Buah Pendidikan Pesantren

Ijazah menjadi persyaratan resmi di setiap jenjang pendidikan, persyaratan resmi diterima bekerja di sebuah perusahaan, bahkan menjadi kebanggaan seseorang akan gelar akademik yang disandang. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai banyak orang lupa bahwa ijazah hanya secarik kertas yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga dan tidak selalu berarti menentukan kualitasnya yang sejati.

Hal inilah yang diingatkan oleh KH. Ahmad Rifa’i Arief, bahwa kualitas diri seseorang bukan terletak pada ijazah, tapi pada dirinya sendiri, pada ilmu dan amal yang telah diimplementasikannya. Ijazah tidak merepresentasikan kualitas diri seseorang. Dan itu bukan menjadi tujuan pesantren, tetapi ilmu yang bermanfaat dan akhlak mulia.

Dalam khutbatul wada pada 1995, KH. Ahmad Rifa’i Arief (Rosyad, 2005: 262) menyampaikan pesan kepada para santri:

“Penghargaan masyarakat ini adalah ijazah yang hakiki. Adapun ijazah dari pondok, hanya secarik kertas, akan menjadi tak berarti apa-apa bila tidak disertai dengan pengamalan ilmu dan akhlak budi pekertimu.”

Menjalani proses pendidikan yang sejati, itulah yang dimaksud oleh KH. Ahmad Rifa’i Arief. Bukan asal sekolah atau nyantri. Jalani prosesnya dengan benar meskipun berat. Hasilnya jelas akan lebih bermanfaat dan melekat. Ini buah dari proses pendidikan. Karena itu beliau membesarkan hati santri-santrinya dalam menjalani proses pendidikan dengan penuh kesabaran:

“Dan ingatlah keberhasilanmu hari ini tiada lain berkat kerja kerasmu, kesabaran, dan ketabahanmu dalam menghadapi berbagai cobaan, berkat ketaatanmu kepada guru, dan disiplin pondok, berkat keikhlasan dan istiqomah-mu. Dan jangan lupa bahwa keberhasilanmu adalah juga berkat guru dan orang tuamu.”

Inilah proses pendidikan yang sesungguhnya. Ada perjuangan, kesabaran, keikhlasan, ketaatan, dan kedisiplinan. Hal tersebut membentuk karakter, kecerdasan, kemandirian, dan jiwa kepemimpinan. Kenyataannya, inilah yang paling menentukan keberhasilan seseorang ketika berada di masyarakat dengan persaingan yang sesungguhnya.

Banyak penelitian menunjukkan para top leader perusahaan-perusahaan raksasa bukanlah orang-orang yang memiliki gelar akademis tertinggi, tapi mereka yang memiliki kompetensi organisasi, kepemimpinan, kedisiplinan, team work, dan lainnya yang termasuk kategori kecerdasan emosional (emotional intelligence). Secara longgar hal ini dapat kita samakan dengan akhlak. Ini berarti, akhlak lebih menentukan daripada sekadar gelar akademis (ijazah).

Ini persis dengan yang telah disampaikan oleh KH. Ahmad Rifa’i Arief bahwa pada akhirnya masyarakat bukan menilai ijazah, tapi akhlak: bagaimana kita bermanfaat di masyarakat sesuai dengan kompetensi yang kita miliki.

Ini berlaku dalam persaingan dunia bisnis dan industri: Apa kompetensi yang kita miliki. Bukan lagi sekadar ijazah. Maka tidak mengherankan jika mereka yang bermodalkan gelar akademis semata kalah bersaing dengan orang yang gelar akademis pas-pasan, tapi memiliki kompetensi tinggi, dengan jiwa kepemimpinan, kedisiplinan, dan team work. Kabar baiknya, ini ada dalam pendidikan pesantren. Lebih dari itu, buah pendidikan pesantren adalah penanaman keimanan, keluasan ilmu, dan pembentukan karakter.