tempat, stagnan, serta enggan beralih kepada langgam pengalaman hidup lainnya.

Istikamah sebenarnya adalah sebuah proses kesadaran diri yang terus-menerus dan dinamis serta diikuti dengan semangat meningkatkan kualitas diri. Istikamah, adalah bukti bahwa seseorang selalu berkesadaran utuh dan tidak pernah didera lelah, lemah, dan lengah dalam merawatnya. Istikamah sama sekali tidak mencitrakan pelakunya sebagai seorang yang statis, anti perubahan, jumud, lemah, atau takut bertarung serta tidak mampu mengarungi dan mengiringi perjalanan zaman. Jika demikian, maka makna utuh istikamah telah tertawan pada sekadar rutinitas dan pengulangan belaka. Padahal, istikamah memiliki tahapan yang perlu untuk dilewati atau dilalui.

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah di dalam karyanya Madariju as-Salikin juga memberikan penjelasan akan makna istikamah. Menurutnya sebagaimana yang termaktub di dalam beberapa ayat al-Qur’an :

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. [Q.S. Fushilat : 30]

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istikamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. [Q.S. al-Ahqaf : 13]

أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ خَٰلِدِينَ فِيهَا جَزَآءًۢ بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” [Q.S. al-Ahqaf : 14]

فَٱسْتَقِمْ كَمَآ أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا۟ ۚ إِنَّهُۥ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Q.S. Hud : 112]

Dijelaskannya bahwa Allah Swt melalui firmannya di atas, bahwa istikamah adalah kebalikan dari sikap melampaui batas.

Berikut beberapa sabda Rasulullah tentang istikamah:

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ.

Dari Sufyan bin Abdullâh ats-Tsaqafi, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasûlullâh, katakan kepadaku di dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan bertanya kepada seorangpun setelah Anda!” Beliau menjawab: “Katakanlah, ‘aku beriman’, lalu istikamahlah”. [HR Muslim].

اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ

Beristikamahlah kalian, dan sekali-kali kalian tidak akan dapat menghitungnya. Dan beramallah, sesungguhnya amalan kalian yang paling utama adalah shalat, dan tidak ada yang menjaga wudlu kecuali orang mukmin.” [HR. Ibnu Majah]

Di dalam kitab Madarijus Salikin dijelaskan beberapa penjelasan Sahabat rasul tentang makna istikamah:

  1. Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai orang yang paling lurus dan jujur serta paling istikamah ketika beliau ditanya akan makna Istikamah, beliau menjawab : “janganlah engkau menyekutukan sesuatu dengan Allah Swt”. Maksudnya adalah tauhid murni.
  2. Umar bin Khattab menjelaskan : “istikamah adalah engkau teguh hati pada perintah dan larangan dan tidak menyimpang seperti jalannya rubah.”
  3. Utsman bin Affan menjelaskan : “istikamah adalah amal yang ikhlas karena Allah.”
  4. Ali bin Abi Thalib berkata : “istikamah artinya menjalankan kewajiban-kewajiban.”

Istikamah merupakan kata penuh makna yang sangat mendalam. Istikamah berkaitan dengan niat, perkataan, perbuatan, dan keadaan. Istikamah dalam perkara-perkara ini berarti pelaksanaannya karena Allah Swt., beserta Allah Swt. dan berdasarkan perintah Allah Swt. Masih di dalam kitab Madarijus Salikin, dikatakan bahwa sebagian orang arif berkata :”Jadilah orang-orang yang istikamah dan janganlah menjadi orang yang mencari kemuliaan, karena jiwamu bergerak untuk mencari kemuliaan, sementara Rabb-mu memintamu untuk istikamah”.

Dikutip dalam karya Ibn al-Qayyim bahwa pengarang kitab Manazil as-Sa’irin menjelaskaan bahwa istikamah merupakan ruh yang karenanya keadaan bisa menjadi hidup dan juga menyuburkan amal manusia secara umum. Dia menganalogikan bahwa istikamah merupakan ruh bagi badan. Sebagaimana badan yang tidak memiliki ruh sama dengan mayat, dia tidak memiliki nilai dan manfaat. Maka keadaan yang tidak memiliki istikamah, tentu akan rusak.

Selanjutnya Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi dalam karya Risalah Qusyairiyah menjelaskan beberapa pandangan ulama tentang makna istikamah.

Menurut guru dari Imam Qusyairi menjelaskan, bahwa istikamah adalah suatu derajat yang dengan kesempurnaan dan kelengkapan perkara kebagusan terwujud. Berbagai kebaikan mengganda. Orang yang tidak bisa menjalakan istikamah ibadahnya maka usahaya menjadi sirna dan perjuaangannya dihitung gagal.

