Memperluas Medan Juang Santri Di Era Digital
Judul buku: Santri Milenial
Penulis: Muhammad Khozin
Penerbit: Buana Ilmu Populer
Tahun terbit: 2018
Jumlah halaman : xvii + 184 halaman
ISBN: 978-602-455-599-3

Istilah “santri milenial” mungkin terasa paradoks. Terutama jika istilah santri dipahami dengan konotasi kampungan, kurang pergaulan, dan “tidak modern”, dengan gaya hidup bersahaja. Sementara milenial biasanya dikaitkan dengan generasi muda (perkotaan) yang hidup, merasakan, dan tak terpisahkan dari teknologi digital, internet, media sosial, dunia virtual, dan semacamnya. Tentu saja hal ini keliru jika kita melihat perkembangan pesantren hingga saat ini yang terbuka terhadap kemodernan, termasuk sains dan teknologi. Kalangan santri pun tidak bisa dipisahkan dari teknologi digital dan terbuka terhadap beragam informasi “dunia luar”. Santri tidak gaptek dan kuper.

Identitas seorang santri di tengah-tengah generasi milenial justru bersifat unik, sebagai perpaduan antara budaya pesantren—yang setia dengan nilai-nilai keislaman dan keteladanan salaf saleh—dengan budaya modern. Kaum santri tetap teguh pada tradisi dan tidak larut dalam fantasi generasi milenial; santri tidak menutup diri, tetapi mewarnai dengan caranya sendiri yang khas pesantren.

Sebagaimana dipaparkan oleh Muhammad Khozin dalam buku Santri Milenial bahwa santri hidup dengan nilai-nilai khas pesantren memiliki peranan penting dalam mewarnai kehidupan generasi milenial dengan cara-cara yang positif. Penulis yang berlatar pendidikan pesantren dan berpengalaman di dunia jurnalistik, serta aktif di media sosial ini, telah menunjukkan bagaimana kehidupan santri dengan nilai-nilai kepesantrenannya dapat tetap menjaga identitas kesantrian tanpa larut dalam arus perubahan zaman, bahkan memberikan kontribusi positif, baik dalam bidang dakwah, pendidikan, hingga entrepreneurship dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Santri yang menjalani kehidupan khas pesantren—salat, mengaji, belajar, dan lainnya—tetap dapat bersinggungan dengan kehidupan ala milenial dengan penuh rasa percaya diri dan memiliki peranan penting di dalamnya.

Buku Santri Milenial tersusun secara sistematis dan terdiri atas lima bab yang saling berhubungan dan menjelaskan tentang kesantrian dan kemilenialan, serta apa saja peranan santri di dalamnya. Bab pertama membahas tentang kehidupan ala santri. Bahwa santri bukan hanya sekadar “sarungan”—sebuah gambaran yang paling melekat dalam sosok seorang santri. Santri itu hidup dengan nilai-nilai. Santri itu sanggup nerusaken tuntunan rasul Illahi (mampu meneruskan tuntunan rasul ilahi) (hal.3).  

“Saya bersyukur jadi santri,” kata penulis. Hal ini karena telah menemukan nilai-nilai baik seperti: Sin: Satrul al-aurah (menutup aurat); Nun: Naibul ulama (wakil dari ulama); Ta’: Tarku al-ma’ashi (meninggalkan kemaksiatan); Ra’: Ra’isul ummah (pemimpin umat) (hal.7).

Nilai-nilai ini didapatkan dalam menjalani kehidupan pesantren yang bersahaja, mandiri, dan taat pada kiai. “Santri itu orang-orang yang ikut kata dan perjuangan kiai entah ketika kita belajar di pesantren atau tidak lagi di sana. Sebab, sepanjang menurut pada kiai ya kita tetap Santri” (hal.9).

Pendidikan pesantren juga membuahkan nilai-nilai unggul yang tidak terdapat pada sekolah umum. Nilai-nilai unggul ini adalah kemandirian, solidaritas, disiplin, kemampuan bahasa asing (Arab dan Inggris), memaknai nilai kehidupan, lebih paham ilmu agama, mengikuti trend IT, hormat pada kiai dan senior, semangat silaturahmi (hal.16-35). Nilai unggul ini terbentuk oleh pola hidup pesantren yang berfokus pada ibadah, menuntut ilmu, mengaji, bergaul dan berinteraksi dengan sesama santri maupun ustaz dan kiai.

