
Dalam sebuah hadits yang masyhur sekali di kalangan santri dikatakan bahwa sebuah pekerjaan, baik-buruknya ditentukan oleh niatnya dan caranya. Bahkan niat inilah yang menjadi pembeda antara adat dan ibadah. Makan yang menjadi kebiasaan dan kebutuhan manusia bisa saja bernilai ibadah jika diniatkan untuk ibadah dan dilakukan dengan cara yang diajarkan agama. Dengan niat inilah bagaimana seseorang menjadikan seluruh hidupnya dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi semua bernilai ibadah. Karena itu, guru kita selalu mengajarkan untuk meniatkan hal-hal baik dahulu setiap kali hendak melakukan suatu pekerjaan.
Namun, tidak selesai sampai di sana. Tidak cukup sebuah pekerjaan hanya dinakhodai oleh niat baik kemudian dibiarkan begitu saja tanpa capaian yang jelas. Seorang mukmin diajarkan untuk konsisten dan paten dalam menuntaskan sebuah pekerjaan. Baik yang sifatnya ibadah ritual ataupun muamalah. Sebab, niat baik sekalipun jika hanya di awal saja tanpa ada pembaruan akan menyimpang bahkan berbalik arah. Jadi, sangat tidak baik hanya mencukupkan diri dengan niat baik saja. Perlu kita ketahui bersama, bahwa di samping hadits yang menganjurkan untuk niat sebelum melakukan sebuah amal dan menjelaskan tentang pentingnya peran niat dalam sebuah pekerjaan, ada hadits yang terang menggambarkan tentang inti yang melengkapi niat sebagai penentu baik-buruknya sebuah amalan. ‘Sesungguhnya amalan itu tergantung bagaimana akhirnya.’ Kalimat ini merupakan ujung dari hadits panjang yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahih-nya. Hadits tersebut menjelaskan tentang perlunya menjaga niat baik yang sudah dilakukan sebelum melakukan sebuah pekerjaan agar kebaikannya tetap terpelihara sampai tuntasnya sebuah amalan. Sebab jika tidak demikian, akan ada banyak amal baik yang sudah diniatkan ibadah menyimpang kiblat menjadi suatu hal yang sia-sia. Hal itu bisa ditandai dengan berakhirnya sebuah pekerjaan sebelum usai.
Ketuntasan dari sebuah pekerjaan merupakan sebuah keharusan. Baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Pekerjaan yang tidak dituntaskan dengan baik hanya akan menimbulkan masalah dan menambah pekerjaan lainnya. Dalam hal ini, saya mengambil ‘belajar’ sebagai contoh. Dalam proses mempelajari ilmu pengetahuan, harus dilakukan secara utuh. Jika tidak yang terjadi adalah merebaknya pemahaman yang menyimpang. Karena itu, dalam tradisi Islam ada yang disebut dengan istilah ‘khataman’. Istilah yang digunakan untuk menunjukkan telah berakhirnya proses pembelajaran dari suatu kitab tertentu. Biasanya saat khataman, sang guru akan memberikan ijazah sebagai tanda bahwa murid-muridnya yang turut serta dalam pengajian tersebut telah mengkhatamkan kitab tertentu lengkap dengan penjelasan dan catatannya. Sehingga bukan hanya sekadar selesai membaca kitab begitu saja, tetapi juga dengan pemahamannya sebagai modal pengamalan. Sehingga dengan khataman ini tidak terjadi lagi penyimpangan paham dalam beragama. Tidak ada lagi kelompok yang mudah menyalahkan kelompok lain. Semakin minim rasisme di antara umat beragama. Sebab belajarnya tuntas. Akibatnya, ilmu yang diperoleh utuh.
Ahad, 15 Okt. 24, Alhamdulillah. Anak-anak santri kelas 2A telah mengkhatamkan kitab Mutammimah, kitab acuan dalam disiplin ilmu sharaf di Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza. Dalam Agama Islam, Bahasa Arab memiliki peran yang begitu penting sebagai kunci yang membuka wawasan seorang muslim untuk mengenal lebih jauh tentang ajaran Islam. Mengapa demikian? Sebab agama ini, referensi ajarannya diturunkan dengan Bahasa Arab, Al-Qur’an dan Hadits. Sharaf yang merupakan ilmu gramatikal dalam Bahasa Arab mengajarkan tentang bagaimana menentukan kata dasar dan menjadikannya kata berimbuhan. Ada 38 pola kata kerja yang ada di dalam Bahasa Arab. Alhamdulillah anak-anak kita kelas 2A sudah khatam bacaan dan hafalannya. Merupakan sebuah kesenangan yang luar biasa bagi seorang guru yang bisa menyertai anak-anak dalam proses belajar. Bukan tidak sulit, kami, guru dan murid juga mengalami gangguan selama prosesnya berlangsung. Bagaimana anak-anak berjibaku melawan kantuk, bagaimana guru harus sabar menjabarkan. Walau demikian, sampai juga pada halaman terakhir kitab ini. Kami bersama-sama membacanya dengan suka ria seolah lelah selama satu tahun lamanya terlupakan begitu saja. Lalu, dengan sedikit bangga lisan kami bersama-sama berhamdalah.
Bagi sebagian orang mungkin hal ini biasa saja. Tidak bernilai istimewa. Apalagi memang kitab yang dikhatamkan hanya kitab tipis yang tidak lebih dari lima puluh halaman. Namun, saya tidak diajarkan demikian. Setiap pencapaian kecil dalam sebuah kebaikan berhak untuk dirayakan. Tidak dilarang. Bahkan dianjurkan. Sebab perayaan merupakan bahasa lain dari ekspresi syukur atas anugerah Tuhan. Jika yang tamat main game saja boleh euforia. Kita yang tamat belajar lebih berhak untuk itu. Khataman bukan penutupan. Ia hanya akhir dari lembaran untuk memulai awal yang lain. Untuk itu, lewat tulisan ini saya merayakan dengan sederhana khataman kitab Mutammimah. Sebagai guru, saya menolak melewati kebahagiaan ini begitu saja. Ada rasa haru campur bahagia saat melihat mereka dengan lugas menjawab pertanyaan saya. Semoga hal ini menjadi momen mereka mendapatkan kunci yang membuka khazanah ajaran agama. Semoga hal ini bisa memotivasi semua guru di manapun berada untuk tuntas mengajarkan ilmu kepada anak-anak bangsa. Tinta kami, guru dan penuntut ilmu lebih berat di timbangan dari darah syuhada’.