Belajar dari Budaya Bisnis Tiongkok

Orang China sering kali digambarkan sebagai pekerja keras, tekun, hemat, dan kaya. Selain itu, barang-barang di toko mereka biasanya lebih murah sehingga menarik banyak pelanggan—meskipun perbedaannya tidak begitu besar dibandingkan dengan toko lain, seperti milik Pak Haji. Di tingkat yang lebih luas, China memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, meskipun tidak secepat sebelumnya. Pada awal 2020-an, pertumbuhan ekonominya sekitar 6% saja. Perlambatan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pandemi COVID-19, ketegangan perdagangan dengan negara lain, dan pergeseran dari ekonomi yang bergantung pada ekspor menjadi lebih fokus pada konsumsi dalam negeri.

Meskipun begitu, China tetap menjadi salah satu ekonomi terbesar di dunia dan berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi global. Pemerintahnya kini mendorong inovasi teknologi dan sektor layanan untuk pertumbuhan yang lebih stabil dan berkelanjutan. Selain itu, China juga berinvestasi dalam infrastruktur dan berupaya mengurangi ketimpangan antar daerah. Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang begitu besar, China mampu bangkit dari masalah ekonomi yang mendera mereka 20 tahun lalu. Sekarang, makin melesat dan menjadi raksasa ekonomi dunia.

Mengapa bisa demikian? Ada apa dengan budaya bisnis China? Kemajuan yang dicapai oleh China bukan sesuatu yang sederhana. Budaya bisnis di China dipengaruhi oleh sejarah, tradisi, dan nilai-nilai sosial yang kuat. Prof. Michael Harris Bond, seorang ahli dalam psikologi sosial dan budaya, menekankan bahwa nilai-nilai Konfusianisme yang menekankan harmoni, hierarki, dan hubungan pribadi masih memengaruhi cara berbisnis di China (Bond, 1991).

Berikut adalah beberapa aspek utama yang menonjol dalam budaya bisnis China antara lain:

Pertama, Guanxi. Ini adalah konsep yang sangat penting dalam bisnis China, yang mengacu pada jaringan sosial dan hubungan pribadi. Guanxi berarti membangun dan memelihara hubungan yang baik dengan rekan bisnis, yang sering kali dianggap lebih penting daripada perjanjian kontraktual formal. Menurut Yadong Luo, seorang pakar dalam manajemen bisnis internasional, Guanxi menyediakan sumber daya sosial yang dapat membantu mengatasi hambatan pasar dan birokrasi di China (Luo, 2007).

Kedua, hierarki dan kehormatan. Struktur organisasi di perusahaan China biasanya hierarkis, dan memberikan penghormatan kepada senioritas dan otoritas adalah hal yang penting. Keputusan sering kali dibuat oleh pimpinan tertinggi, dan menunjukkan rasa hormat kepada atasan adalah bagian penting dari etika bisnis. Ini hampir sama dengan budaya Jepang, yang sangat menghormati atasan dan menunjukkan loyalitas yang tinggi.

Ketiga, Komunikasi tidak langsung. Dalam komunikasi, orang China cenderung menggunakan bahasa yang tidak langsung dan menghindari konfrontasi langsung. Mereka sering menggunakan eufemisme dan kata-kata yang halus untuk menyampaikan pesan negatif atau kritik.

Keempat. Kerja keras. Budaya kerja di China sangat menekankan pada etos kerja yang kuat, dengan jam kerja yang panjang dan dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaan. Loyalitas terhadap perusahaan dan ketahanan menghadapi tantangan dianggap sebagai nilai yang penting. Orang China sanggup bekerja di bawah tekanan dan tuntutan kerja yang berat.

Kelima, nilai kolektivisme. Budaya China cenderung lebih kolektivis dibandingkan budaya Barat, yang berarti bahwa kepentingan kelompok atau perusahaan dianggap lebih penting daripada kepentingan individu. Prof. Geert Hofstede, seorang ahli dalam studi budaya organisasi, mengungkapkan bahwa China memiliki nilai tinggi dalam dimensi kolektivisme, menunjukkan preferensi yang kuat untuk kelompok dan harmoni sosial (Hofstede, 2010). Mereka memiliki tingkat kepedulian yang tinggi terhadap keluarga, saudara, hingga perusahaan tempat bekerja. Mereka juga memiliki sikap hormat yang sangat tinggi kepada leluhur.

Bisa kita katakan bahwa ajaran Islam mengandung nilai-nilai fundamental dalam etika bisnis yang, sayangnya, masih belum sepenuhnya diamalkan. Nilai-nilai seperti disiplin, kejujuran, hemat, dan kerja keras sudah lama dikenal dalam etika bisnis dan perdagangan Islam. Namun, implementasi nilai-nilai tersebut dalam praktik bisnis sehari-hari masih belum menjadi budaya bersama.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita belajar dari kemajuan ekonomi negara lain, seperti China, yang menerapkan etika bisnis yang kuat. Memadukan nilai-nilai Islam dengan praktik bisnis yang terbukti berhasil di negara lain dapat menjadi langkah penting untuk meningkatkan etika bisnis dan kesejahteraan ekonomi umat. Ini bukan hanya soal meniru, tetapi juga mengadaptasi nilai-nilai positif yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dalam konteks modern.

Daftar Pustaka

Bond, Michael Harris. 1991. Beyond the Chinese Face: Insights from Psychology. Oxford University Press.

Luo, Yadong. 2007. “Guanxi and Business”. Asia Pacific Journal of Management, Vol. 24.

Hofstede, Geert. 2010. Cultures and Organizations: Software of the Mind. McGraw-Hill Education.

Skip to content