Terkait dengan tren IT, santri tetap mengikutinya sesuai dengan ketentuan pesantren. Lagi pula “santri zaman now tidak bisa dijauhkan dari perkembangan ilmu informasi teknologi. Bahkan, santri tetaplah bagian dari kaum milenial yang hidup di era cyber culture, tak perlu dan tak bisa santri menjauhkan diri dari perkembangan IT yang berlari semakin kencang dalam jeda sepuluh tahun terakhir” (hal.31).

Yang diperlukan adalah bagaimana bersikap bijak, kritis, dan memberikan pengaruh positif di jagat dunia maya. “Posting yang positif, inspiratif, dan menjauhi ujaran kebencian atau provokasi yang tidak perlu sudah menjadi agenda tersendiri di kalangan pesantren. Bila perlu, mereka membuat aneka posting untuk meng-counter hoax yang semakin marak” (hal.32).

Bab kedua membahas generasi milenial, suatu generasi yang tumbuh ketika teknologi digital mulai menjamur. Lalu kemudian muncul generasi Z ketika penetrasi teknologi digital semakin mendalam. Ada yang menyebutnya sebagai generasi strawberry, yang menggambarkan generasi yang menarik, penuh semangat, tetapi rapuh, keropos, dan mudah terombang-ambing. Karena itu, generasi ini sangat membutuhkan penanaman nilai-nilai moral yang kuat sehingga tidak mudah terjebak pada pengaruh negatif.

Bab ketiga merupakan pembahasan utama dari buku ini, santri era milenial. Bahwa santri tidak menolak teknologi informasi. Santri dengan kesibukannya mempelajari agama, beribadah, dan menerapkan disiplin pesantren, tetap mengikuti perkembangan informasi. Bahkan bisa memiliki peran positif di dalamnya.

Misalnya, dengan aktif di media sosial, seorang santri bisa memilih apakah ingin menjadi influencer (pemberi pengaruh) atau follower (penerima informasi). Sebagai influencer artinya setiap santri punya tanggung jawab menyebarkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua alam semesta. Sedangkan menjadi follower artinya setiap santri punya tanggung jawab untuk selalu belajar dari siapapun (hal.

Meskipun akses terhadap penggunaan teknologi digital sangat dibatasi di pesantren, namun bukan berarti menolak sepenuhnya. Pesantren menentukan waktu-waktu khusus bagi santri untuk memanfaatkan teknologi digital—biasanya dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas. Apalagi sekarang ini banyak pesantren yang memiliki laboratorium komputer dan terkoneksi dengan internet. Karena itu, keterbatasan mereka dalam mengakses IT tidak membatasi ruang kreativitas dan intelektualitas seorang santri.

Para santri pun dapat memanfaatkan teknologi digital dan media sosial untuk berdakwah dan menyampaikan ajaran Islam. Sebab di era digital ini, media sosial sudah menjadi sarana dakwah yang efisien. Ketika hal ini dilakukan, dakwah secara online itu bisa diakses dan ditonton bukan hanya seribu atau dua ribu orang, tapi jutaan orang. Ini dikatakan dakwah zaman now (hal.77).

Para para santri juga dapat memainkan peran positif dengan konten-konten yang mengandung pesan-pesan positif, memerangi hoax, ujaran kebencian, radikalisme, dan lainnya. Hal ini ditunjang oleh bekal ilmu yang telah mereka pelajari di pesantren, sehingga ilmu itu menjadi bermanfaat bagi banyak orang. Menyebarkan ilmu dan pesan-pesan kebaikan.

Bab empat, membahas santripreneur, yaitu seorang santri yang memiliki jiwa pengusaha. “ Pesantren sangat cocok digunakan untuk penggemblengan santripreneur ini karena sudah punya tradisi yang mengakar kuat. Nilai-nilai entrepreneurship sudah diajarkan dan melebur ke dalam nilai-nilai Pesantren seperti kemandirian, kreativitas, solidaritas, dan lain sebagainya” (hal.106).

