Merenungkan Makna Prestasi


Dalam kehidupan yang serba kompetitif ini, kita sering terjebak dalam ukuran prestasi yang sempit. Prestasi, dalam benak banyak orang, tak jarang disandingkan dengan piala, angka, atau penghargaan yang terpampang di dinding. Kita hidup dalam lingkaran yang menjadikan keberhasilan sebagai sebuah pencapaian materi, posisi, atau status sosial. Namun, sesungguhnya, apakah prestasi hanya sebatas itu?

Rasulullah saw., dalam salah satu hadisnya bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, dan Ad-Daruqutni)

Hadis ini begitu sederhana, tapi membawa makna yang dalam. Ia menggeser pemahaman kita tentang prestasi, dari yang sekadar prestise menjadi sesuatu yang lebih substansial: memberi manfaat. Prestasi bukan lagi soal siapa yang paling tinggi atau siapa yang paling berkilau, melainkan siapa yang bisa membuat hidup orang lain sedikit lebih baik.

Memberi manfaat tidaklah selalu berbentuk besar. Kadang, ia tersembunyi di balik hal-hal yang sederhana, nyaris tak terlihat. Ada keheningan dalam perbuatan kecil yang membuat orang lain tersenyum, ada kebaikan dalam kehadiran seseorang yang memberi waktu bagi mereka yang kesepian. Semua itu, meski tanpa sorotan, adalah bentuk dari prestasi. Karena pada akhirnya, apa yang lebih berharga daripada memberi makna pada hidup orang lain, walau sekecil apapun?

Prestasi adalah ketika seorang guru memberikan semangat pada muridnya yang nyaris putus asa, ketika seorang tetangga membantu tanpa pamrih, atau ketika seorang teman mendengarkan tanpa menghakimi. Prestasi adalah ketika kita, dalam segala keterbatasan, mampu membuat dunia di sekitar kita menjadi lebih baik, walau hanya sedikit. Karena dari sinilah, pengabdian dimulai.

Memang benar, dunia modern sering kali memaksa kita mengejar sesuatu yang gemerlap. Namun di balik gemerlap itu, ada hakikat yang lebih mendalam: seberapa besar kita telah memberikan dampak bagi kehidupan orang lain. Ini adalah makna prestasi yang sesungguhnya, yang tak lekang oleh waktu. Sebuah prestasi yang diukur bukan dengan angka atau piagam, tetapi dengan hati dan kebermanfaatan.

Rasulullah tak menyebut batasan bentuk manfaat itu. Ia bisa berupa apa saja, dalam bentuk sekecil apapun. Sebuah senyuman yang tulus, sebuah bantuan yang datang tanpa diminta, sebuah doa dalam keheningan. Semua itu adalah bagian dari prestasi hidup, sebuah kesaksian bahwa kita hadir bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain.

Merenungkan ini, kita diajak untuk berpikir ulang tentang apa yang kita kejar selama ini. Apakah prestasi kita hanya untuk kepuasan diri, atau ada sesuatu yang lebih besar di balik itu? Apakah kesuksesan kita berbuah manfaat bagi sesama, atau hanya gemerlap yang sesaat? Seperti air yang terus mengalir, manfaat yang kita berikan, sekecil apapun, akan mengalir ke banyak jiwa, meninggalkan jejak yang abadi.

Prestasi dengan Harta, Ilmu, dan Pendidikan
Bahkan ada tiga prestasi yang sifatnya tak lekang waktu yang manfaatnya akan terus memgalir meskipun kita telah tiada. Rasulullah saw. bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Setidaknya, dalam tiga hal itulah kita dapat membangun prestasi, dengan harta, ilmu, dan pendidikan. Sedekah jariyah, sebagai bentuk amal yang terus mengalir, adalah simbol dari bagaimana harta yang kita miliki bisa menjadi kekuatan untuk menebar manfaat. Sebab, harta yang tidak dikelola untuk kebaikan hanya akan membusuk bersama waktu. Sebaliknya, ketika harta dialirkan sebagai sedekah jariyah, ia menjadi prestasi yang abadi, tak lekang oleh waktu.

Ilmu dan pendidikan pun tak kalah penting dalam merajut makna prestasi. Ilmu yang bermanfaat adalah salah satu bentuk prestasi yang luhur, karena ia hidup dalam kehidupan seseorang dan terus menyebar, memberi cahaya pada orang lain, bahkan setelah sang pemberi ilmu tiada. Setiap gagasan yang ditanamkan, setiap pemahaman yang dibagikan, akan tumbuh menjadi akar yang kuat, menyebar ke berbagai sisi kehidupan. Ia bisa hadir dalam bentuk pendidikan formal, pelajaran hidup, atau kebijaksanaan yang kita bagikan dalam percakapan sehari-hari. Ketika ilmu itu menjadi cahaya bagi orang lain, maka ia adalah prestasi yang sejati. Sebab, ilmu yang kita tinggalkan akan terus bernafas dalam kehidupan orang-orang yang mendapat manfaat darinya, menjadi bukti nyata bahwa keberadaan kita pernah memberi arti.

Pendidikan, terutama dalam bentuk anak yang saleh, adalah warisan yang mencerminkan pengabdian seorang manusia dalam mendidik generasi yang membawa kebaikan. Seperti anak yang tumbuh menjadi penuntun doa bagi orang tuanya, pendidikan sejatinya membangun manusia baru yang terus berkontribusi bagi masyarakat.

Prestasi, pada akhirnya, bukan sekadar tugu yang dibangun atas nama kita, tapi sesuatu yang terus berdampak, yang hidup dan berkembang di tengah orang lain, berkat harta, ilmu, dan pendidikan yang kita tinggalkan. Hidup ini bukan tentang seberapa banyak kita bisa kumpulkan untuk diri kita sendiri, melainkan tentang seberapa banyak kita bisa bagikan kepada orang lain. Dan dalam hal itulah, prestasi sejati ditemukan. Mari kita berprestasi dengan harta, ilmu, dan pendidikan sesuai dengan kemampuan masing-masing.