Tentang
Tulisan ini terinspirasi oleh kehidupan dan kebudayaan di Tunisia
Salah satu hikmah penciptaan-Nya adalah segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan: bumi dan langit, malam dan siang, bulan dan matahari, laki-laki dan perempuan. Ini menunjukkan ketunggalan Tuhan yang tidak memerlukan sandaran. Namun, banyak manusia mengingkari keberadaan-Nya dan menyembah akalnya sendiri, melawan fitrahnya sebagai makhluk yang membutuhkan Sang Pencipta. Akibatnya, mereka berbuat kerusakan di bumi. Sebagai makhluk berakal, manusia seharusnya menjaga keseimbangan dunia, tetapi kenyataannya, merekalah yang paling berpotensi merusak kelangsungan hidup di bumi karena akal sehat mereka sering kalah oleh sifat serakah.
Oleh karena itu, Tuhan mengutus Nabi dan Rasul untuk menyampaikan risalah ketuhanan dan menurunkan kitab sebagai pedoman hidup. Ada empat kitab utama: Taurat kepada Nabi Musa, Zabur kepada Nabi Daud, Injil kepada Nabi Isa, dan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad. Kitab-kitab ini mengajarkan tauhid, hikmah, kisah kaum terdahulu, tata cara interaksi antar makhluk, serta iman kepada yang gaib. Ajaran Tuhan memperkuat insting manusia yang cenderung kepada kebenaran. Namun, sebagian manusia menolak kebenaran ini dan melawan hukum Tuhan, sehingga mereka berbuat kerusakan. Sebagai khalifah, manusia memiliki peran besar dalam menciptakan kehidupan berperadaban dengan akal sebagai modal utama untuk membedakan yang baik dan buruk.
***
Sejarah mencatat bahwa kerusakan pertama kali yang dilakukan manusia disebabkan oleh perebutan pasangan. Qabil tidak rela menerima keputusan bahwa ia harus menikahi saudari kembar Habil, Labuda, sementara Habil menikahi saudari kembar Qabil, Iqlima, sesuai perintah Allah kepada ayah mereka, Nabi Adam as. Hawa nafsu telah membutakan hati Qabil, sehingga ia berambisi untuk menghabisi nyawa saudaranya sendiri demi mendapatkan Iqlima sebagai istri.
Seiring berjalannya waktu, peran wanita dalam strata sosial sering kali dianggap rendah. Mereka sering diposisikan hanya sebagai pemuas nafsu birahi. Seperti yang terjadi pada zaman Nabi Musa as. “Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan (sebagai pelayan). Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (Q.S Al-Baqarah : 49).
Tradisi ini terus merusak kejiwaan orang tua hingga muncul paradigma bahwa anak perempuan adalah aib bagi keluarga. Menguburnya hidup-hidup menjadi kenyataan pahit yang mereka terima. Bahkan, sebagian orang tua marah ketika mengetahui anak mereka perempuan. ”Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah. Lalu dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang diterimanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah, alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan.” (QS An-Nahl [16] : 58-59). Perlakuan terhadap wanita begitu rendah, di mana mereka diperlakukan seperti sampah setelah tidak lagi dibutuhkan.
Akhirnya, tibalah masa kelahiran manusia paripurna, Muhammad saw., yang datang membawa risalah sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira bagi seluruh alam semesta. Dengan syariat, hikmah, dan kelembutan yang diajarkan Tuhan, beliau menawarkan hidup yang lebih menyenangkan, menenangkan, dan sesuai dengan akal. Dalam waktu kurang lebih dua puluh tiga tahun, beliau berhasil membersihkan umat manusia dari kebodohan lahir dan batin, mengembalikan fitrah mereka yang bertuhankan Allah, serta mengajarkan cara terbaik menjalani kehidupan dunia.
Islam memuliakan wanita dengan sempurna, terbukti dari ajarannya yang mengatur segala aspek kehidupan wanita, mulai dari cara berpakaian, berjalan, berbicara, hingga bertatap mata. Islam juga menata hubungan antara pria dan wanita. Wanita yang dahulu hanya dianggap sebagai pemuas nafsu, melalui syariat Tuhan yang dibawa Nabi Muhammad, diangkat derajat, harkat, dan martabatnya. Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan, lalu ia berbuat baik kepada mereka, niscaya mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Selama berabad-abad, wanita sering kali diperlakukan tidak adil, hanya dianggap sebagai pelayan tanpa kasih sayang dan penghormatan. Setelah Nabi Muhammad datang memuliakan wanita dan mengangkat derajat mereka, fenomena hari ini menunjukkan bahwa beberapa wanita justru merendahkan diri mereka sendiri dengan memamerkan keindahan di hadapan banyak orang tanpa menjaga harga diri. Wanita sering disebut makhluk perasa karena Allah menganugerahi mereka dengan sifat kelembutan, keelokan, keanggunan, kebersihan, kasih sayang, dan kepedulian. Namun, banyak dari mereka menggunakan keistimewaan ini secara sembarangan, sehingga sering menjadi korban perasaan. Akibatnya, perasaan mereka sering dikecewakan, terjadi konflik batin, dan rusaknya pergaulan. Rasa malu sebagai perempuan mulai hilang, dan mereka lebih menyukai pujian dari pria yang kurang beriman, hingga akhirnya ada yang rela menyerahkan kehormatan mereka.