Sejumlah hal yang diperlukan untuk menjadi sentripreneur juga dijelaskan dalam buku ini. Misalnya, pilar utama memulai usaha, analisis usaha, cara menemukan peluang, niat dan motivasi menjadi santripreneur, manajemen operasional, manajemen waktu, dan seterusnya.

Terakhir bab lima, nasionalisme santri. Bagian ini memaparkan bagaimana seorang santri memiliki jiwa nasionalisme dalam lingkup pendidikan pesantren yang terdiri atas santri-santri dari beragam latar belakang. Selain itu, pendidikan keagamaan di pesantren bukan berarti terbentuknya sikap eksklusif, apalagi radikal. Tidak. Pendidikan Islam di pesantren dijiwai oleh semangat toleran dan saling menghormati keragaman.

Sejarah mencatat bagaimana kaum santri memiliki jasa besar terhadap bangsa ini. Peristiwa 10 November 1945 merupakan salah satu gebrakan santri yang paling fenomenal di Indonesia tapi jarang diketahui oleh masyarakat, yaitu ketika mendorong pejuang untuk memberi perlawanan sengit terhadap penjajah pada peristiwa pertempuran di Surabaya (hal.167). “Seorang santri harus bernafaskan nasionalisme dan bercorak warna merah putih, Karena leluhur mereka sudah memperjuangkan kemerdekaan,” tegas penulis (hal.167).

Buku Santri Milenial menawarkan pembahasan yang menarik terkait santri dan kehidupan di era digital yang dibanjiri dengan informasi, gaya hidup dan pola pikir yang sangat heterogen. Buku ini dengan baik menunjukkan berbagai peluang dan peran positif yang dapat dilakukan oleh santri di tengah ramainya jagat dunia maya. Hal ini menyadarkan kita betapa besar dan pentingnya peranan kaum santri, alih-alih berada di pinggiran keramaian. Sebagai pelajar yang mengenyam pendidikan agama, moral, dan juga ilmu pengetahuan, santri justru memiliki bekal yang memadai untuk mewarnai jagat dunia maya dengan nilai-nilai positif. Karena itu, membaca buku ini membuat kita semakin optimis dengan peluang besar yang dapat diperankan oleh kalangan santri.

Meskipun demikian, buku ini kurang menggali bagaimana peranan tersebut dilakukan oleh santri ketika masih mengenyam pendidikan di pesantren dengan segala keterbatasannya dalam menggunakan teknologi digital. Kebanyakan peranan itu dimainkan di luar pesantren (setelah selesai nyantri). Contoh-contoh yang ditunjukkan pun para figur publik berlatar pendidikan pesantren yang dari segi usia bukan lagi generasi milenial.

Apakah santri—selagi masih di pesantren—dimungkinkan untuk mengelola website, blogsite, kanal youtube, facebook, instagram, dan lainnya dengan konten yang mengandung unsur dakwah dan pendidikan, tidak terjawab dan luput dari pembahasan. Terlebih santripreneur, bagaimana hal itu dilakukan ketika masih nyantri? Mungkinkah bagi santri melahirkan karya-karya kreatif maupun produk-produk wirausaha dan kemudian memasarkannya melalui digital marketing? Juga tidak terjawab. Namun setidaknya, buku ini menunjukkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang telah membekali santri dengan kemampuan yang diperlukan untuk berperan, berkarya, dan berinovasi, serta memperluas medan juang mereka di jagat dunia maya.

Buku ini sangat relevan bagi kalangan santri dan direkomendasikan untuk dibaca sebagai pembuka wawasan tentang luasnya potensi dan peranan kalangan pesantren, serta menjadi motivasi untuk lebih mengembangkan kemampuan di bidang teknologi digital sebagai sarana dakwah dan pendidikan. Sebab santri bukan hanya kalangan sarungan yang belajar agama, tetapi juga mampu berkiprah di era digital dengan gaya khas pesantren.[]