Karya Tulis Ilmiah (KTI) menjadi salah satu tugas wajib bagi santri SMA kelas akhir, yang kemudian diwajibkan bagi santri kelas 5 SMA di tahun ajaran 2023-2024. Penugasan ini bukan semata bertujuan akademis, tetapi diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai yang baik seperti kritis, jujur, dan bertanggung jawab. Santri tidak hanya mampu memahami dan menerapkan kaidah-kaidah menulis secara ilmiah tetapi juga membentuk mentalitas ilmiah.
Mentalitas ilmiah telah menjadi karakteristik peradaban Islam di masa kejayaannya dengan tradisi ilmiah yang mapan, karya-karya ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu, dan kemunculan para ulama maupun ilmuwan yang berkontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
“Tradisi ilmiah begitu kuat di masa kejayaan Islam, khususnya di masa Dinasti Abbasiyah Baghdad dan Dinasti Umayah Andalusia. Ketika di Barat di sebut zaman kegelapan (dark age), umat Islam justru sedang mengalami masa keemasan (golden age), dengan dua peradaban besar yang berpusat di Baghdad dan Andalusia,” kata Ustaz H. Indra Jaya, M.A. saat diwawancara pada Kamis (18/1/2024).
“Semua itu tercermin melalui karya-karya besar umat Islam. Ditambah dengan lembaga seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad, sebagai pusat penerjamahan karya-karya intelektual dari berbagai kebudayaan seperti Yunani, Persia, India, dan Cina,” lanjut beliau.
Sementara di tempat lain, melewati Laut Mediterania, jelas H. Indra, ada kehebatan lain di dunia Islam yang bersaing dengan Dinasti Abbasiyah, yaitu Dinasti Umayah Andalusia, dengan kemegahan Kordoba yang semarak dengan ratusan perpustakaan dan ribuan buku-buku. Maka terjadi “perang bintang”, bukan perang fisik di antara dua dinasti besar tersebut. Bahkan Kordoba menjadi sinar awal bagi kebangkitan Eropa. “Nah, itu karena tradisi keilmuan. Thomas Aquinas itu kan yang menjadi Bapak Modern Eropa banyak membaca dan mengutip karya-karya intelektual Islam, seperti al-Ghazali dan Ibn Rusyd,” ujar H. Indra.
Menurut H. Indra, landasan historis semacam ini diharapkan dapat memunculkan semangat berpikir ilmiah para santri. Bahwa budaya membaca dan menulis menjadi sangat penting dan utama. Ini bukan tradisi baru bagi umat Islam, tapi sudah dilakukan umat Islam sejak dulu, yang dengannya mampu menguasai peradaban dunia. “Tapi peradaban itu dibangun bukan dengan tujuan untuk lari dari Tuhan, seperti Barat, namun justru mengenal Tuhan (ma’rifatullah). Hal ini sesuai dengan ayat Iqra yang dilanjutkan bismirabbikalladzikhalaq, membaca untuk mengenal Sang Sumber Ilmu itu sendiri, yaitu Allah Swt. Jadi, tujuan ilmunya di situ,” kata H. Indra.
“Jadi, tujuan pertama yang perlu ditanamkan pada anak-anak adalah kesadaran bahwa tradisi ilmiah, membaca, dan menulis, adalah tradisi Islam yang luar biasa dalam membangun peradaban besar. Karena itu dalam menulis ada mentalitas yang harus ditanamkan, yang paling utama adalah kejujuran ilmiah. Bahwa seorang ilmuwan, pemikir, peneliti, ketika berbicara atau menulis, harus jujur dari mana mengutip, mengambil pendapat dari siapa, harus disebutkan. Itu bagian dari kejujuran. Bahwa misalnya ini bukan ungkapan saya, tapi dari pendapat seseorang dan kemudian disebutkan. Itu kejujuran ilmiah,” jelas beliau.
Selanjutnya, ungkap H. Indra, mereka terbiasa untuk berbicara atau mengemukakan pendapat dengan referensi atau dalil. Bukan omong kosong. Biasa kembali merujuk kepada sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Mentalitas inilah yang harus dikembangkan oleh anak-anak dalam menulis karya ilmiah, dalam memelihara tradisi ilmiah sebagai tradisi yang membentuk peradaban besar. Kalau pun tidak menulis, dalam berbicara mereka terbiasa dengan menggunakan referensi yang kuat, tidak asal mengarang.
“Mereka terbiasa berbicara secara jujur, dengan referensi yang benar. Tidak mesti mereka menjadi penulis atau akademisi, tapi dalam keseharian mereka terbiasa berbicara dengan benar, sesuai dengan data dan fakta,” ujar H. Indra.
H. Indra berharap, di perguruan tinggi nanti mereka akan terbiasa dengan kaidah dan metode penelitian ilmiah, dengan tugas-tugas akademik. Karena itu mereka diajarkan membuat karya tulis ilmiah secara computerize. Pembekalan-pembakalan seperti ini mungkin tidak mereka rasakan saat ini, tapi akan menjadi bekal bagi mereka ketika sudah di perguruan tinggi. “Mereka sudah memiliki kemampuan dasar menulis ilmiah, dan tentu saja ini menjadi bagian dari belajar berpikir kritis, criticalthinkingskill. Inilah nilai-nilai yang ingin dibangun dari penugasan menulis karya ilmiah, seperti resensi buku dan karya tulis ilmiah,” pungkasnya.