Setidaknya, ada tiga faktor yang menyebabkan kerusakan diri seorang wanita:
1. Kurangnya Pendidikan Agama
Kebodohan beragama adalah penyebab utama kerusakan seorang wanita. Agama adalah fondasi yang menentukan kekokohan atau kerapuhan seseorang dalam menjalani kehidupan. Pelajari agama dengan baik dan benar, lalu praktikkan dalam keseharian. Jika agamanya benar dan dasarnya kuat, maka wanita akan terjaga dari segala kerusakan. Walaupun menghadapi cobaan, dia akan tahu jalan kembali.
2. Kurangnya Perhatian Orang Tua
Kurangnya pendidikan agama sering kali disebabkan oleh kurangnya perhatian orang tua. Orang tua seharusnya memfasilitasi dan mendukung penuh anak-anaknya dalam mendapatkan pendidikan agama, terutama anak perempuan. Selain itu, orang tua juga memiliki peran besar dalam mengawasi perkembangan dan pergaulan anak-anaknya. Memperhatikan siapa teman mereka dan ke mana mereka pergi. Dengan demikian, gerak anak berada dalam kontrol orang tua. Jika anak melakukan kesalahan, segera dinasihati dan diluruskan.
3. Lingkungan yang Salah
Kesalahan dalam memilih pergaulan dapat mengakibatkan perubahan pola pikir dan perilaku anak. Sikap seseorang sering kali ditentukan oleh siapa dia berteman. Jika temannya baik, maka kebaikan lingkungan sekitarnya akan membentuknya menjadi pribadi yang baik. Sebaliknya, jika sekitarnya dipenuhi kerusakan, maka sedikit banyak hal itu akan merusak dirinya.
Masih banyak kekurangan yang harus segera kita benahi. Tulisan ini memang tampak berfokus pada perempuan, karena mereka memainkan peran penting dalam perbaikan kehidupan umat manusia. Sebuah ungkapan hikmah menyatakan, “Perempuan adalah tiang negara. Jika perempuannya baik, maka sentosa negaranya. Jika rusak perempuannya, maka hancurlah negara.” Oleh karena itu, tulisan ini menjadi risalah berisi pesan untuk ibu, bibi, saudari, muslimah, calon bidadari surga.
“Muslimah, bagaimana Allah dan Rasulullah tidak memuliakanmu? Engkau adalah ibu bagi anak-anak yang hebat, istri dari suami yang tangguh. Muslimah, sudahkah engkau berterima kasih kepada Rasulullah dengan meneladani ajarannya dan mendidik hati untuk mencintai serta merindukannya? Tanpa kehadirannya, mungkin hari ini kalian tak bisa menikmati indahnya dicintai dan dihormati. Hargailah jasanya dengan menjaga rasa malu sebagai mahkota kebesaranmu.
***
Muslimah, dunia terlalu buruk untuk menandingi kecantikanmu, terlalu hina untuk disandingkan dengan kemuliaanmu, dan terlalu jahat untuk dijadikan teman. Biarkan dunia mengakui kecantikanmu dengan menyembunyikan keanggunanmu. Jadikan dunia tunduk di bawah kemuliaanmu dengan bersikap acuh terhadap rayuannya. Biarkan dunia berserah padamu dengan memerangi segala tipu dayanya.
Tidak terlalu penting mengetahui referensi dari tulisan ini, tetapi jika kau penasaran, ketahuilah bahwa referensi tulisan ini adalah hati. Hati adalah referensi hakiki yang paling direkomendasikan, karena hati tidak diproduksi untuk mengkhianati dan tidak diciptakan untuk menyalahkan kebenaran. Maka, tulisan ini seharusnya sampai ke hati. Hati yang bersih akan sudi menjawab dan menyeru panggilan suci.
Sebagai penutup dari pesan ini, ketahuilah bahwa tulisan ini dinamai “Bunga Lili di Tepi Gunung Merapi” sebagai simbol istimewa sekaligus doa, supaya muslimah laksana bunga lili di tepi Gunung Merapi, yang keelokannya tidak bisa dinikmati sembarang mata, semerbaknya tidak bisa dihirup setiap hidung, dan keberaniannya tidak bisa disentuh semua tangan. Hanya lelaki tangguh yang bisa melihatnya karena rela mendaki gunung, hanya pria sejati yang bisa memilikinya karena bernyali untuk berdiri di tepi Gunung Merapi, meski nyawa menjadi taruhannya. Semoga tahun ini menjadi musim semi bagi bunga lili untuk segera disemai oleh petani-petani berhati putih, seputih bunga lili.