Korea Selatan, negeri yang dikenal dengan laju ekonominya yang pesat dan kekuatan teknologinya yang mendunia, menyimpan sebuah cerita lain yang sering luput dari perhatian: budaya literasi yang tumbuh subur di dalamnya. Di balik kilatan layar smartphone dan deru industri, ada semangat membaca yang berdenyut kuat, menjalar dari rumah-rumah hingga sekolah-sekolah, dari sudut perpustakaan hingga ruang-ruang digital yang tak terbatas.
Negeri ini, di mana pendidikan adalah panglima, memandang literasi bukan sekadar kemampuan teknis membaca, tetapi sebuah fondasi yang menopang kemajuan. Hampir seluruh warganya melek huruf, sebuah pencapaian yang tak lepas dari komitmen negara dalam membangun sistem pendidikan yang ketat. Di ruang kelas, anak-anak diperkenalkan pada buku sejak usia dini. Mereka tumbuh bersama cerita-cerita, baik yang berasal dari sastra klasik maupun karya modern yang menjembatani mereka dengan dunia luar. Membaca, di sini, bukan sekadar hobi, tapi sebuah jalan hidup.
Namun, Korea Selatan tidak hanya membangun literasi dengan cara konvensional. Di negeri yang begitu akrab dengan teknologi, literasi digital juga berkembang dengan cepat. Perpustakaan-perpustakaan yang dulunya dipenuhi lembaran kertas kini dipenuhi dengan layar-layar yang memuat ribuan e-book. Bagi generasi muda, akses terhadap buku elektronik, jurnal akademik, hingga karya sastra dunia menjadi semakin mudah dan cepat. Teknologi, di tangan bangsa ini, bukanlah pengganti buku, melainkan jembatan yang menghubungkan mereka dengan lebih banyak kata, lebih banyak pengetahuan.
Ironi mungkin terlihat di sini: di tengah modernitas yang menciptakan kesibukan, budaya baca tetap hidup. Perpustakaan-perpustakaan, baik fisik maupun digital, tak pernah sepi. Mereka yang haus akan pengetahuan selalu datang, seakan mencari keheningan di tengah hiruk-pikuk kehidupan urban. Pemerintah memainkan perannya dengan serius, mendirikan fasilitas baca yang nyaman dan memperkaya koleksi buku di tiap perpustakaan. Lebih dari itu, gerakan-gerakan masyarakat tumbuh: kampanye membaca, festival buku, hingga klub buku menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Dan di sinilah letak kekuatan budaya literasi Korea Selatan: ia bukan hanya tentang kemampuan membaca, tetapi tentang bagaimana informasi diolah menjadi pengetahuan, bagaimana kata-kata diresapi menjadi gagasan. Anak-anak yang dibesarkan dengan buku-buku sastra klasik akan tumbuh dengan wawasan yang tak hanya teknis, tetapi juga kaya akan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka yang bersentuhan dengan literasi digital akan terbiasa mengolah informasi dengan cara yang cerdas, kritis, dan kreatif.
Di dunia yang semakin tenggelam dalam kecepatan, Korea Selatan menawarkan pelajaran tentang bagaimana teknologi dan literasi bisa berjalan beriringan. Di sana, layar tidak menutup buku, tetapi mengantarkan lebih banyak kata ke tangan yang membutuhkannya. Literasi, pada akhirnya, bukan hanya soal membaca—melainkan tentang terus-menerus mencari, memahami, dan menemukan diri di tengah gelombang informasi. Di negeri ini, di balik kemajuan dan segala kecanggihannya, kita belajar bahwa kata-kata tetaplah menjadi sesuatu yang hidup dan menginspirasi.
Referensi
Apriyono, Ahmad. “Belajar dari Korea Selatan yang Maju karena Literasi”. https://www.liputan6.com/regional/read/5383736/belajar-dari-korea-selatan-yang-maju-karena-literasi. Diakses 30 September 2024.
Fatimatuzzuhroh. “Sistem Pendidikan di Korea Selatan: Budaya Menjadi yang Terbaik”. https://kumparan.com/fatimatuzzuhroh/sistem-pendidikan-di-korea-selatan-budaya-menjadi-yang-terbaik-1xQXEqeOwlt/3. Diakses 30 September 2024.
RM.Id. “Indonesia Bisa Maju Seperti Korea Selatan, Kuncinya dengan Literasi”. https://rm.id/baca-berita/nasional/186062/indonesia-bisa-maju-seperti-korea-selatan-kuncinya-dengan-literasi. Diakses 30 Septemner 2024.