Rasulullah Saw. Menghargai Ahli Bahasa

Sejak masa turunnya wahyu, Rasulullah Saw. sangat menghargai keahlian berbahasa dan orang yang ahli di bidang ini. Terbukti sekretaris Rasulullah Saw., Zaid ibn Tsabit, adalah seorang ahli bahasa yang luar biasa dan amat dipercaya oleh beliau. Zaid memiliki kemampuan dalam menulis dan memahami berbagai bahasa, termasuk Ibrani dan Suryani. Keahliannya ini sangat bermanfaat bagi Rasulullah Saw. dan masyarakat Muslim pada masa itu, terutama dalam menulis wahyu dan menulis surat-surat penting.

Selain itu, Zaid memainkan peran penting dalam pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., memastikan bahwa setiap ayat dituliskan dengan benar dan tersusun rapi. Ia memimpin tim yang ditugaskan untuk mengumpulkan dan menyusun al-Qur’an dalam satu mushaf di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan kemudian diperbarui pada masa Khalifah Utsman ibn Affan.

Peran Zaid sebagai sekretaris dan ahli bahasa menunjukkan betapa pentingnya literasi dan keahlian dalam bahasa untuk menjaga dan menyebarkan pesan-pesan penting dalam Islam. Literasi dan keahlian bahasa yang dimiliki Zaid menjadi salah satu faktor kunci dalam pemeliharaan dan penyebaran ajaran Islam yang autentik hingga saat ini.

Zaid ibn Tsabit adalah seorang Anshar dari Madinah. Ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, umurnya baru 11 tahun. Anak kecil ini masuk Islam bersama keluarganya. Ia mendapat keberkahan didoakan oleh Rasulullah Saw. Ia pun tumbuh sebagai seorang muslim yang berjuang bersama Rasulullah Saw. sekaligus sebagai tokoh intelektual yang memiliki beragam keunggulan. Ia tidak henti-hentinya menghafal al-Qur’an, menuliskan wahyu untuk rasulnya, serta unggul dalam ilmu dan hikmah.

Ketika Rasulullah Saw. mulai menyampaikan dakwahnya ke seluruh negeri di luar Madinah dan mengirimkan surat kepada para raja dan kaisar dunia, beliau mengutus Zaid mempelajari bahasa asing, dan ia pun berhasil menguasainya dengan cepat.

Ibn Abbas pun sangat menghormati Zaid. Suatu ketika Zaid hendak pergi dengan berkendara, kemudian Ibn Abbas memegang tali kendali tunggangannya. Zaid pun berkata kepada Ibn Abbas, “Tidak perlu begitu, wahai putra paman Rasulullah.” Ibn Abbas menjawab, “Tidak, beginilah seharusnya yang kami lakukan terhadap ulama kami.”

Pengakuan para sahabat terhadap Zaid menunjukkan sejumlah keutamaannya. Ibn Abbas mengungkapkan bahwa para tokoh terkemuka dari kalangan sahabat mengakui Zaid adalah orang yang dalam ilmunya.

Qabishah menyebutkan bahwa di Madinah, Zaid memegang kepemimpinan dalam bidang peradilan, fatwa, qira’ah, dan faraid.

Sementara Tsabit ibn Ubaid mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih humoris di rumahnya dan sosok yang lebih disegani di majelisnya selain Zaid.”

***

Sewaktu terjadi perang Yamamah, banyak dari ahli membaca dan menghafal al-Qur’an yang gugur syahid. Maka Umar ibn al-Khattab bergegas menghadap Khalifah Abu Bakr dan dengan gigih memohon kepadanya agar segera mengumpulkan al-Qur’an sebelum para qari dan huffazh itu gugur semua sebagai syuhada. Khalifah akhirnya meminta petunjuk kepada Rabbnya dengan salat istikharah, lalu berunding dengan para sahabatnya.

Kemudia Khalifah memanggil Zaid dan berkata kepadanya, “Kamu adalah seorang anak muda yang cerdas, kami tidak meragukanmu.” Khalifah lalu memintanya agar segera memulai pengumpulan al-Qur’an bersama dengan para ahli yang berpengalaman di bidang ini.

Zaid bangkit memenuhi tugas ini di mana masa depan Islam sebagai agama bertolak dari tugas tersebut. Ia mengerahkan segala cara untuk mengumpulkan ayat-ayat dan surat demi surat dari hafalan para huffazh dan dari tulisan. Dengan menimbang, membandingkan, dan memeriksa satu dengan lainnya, akhirnya ia dapat menghimpun al-Qur’an yang tersusun dan teratur rapi.

Zaid mengakui betapa beratnya tugas suci dan mulia itu. Ia mengatakan, “Demi Allah, seandainya mereka memintaku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, itu tentu lebih mudah kurasa bagiku daripada perintah menghimpun al-Qur’an.”

Tugas itu ia laksanakan dengan sebaik-baiknya. Bahkan di masa berikutnya, di masa Khalifah Utsman ibn Affan, ia diminta kembali menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf dengan merujuk kepada mushaf sebelumnya.

Demikianlah, peran seorang ahli bahasa, dengan kemampuannya ia melayani agama Islam dengan literasi sehingga sumber utama ajaran Islam, al-Qur’an, tetap otentik sebagai rujukan umat Islam hingga sekarang. Dan peranan ini dilanjutkan oleh para ulama dan ilmuwan muslim yang menghasilkan karya-karya besar yang membangun peradaban Islam ke puncak kejayaan.

Pustaka

Khalid Muhammad Khalid. 2013. Biografi 60 Sahabat Nabi. Jakarta: Ummul Qura.

Skip to content