Abu Ali al-Jauzajani berkata: “Jadilah pelaku istikamah dan jangan menuntut karamah. Dirimu selalu bergerak dalam pencarian karamah, sedang Tuhanmu menuntutmu untuk tetap dalam istikamah.”

Karena itu, karamah paling pertama dan utama adalah adanya istikamah. Sementara karamah sebagai suatu kondisi luar biasa yang melampaui hukum-hukum alam-fisik dan sewajarnya, sama sekali bukan penanda wajib dari terbentuknya sikap istikamah pada seseorang. Nasihat luhur para ulama bahwa:

الااستقامة خير من ألف كرامة

Sikap istikamah lebih baik daripada seribu karamah”

Selanjutnya Imam Qusyairi menjelaskan bahwa tidak ada yang kuat menjalani istikamah kecuali mereka yang berjiwa besar. Istikamah merupakan sifat akhlak yang sempurna. Bagi mereka yang memiliki jiwa besar, luas, dan hati yang bersih, maka bersikap istikamah tidaklah menjadi hal yang sulit. Karena hati indikator yang utama dan yang terpenting.

Rasulullah Saw. bersabda:

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Begitu agungnya nilai yang melekat pada sikap istikamah. Perlu perjuangan yang nyata dan komitmen yang kuat untuk meraihnya. Karena ia hanya didapatkan dan dianugerahkan bagi pribadi-pribadi yang terpilih. Pribadi-pribadi yang lapang jiwanya, pribadi yang mampu mengenal dirinya, mengenal lingkungan di sekitarya dan mengenal Sang Khaliq. Pribadi yang selalu berusaha dan berjuang untuk Istikamah dalam segala hal. Istikamah dalam beribadah, baik ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah. Istikamah dalam amal-amal yang saleh atau amal-amal penuh kebajikan.

Menurut Imam Sibawaih el-Hasani, mengingat betapa proses bukanlah hal mudah, wajarlah bila Allah Swt kemudian memandu para pecinta-Nya dengan doa yang tercantum dalam Surah al-Fatihah, yang menjadi bacaan wajib setiap kali salat. Surat yang dibaca sebanyak 17 kali sehari semalam (shalat yang wajib)

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Pada lafal tersebut, selain sebagai sebuah harapan sekaligus permohonan yang diajarkan sang Pencipta untuk sering lafalkan seorang hamba. Tersirat pesan bahwa jalan yang harus ditempuh setiap hamba hingga sampai kepada Allah demikian sulit, pahit, dan sarat dengan berbagai gangguan, rintangan, hambatan bahkan ujian. Dalam menempuhi jalan yang lurus tersebut seorang hamba perlu membangun sikap teguh agar dapat terus menapaki dan menelusuri jalan itu sampai tuntas.

Karena itu segala peran yang kita mainkan dalam perhelatan cerita kehidupan ini, hendaknya dilakukan dengan sebaik-baiknya. Segalanya kita niatkan menjadi bagian proses perjuangan di dalam mendapatkan ridha Allah Swt.

Segala ketentuan yang melekat disetiap peran yang kita mainkan, hendaknya dilakukan dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa, utuh dan tidak terbagi. Semuanya diniatkan hanya untuk ibadah kepada Allah Swt. Semoga segala sesuatu yang diniatkan dengan niataan yang baik, dengan cara-cara yang baik, berbekal dengan ilmu, komitmen yang baik, serta selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas diri hingga mampu menggerakkan jasad dan ruh melintasi jalan yang lurus, jalan yang dilalui demi mendapatkan ridha-Nya.

Selanjutnya dalam upaya melatih diri untuk selalu bersikap istikamah, beberapa hal berikut bisa kita lakukan :

  1. Niat yang kuat karena Allah. Di sini mengapai ridha Allah Swt adalah tujuan yang ingin dicapai;
  2. Terus berupaya mencari dan menggali ilmu dalam upaya ber-taqarrub kepada Allah Swt.;
  3. Memulai dari hal-hal yang kecil dan dimulai dari diri sendiri;
  4. Terus berusaha menjaga lisan, perbuatan serta  yang terbesit di dalam hati;
  5. Mengatur waktu dengan baik;
  6. Bersahabat dengan orang-orang saleh. saling menasihati satu sama lain. Tawāṣau bil-ḥaqqi wa tawāṣau biṣ-ṣabr (saling menasihati supaya menaati kebenaran dan  menetapi kesabaran) juga saling memotivasi diri;
  7. Selalu bersabar dan bersyukur;
  8. Berdo’a dan perbanyak istighfar.

Semoga dengan ikhtiar dan mujahadah yang kita lakukan, kita semua mampu menjadi pribadi yang istikamah.

Wallahu A’lam Bishawâb