Puncak Ilmu Adalah Akhlak
Ustaz Saepul Anwar membahas tentang akhlak dalam kajian Dza ‘Izza Inteleksia, Selasa (1/10/2024).

Akhlak merupakan puncak dari pencapaian manusia yang beradab dan berpengetahuan. Seorang yang mampu memuliakan orang lain dengan adab dan akhlaknya, itulah manusia yang sejati, yang memiliki kemuliaan. Ilmu, tanpa akhlak, tidak memiliki arah dan tujuan yang benar. Akhlak menjadi pijakan yang menuntun seseorang menuju kesempurnaan dalam segala aspek kehidupannya, baik dalam berhubungan dengan sesama manusia, maupun dengan Tuhannya.

Akhlak kepada Allah Swt: Mengarahkan Hati pada Pengenalan dan Ketaatan

Akhlak pertama yang harus dimiliki manusia adalah kepada Sang Pencipta, Allah Swt. Sebagai hamba, kita harus mengenal dan mengimani-Nya dengan segenap jiwa. Tanpa mengenal Allah, seseorang akan kehilangan arah dalam hidupnya, terjebak dalam kegelapan yang tiada berujung. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq, “Siapa menyembah pada Zat yang Mahamulia, maka ia akan menjadi mulia. Dan siapa yang menyembah pada berbagai hal yang nista, maka ia menjadi nista.”

Pengakuan akan keesaan Allah dan ketaatan dalam beribadah kepada-Nya menjadi cerminan akhlak yang paling dasar. Lebih dari itu, berprasangka baik kepada Allah adalah puncak dari pengakuan seorang hamba akan keadilan dan kebesaran-Nya. Dengan mengarahkan hati pada pengenalan dan ketaatan kepada Allah, seorang hamba akan mencapai kemuliaan yang sejati.

Akhlak kepada Rasulullah saw: Mengikuti Jejak Manusia Terbaik

Rasulullah saw. yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai manusia berbudi luhur (QS. Al-Qalam: 4), adalah teladan utama bagi umat Islam. Mengikuti sunnah dan meneladani akhlak beliau bukan sekadar kewajiban, tetapi jalan untuk meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. Kisah hidup Rasulullah yang penuh hikmah menjadi tuntunan bagi setiap generasi Muslim. Para ulama, melalui berbagai karya seperti Ar-Rahiqul Makhtum dan Fiqhus Sirah, terus berupaya mengenalkan pribadi Rasulullah kepada umat, agar nilai-nilai luhur yang beliau bawa tetap hidup dan menyinari kehidupan kita.

Akhlak kepada Al-Qur’an: Menjadikan Wahyu Sebagai Pedoman Hidup

Al-Qur’an, sebagai firman Allah, merupakan petunjuk hidup yang sempurna. Namun, tidak cukup hanya membacanya; seorang Muslim dituntut untuk mengkaji dan mengamalkan setiap ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan akhlak yang benar kepada Al-Qur’an, kita menempatkannya sebagai sumber utama kebijaksanaan dalam menghadapi segala persoalan hidup, serta menjadikannya landasan dalam berperilaku.

Akhlak Kepada Guru: Adab di Atas Ilmu

Para guru telah memperkenalkan kita pada kemanusiaan dan adab, sehingga kita menjadi manusia yang berbudaya. Ulama pun selalu menekankan pentingnya adab dalam menuntut ilmu, sebab tanpa adab, sulit merasakan keberkahan ilmu.

Syaikh Ibnu Athaillah pernah berkata, “Saya mempelajari adab dari para ulama yang tidak dapat saya pelajari dari kitab-kitab.”

Abdullah bin Mubarok mengatakan, “Saya mempelajari adab selama 30 tahun dan ilmu selama 20 tahun. Apa yang saya pelajari selama 20 tahun itu tidaklah bermakna tanpa adab.”

Seorang murid Imam Ibnu Jauzi bercerita, “Kulihat ada 5.000 orang hadir di majelis Imam Ibnu Jauzi. Hanya 500 orang yang mencatat, sisanya menyimak adab beliau.”

Para ulama berkata, “Al-adabu fauqal ilmi.” Adab lebih tinggi daripada ilmu. Tanpa adab, ilmu kehilangan makna. Adab yang baik membawa kita pada pemahaman yang lebih bijaksana, menjadikan ilmu sebagai bekal untuk kehidupan.

Akhlak dalam Keluarga dan Lingkungan Sosial: Menjalin Harmoni

Salah satu akhlak paling penting yang dituntut dari seorang Muslim adalah kepada orang tua. Allah Swt. dengan tegas memerintahkan agar kita berbakti kepada kedua orang tua (QS. Al-Isra’: 23). Rasulullah pun menegaskan bahwa keridhaan Allah terletak pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan mereka. Kesadaran akan pentingnya berbakti kepada orang tua membawa kita pada pemahaman bahwa kita tidak akan pernah mampu membalas jasa mereka. Namun, dengan akhlak yang baik, kita dapat mendekati pengabdian sempurna.

Selain kepada keluarga, akhlak juga perlu ditunjukkan dalam kehidupan sosial, baik kepada saudara, tetangga, maupun dalam interaksi pekerjaan. Berbuat adil, saling menolong, dan menjaga amanah merupakan bentuk akhlak yang mencerminkan iman yang matang.

Akhlak dalam Dunia Kerja dan Kepemimpinan: Integritas dan Tanggung Jawab

Dalam Islam, bekerja bukan hanya soal mencari nafkah, tetapi juga bentuk ibadah kepada Allah. Oleh karena itu, bekerja harus dilakukan dengan komitmen dan integritas. Akhlak yang baik dalam bekerja tidak hanya menghindarkan seseorang dari dosa, tetapi juga mengundang berkah dan kebahagiaan.

Begitu pula dalam kepemimpinan. Kepemimpinan bukan soal status atau kekuasaan, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Pemimpin harus menyadari peran mereka sebagai pelayan bagi rakyat, sebagaimana nasihat Abu Muslim Al-Khaulani kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, bahwa pemimpin sejatinya adalah “orang upahan” yang harus bekerja demi kemaslahatan umat.

Akhlak sebagai Penuntun Hidup

Akhlak adalah jiwa dari ilmu dan perbuatan manusia. Tanpa akhlak, ilmu kehilangan tujuannya dan hanya menjadi alat untuk memenuhi ambisi pribadi. Dengan akhlak, kita akan mencapai kebijaksanaan, kebahagiaan, dan keberkahan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Akhlaklah yang menuntun kita untuk mengenal Allah, mencintai Rasulullah, memahami Al-Qur’an, dan menjalani kehidupan yang seimbang dalam keluarga, masyarakat, dan dunia kerja. Puncak dari segala ilmu adalah ketika kita mampu memanifestasikan akhlak mulia dalam setiap langkah kehidupan.