Memahami Akar Kekerasan dan Cara Pencegahannya
Lingkungan belajar yang nyaman dan jauh dari kekerasan akan membentuk mental yang sehat. Foto: Bayu Adjie.

Maraknya kasus kekerasan di berbagai segmen masyarakat, termasuk lingkungan sekolah, mencerminkan betapa rapuhnya fondasi sosial kita dalam menghadapi permasalahan ini. Kekerasan yang semula hanya terlihat di ruang-ruang publik kini telah merambat ke tempat yang seharusnya menjadi lingkungan aman dan nyaman bagi generasi muda. Dari kekerasan fisik hingga perundungan mental, fenomena ini mengingatkan kita akan pentingnya tindakan pencegahan yang lebih serius dan sistematis.

Dalam wawancara dengan Ustazah Sustia Ningsih, S.Sy., pada Selasa (8/10/2024), ia mengungkapkan bahwa akar utama kekerasan dalam kehidupan manusia adalah pengabaian. Ustazah Susti menekankan bahwa pengabaian adalah kondisi awal yang memicu keterasingan dan ketidakpuasan, sebagaimana diungkapkan oleh Eric Fromm, seorang filsuf barat abad ke-20. Menurut teori Fromm, manusia dapat mengalami keterasingan dan ketidakpuasan dalam hidupnya karena ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan dasar psikologis.

“Keterasingan bisa terjadi dalam berbagai sendi kehidupan seperti keluarga, lingkungan sekolah, tempat kerja, atau komunitas tertentu,” ujar Ustazah Susti. “Keterasingan ini terjadi karena manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan psikologis dasarnya. Fromm berpendapat bahwa manusia akan tergerak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini dengan cara yang positif atau negatif.”

Pengabaian, menurut Ustazah Susti, adalah kondisi awal dari keterasingan tersebut. Pengabaian terjadi ketika seseorang tidak mendapatkan perhatian yang layak dari lingkungan sekitarnya, entah itu dari keluarga, guru, teman, atau pemimpin di tempat kerja. “Contohnya, anak yang diabaikan orangtuanya, murid yang diabaikan gurunya, teman yang diabaikan oleh sebayanya, atau bawahan yang diabaikan oleh pemimpinnya,” jelasnya. “Kondisi ini akan melahirkan ranting-ranting kerusakan yang kemudian berbuah pada perilakunya, termasuk kekerasan.”

Faktor-faktor Pemicu Kekerasan

Selain pengabaian, Ustazah Susti juga menguraikan beberapa faktor yang memengaruhi atau memicu kekerasan. Faktor internal, menurutnya, meliputi perilaku agresif yang ditujukan untuk menyakiti atau merugikan orang lain, serta ketidakmampuan individu mengontrol emosinya. “Perilaku agresif sering kali menjadi respons terhadap perasaan frustrasi atau ketidakpuasan yang mendalam,” ujarnya.

Sementara itu, faktor eksternal juga memainkan peran besar dalam memicu kekerasan. Salah satunya adalah pola asuh yang destruktif atau sering disebut toxic parenting. “Dalam pola asuh yang destruktif, anak tidak dihargai perasaannya, pendapatnya diabaikan, bahkan dipermalukan atau diperlakukan kasar, baik secara verbal maupun fisik,” kata Ustazah Susti. Kondisi seperti ini, menurutnya, sangat berpotensi menciptakan anak yang cenderung agresif dan tidak mampu mengelola emosi dengan baik.

Lingkungan sekolah juga dapat menjadi pemicu kekerasan. “Lingkungan sekolah yang buruk, seperti guru yang sosiopat, teman yang menjerumuskan, dan kebijakan disiplin yang tidak ditegakkan sesuai aturan, dapat memperburuk situasi dan memicu kekerasan,” jelasnya. Ketidakadilan atau ketidakjelasan dalam aturan di sekolah dapat menambah beban psikologis anak-anak, membuat mereka rentan terhadap tindakan kekerasan.

Kegiatan positif dan menyenangkan dapat mengurangi dan mencegah kekerasan. Foto: Bayu Adjie.

Upaya Pencegahan Kekerasan

Ketika berbicara tentang upaya pencegahan kekerasan, Ustazah Susti merujuk kembali pada teori Eric Fromm, yang menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan dasar manusia. Menurutnya, ada lima kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi untuk mencegah kekerasan: kebutuhan untuk menjalin hubungan, kebebasan, kenyamanan, identitas, dan pandangan hidup yang jelas.

“Kebutuhan untuk menjalin hubungan bisa dicapai salah satunya dengan cinta,” ungkap Ustazah Susti. “Sedangkan kebutuhan akan kebebasan dapat terwujud melalui karya atau mengasah kreativitas.” Kebutuhan untuk kenyamanan, lanjutnya, dapat diraih dengan kemandirian, yang membuat seseorang merasa cukup dan puas dengan dirinya sendiri. Adapun kebutuhan untuk rasa identitas dapat diwujudkan melalui konsep diri yang kuat, dan kebutuhan untuk memiliki pandangan hidup yang jelas dapat dicapai dengan memiliki tujuan hidup yang terukur.

Peranan Pendidikan Pesantren

Ustazah Susti juga menekankan peran penting pesantren dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Menurutnya, pesantren memiliki banyak program yang mendukung pemenuhan kebutuhan dasar manusia. “Di lingkungan pesantren, sudah banyak program-program yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia, seperti ekstrakurikuler yang bervariasi, kesempatan mengikuti berbagai perlombaan, individual plan, homebased teacher, keputrian, kepramukaan, marching band, kemandirian dalam segala aspek, serta nilai-nilai yang selalu digaungkan sebagai prinsip hidup,” paparnya.

“Keseluruhan rangkaian kegiatan yang ada di pesantren, lanjutnya, mendukung kebutuhan manusia untuk terus berelasi, mengaktualisasikan diri, mendapatkan kenyamanan, menemukan jati diri, dan memiliki pandangan hidup yang jelas,” pungkasnya.

Dengan adanya program-program ini, pesantren memberikan ruang bagi setiap santri untuk berkembang secara holistik, baik secara emosional, mental, maupun spiritual. Hal ini menjadi keunggulan pendidikan di pesantren.