Amal perbuatan manusia memiliki dua aspek, zahir dan batin. Aspek zahir berupa perbuatan fisik, aspek batin berupa sifat atau keadaan hati. Keduanya harus seiring sejalan, tidak saling bertentangan. Hal ini karena nilai dari amal zahir tergantung pada sifat dan keadaan hati. Jika baik sifatnya, baik pula nilainya. Jika buruk sifatnya, buruk pula nilainya, meskipun secara zahir tampak baik. Sifat hatilah yang menjadi sumber nilai. Dalam hal ini adalah ikhlas. Ikhlas merupakan ruhnya amal.
Ibn Athaillah al-Syakandari dalam Kitab al-Hikam mengungkapkan:
الَأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةُ وَأَرْوَاحُهَا وُجُوْدُ سِرِّ اْلِإخْلَاصِ فِيْهَا
“Amal itu seumpama jasad, sedangkan keikhlasan adalah ruhnya”
Hal ini menunjukkan bahwa keikhlasan itulah yang memberikan nilai pada amal perbuatan. Keikhlasan menentukan bobot pekerjaan yang kita lakukan. Keikhlasan memperindah hati, memperbagus amal, dan meluruskan tujuan kehidupan di jalan yang benar menuju ridha Allah Swt.
Amal perbuatan atau pekerjaan yang tidak didasari dengan keikhlasan, maka hal itu seperti manusia yang tidak bernyawa, disebut mayyit. Tubuh manusia yang tidak bernyawa itu dingin. Kalau diumpamakan pada amal perbuatan atau pekerjaan yang tidak mengandung keikhlasan, itu akan terasa “dingin” (bersifat mekanis). Seperti rutinitas tanpa ruh. Terlaksana tapi tidak bernilai di sisi Allah Swt. Karena tidak ada keikhlasan. Seperti dikatakan Syekh Abdullah Syarqawy dalam syarah al-Hikam, amal itu ibarat jasad yang tak bernyawa, sedangkan keikhlasan laksana ruh yang menjadikan jasad itu hidup. Begitu pun ketika manusia meninggal. Bukan jasadnya yang bernilai (termasuk harta, jabatan, dan kekuasaan), tapi nilai-nilai kebaikannya. Manusia yang meninggalkan jejak kebaikan-kebaikan, dia akan dikenang dan diteladani. Ketika hidupnya dijalani dengan nilai keikhlasan, ia akan tetap dikenang saat sudah tiada.
Ikhlas memang tidak mudah. Terlebih saat ini kita hidup di era digital dengan besarnya pengaruh media sosial. Kehidupan saling berhubungan dan memengaruhi satu sama lain. Kita melihat dan mengetahui kehidupan dan perilaku orang lain, apa yang dilakukan dan dipamerkan. Meskipun ada hal-hal positif tapi tak sedikit yang berdampak negatif. Kita menjadi cenderung iri dan tidak puas dengan kenikmatan yang Allah Swt. berikan kepada kita.
Kehidupan di pesantren membatasi hal semacam itu, baik pendengaran, penglihatan, dan pergaulan dari hal-hal yang mengotori hati. Pesantren membentuk karakter, termasuk keikhlasan, agar tertanam dengan mantap, sehingga santri tidak mudah terkena pengaruh-pengaruh negatif. Ditempa terlebih dahulu agar tertanam kuat. Disiplin pesantren bertujuan seperti itu, sehingga ketika di luar tidak akan mudah terkena pengaruh.
Ikhlas dalam beribadah karena cinta kepada Allah Swt. (muhibbin), tidak ada tujuan lain selain Allah Swt., bukan berharap pahala atau surga. Semata-mata karena Allah Swt. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdullah Syarqawy dalam syarah al-Hikam:
“Bentuk keikhlasan par muhibbin (pecinta Allah) tergambar dalam niat amal mereka yang ditunjukkan sebagai wujud pengagungan dan penghormatan mereka terhadap Allah, yang memang layak mendapatkannya. Dalam beramal, mereka tidak bertujuan mendapat pahala atau takut dari siksa-Nya.”
Dalam melakukan amal perbuatan atau pekerjaan pun demikian, semata-mata karena Allah Swt., bukan berharap imbalan. Kita beramal atau bekerja, bukan meminta balasan. Kita bekerja di mana pun, niatnya karena Allah Swr. Adapun mendapatkan imbalan, itu merupakan barakah. Tapi jika hanya mengharap imbalan, miskin sekali kita.
Bekerja karena Allah Swt., untuk mengabdikan ilmu yang dimiliki dan melayani masyarakat. Apalagi kita mengabdi di pesantren, menjadi guru mengaji. Melayani tanpa pamrih dan tidak ingin dilihat orang. Itulah ikhlas. Kalau kita bekerja ingin lihat, dipuji, dan mendapat reward, itu tidak ikhlas. Tapi kalau kita bekerja dengan baik dan tanpa pamrih, lalu mendapat pujian dan reward, itu penilaian orang lain. Itu sebagai kewajaran dan barakah dari Allah Swt. Tapi tidak menjadi tujuan, karena tujuan sesungguhnya adalah Allah Swt.
Kalau kita mencari dunia, maka yang akan kita dapatkan adalah dunia. Kalau mencari ridha Allah Swt., maka yang akan kita dapatkan adalah ridha-Nya. Kalau kita dekat dengan dunia maka Allah Swt. akan mendekatkan kita dengan dunia. Kalau kita mendekatkan diri dengan Allah Swt., maka insyaAllah Allah Swt. akan mendekatkan diri dengan kita. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيهِ، وَمَا يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أحْبَبْتُهُ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإنْ سَألَنِي أعْطَيْتُهُ ، وَلَئِن اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
“Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku; yang lebih Aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku pun mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia pakai untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia pakai untuk berjalan. Bila ia meminta kepada-Ku, Aku pun pasti memberinya. Dan bila ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pun pasti akan melindunginya.” (HR. Al-Bukhari)
Kemanakah kita akan mendekat? Kepada dunia atau kepada Allah Swt.? Kalau kita mendekat kepada Allah Swt, maka Allah Swt. akan memberikan manfaat-manfaat kepada kita tanpa kita sadari. Misalnya, kita dihargai, dimuliakan, bahkan jabatan sesuai dengan kadar kemampuan kita. Allah Swt. memberikan ujian maupun kenikmatan sesuai dengan kadar kemampuan kita. Ujian bukan hanya kesulitan, kenikmatan pun ujian. Itu semua sesuai dengan kadar kemampuan kita.
Ikhlas berkaitan erat dengan qanaah. Apapun yang Allah berikan, kita menerimanya dengan ikhlas. Tidak mengeluh, tidak merasa kurang. Merasa puas dan cukup atas apa yang Allah Swt. berikan. Maka orang yang ikhlas dan qanaah jiwanya akan tenang dan lapang. Mari kita bersama-sama meningkatkan kualitas diri dalam beramal dan bekerja dengan ikhlas. Sebagai guru kita melakukan kewajiban dengan ikhlas, maka apa yang kita lakukan akan berpengaruh terhadap santri, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Insyaallah murid akan mudah di arahkan. Kalaupun tidak saat ini, kelak akan membekas pada mereka di kemudian hari. Seiring kedewasaan usia, ilmu, dan kesadaran, semakin meresap dan mendalam. Semua ada prosesnya.